Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Gema Hujan di London
Cuaca London tampaknya enggan beranjak dari kemurungan. Sepanjang hari, gerimis halus datang dan pergi, menyelimuti kota dengan selubung abu-abu yang menekan. Aaron menatap keluar jendela kantornya, menyaksikan tetesan air yang menuruni kaca, menciptakan jejak-jejak samar. Ia telah mencoba mengabaikan kegelisahan yang menggerogoti sejak ia tiba, membenamkan diri dalam tumpukan berkas dan panggilan konferensi. Namun, konsentrasinya, yang biasanya tajam setajam silet, kini terasa tumpul.
Pikirannya melayang. Bukan pada proyek properti mewah yang sedang ia tangani, melainkan pada sebuah penthouse di Boston yang terasa begitu jauh. Pada Claire. Wajah wanita itu, basah oleh air mata, terus muncul di benaknya. Ia ingat bagaimana Claire memohon, bagaimana suaranya tercekat saat meminta ikut. Aaron mendengus. Bodoh sekali aku membiarkan hal itu menggangguku.
"Tuan Hayes, kita ada rapat dengan tim teknik pukul tiga," suara Sekretaris Sam membuyarkan lamunannya.
Aaron mengangguk tanpa berbalik, matanya masih terpaku pada kabut tipis di kejauhan. "Siapkan semuanya."
"Baik, Tuan," jawab Sam, langkahnya mantap. "Apakah ada hal lain yang perlu saya siapkan? Jadwal Anda cukup padat hari ini."
Aaron terdiam sejenak. "Pastikan semua laporan keuangan terbaru sudah ada di meja. Aku ingin memeriksanya sebelum rapat." Padahal, ia sudah memeriksa laporan itu semalam. Ini hanya cara untuk membenamkan diri lebih dalam ke pekerjaan, menghindari pikirannya sendiri.
Rapat berjalan lancar, seperti biasanya. Aaron berbicara dengan lugas, memberikan arahan yang tepat, dan memimpin diskusi dengan otoritas. Namun, di tengah presentasi grafik keuntungan, matanya tak sengaja menangkap siluet seorang wanita hamil yang berjalan santai di trotoar bawah, menggandeng tangan seorang pria.
Sekilas, Aaron merasa dadanya mencelos. Claire. Wanita itu tidak terlihat rapuh seperti Claire, tidak berlinang air mata, dan tertawa lepas. Tapi sekilas, bayangan itu cukup untuk mengacaukan konsentrasinya. Ia nyaris salah menyebut angka, yang untungnya tak disadari oleh timnya.
Malam harinya, kegelisahan itu semakin memburuk. Aaron mencoba melampiaskan energinya di gym hotel, memukul punching bag dengan tenaga penuh, berharap setiap pukulan bisa mengusir bayang-bayang Claire dari kepalanya. Keringat membanjiri tubuhnya, otot-ototnya menegang, namun pikirannya justru semakin jernih, dan dengan kejernihan itu datanglah pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu.
Apa dia makan? Susan bilang dia kurang nafsu makan. Wanita itu... selalu saja merepotkan.
Ia berhenti memukul, napasnya tersengal. Memori pertemuan dengan Walter dan Lillian Davies kembali terlintas. Keharmonisan mereka tanpa cinta, rasa hormat yang mendalam. Aaron selalu berpikir cinta adalah pondasi, tapi Walter membuktikan ada jalan lain. Sebuah jalan yang mungkin bisa ia tempuh dengan Claire.
Setelah membersihkan diri, Aaron duduk di tepi ranjang, memandangi ponselnya. Jari telunjuknya terangkat, mengambang di atas ikon kontak. Dia tidak memiliki nomor Claire. Ini konyol. Dia adalah suaminya, dan dia tidak memiliki nomor ponsel istrinya. Ironi itu menamparnya dengan keras. Aaron memejamkan mata, menghela napas panjang. Gengsi, prinsip, dan rasa sakit dari masa lalu masih bergelayut kuat, menahannya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Susan. Aaron langsung meraihnya, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya, sebuah reaksi yang ia benci karena menunjukkan betapa terpengaruhnya ia.
Susan: Selamat malam, Tuan. Mohon maaf mengganggu. Saya ingin melaporkan bahwa Nyonya hari ini tampak lebih lesu. Dia menolak makan malam dan hanya minum air. Saya sudah mencoba membujuknya, tapi dia hanya mengunci diri di kamar. Apakah ada instruksi khusus dari Tuan?
Nafas Aaron tertahan. Lesu. Menolak makan. Mengunci diri. Kata-kata itu berputar-putar di benaknya, menggambar Claire yang duduk sendiri di lantai kamar, mungkin memeluk lututnya, menangis.
Sial! Ia membanting ponselnya pelan ke kasur. Sebuah dorongan aneh melingkupi dirinya, dorongan untuk segera pulang, memastikan wanita itu baik-baik saja. Perasaan hangat yang sempat ia rasakan malam itu kembali menjalar, lebih kuat, lebih nyata. Itu bukan ketakutan, bukan gelisah karena masalah bisnis, melainkan... kekhawatiran. Kekhawatiran murni yang selama ini ia sangkal.
Ia mengambil ponselnya lagi, mengetik balasan singkat.
Aaron: Terus awasi dia. Pastikan dia makan. Jika dia tetap menolak, laporkan padaku.
Ia mengirim pesan itu dengan cepat, seolah untuk menghapus jejak emosinya sendiri. Setelah itu, ia menelepon Walter Davies.
"Walter, maaf mengganggu selarut ini," kata Aaron, suaranya berusaha terdengar profesional.
"Tidak masalah, Aaron," jawab Walter. "Ada apa? Ada hal penting yang tertinggal?"
"Tidak, hanya... aku ingin bertanya sesuatu di luar bisnis." Aaron menjeda, merasa canggung. "Tentang pernikahanmu dengan Lillian. Kau tahu, perjodohan. Bagaimana... bagaimana kalian bisa menjalaninya dengan baik, tanpa... tanpa cinta yang seperti diceritakan di novel?"
Walter tertawa ringan. "Ah, itu. Memang tidak mudah di awal. Tapi Aaron, cinta itu bisa tumbuh, atau bisa juga tidak. Yang penting, ada rasa hormat. Rasa hormat pada pasanganmu, pada komitmenmu, pada keluarga. Itu kuncinya."
"Hormat?" ulang Aaron, merenungkan kata itu.
"Ya. Dan tanggung jawab. Aku tahu kewajibanku sebagai suami Lillian, dan dia tahu kewajibannya sebagai istriku. Kami saling menghargai. Mungkin tidak ada bunga dan cokelat setiap hari, tapi ada pengertian, ada dukungan, ada kedamaian. Itu yang lebih berharga dalam jangka panjang, menurutku." Suara Walter terdengar bijak.
Aaron terdiam. Kedamaian. Pengertian. Dukungan. Itu semua terdengar begitu jauh dari hubungannya dengan Claire.
"Terima kasih, Walter," kata Aaron akhirnya.
"Sama-sama. Ada masalah dengan istrimu?" tanya Walter hati-hati.
"Tidak," Aaron buru-buru menjawab, nadanya kembali dingin. "Hanya... berpikir tentang banyak hal."
Setelah panggilan berakhir, Aaron bangkit, berjalan menuju jendela lagi. Kota London di bawahnya tampak seperti labirin cahaya yang redup. Hujan kembali turun, kali ini lebih deras, membentuk tirai air yang memisahkan dirinya dari dunia luar. Ia menyandarkan dahinya di kaca yang dingin, memejamkan mata.
Mengapa ini begitu rumit? gumamnya pada dirinya sendiri. Dia benci kerumitan. Dia benci emosi. Dia benci perasaan ini. Tapi Claire, dengan segala kerapuhan dan keanehannya, seolah terus menerobos setiap pertahanan yang ia bangun.
"Ini bukan drama," katanya pada Claire di mobil. Tapi ia tahu, ini adalah drama. Drama hatinya sendiri. Ia telah membangun sebuah penjara yang tinggi untuk dirinya dan Claire, dengan dinding-dinding dari prinsip dan masa lalu. Sekarang, ia mulai bertanya-tanya, siapa yang sebenarnya terkunci di dalamnya? Dirinya atau Claire?
Langit London terus menangis, dan untuk pertama kalinya, Aaron merasa ada sesuatu yang bergetar di dalam dadanya, sesuatu yang sangat mirip dengan empati, sesuatu yang sangat ia lawan. Perasaan yang terasa asing namun menuntut perhatian. Aku harus bagaimana? Pertanyaan itu kembali menggantung di udara, tanpa jawaban, menyisakan gema bimbang.