NovelToon NovelToon
Senandung Sang Bunga

Senandung Sang Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Duniahiburan / Teen School/College / Karir / Fantasi Wanita / Chicklit
Popularitas:499
Nilai: 5
Nama Author: Baginda Bram

Aidol atau idol. Adalah istilah yang lumrah di zaman ini karena kehadirannya yang telah masif.

Chandra Kirana adalah salah satunya. Ia yang mulai dari nol, tak pernah berpikir untuk menjadi seorang idol.

Namun, ia "terperosok" ke dalam dunia itu. Dunia yang tak pernah ia tahu sebelumnya.

Mulai saat itu, dunianya pun berubah.

(Update setiap hari selasa, kamis, Sabtu dan minggu.)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Baginda Bram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 9

Aku keluar dari rumah saat udara masih belum dibalut hiruk pikuk kota. Ketika mentari masih terlelap di ufuk timur. Hanya memunculkan secuil cahayanya. Itupun samar tertutup awan.

Jalanan yang biasanya ramai kendaraan, kini mulai dipadati manusia. Aku baru ingat kalau hari ini car free day. Pantas saja tidak ada kendaraan yang melintas.

Kami janjian kumpul di sebuah taman. Lalu aku pun sudah berada di taman yang dimaksud.

Aku memandangi sekitar. Mencari sesuatu yang mencolok dan mudah ditemukan. Kutemukan sebuah kursi panjang di dekat air mancur. Hanya kursi itu saja yang berada di dekatnya. Aku yakin, di sana adalah tempat yang cocok untuk ditemukan seseorang.

Aku duduk di kursi panjang. Tangan kanan mengeluarkan botol air minum dari ransel. Sementara tangan kiri sibuk menggeser layar. Mengirim pesan kepada mereka berdua. Mereka bilang segera tiba di sana, dengan kata yang hampir serupa.

Belum lama menunggu, kudapati gadis berambut terikat dengan pakaian santai tak berlengan. Aku berdiri, melambai kecil ke arahnya. Ia membalas lambaian yang tak kalah kecil. Berjalan ke arahku.

"Apa kabar?" Tanyaku memulai obrolan setelah tak bertemu beberapa hari.

"Baik."

"Tinggal Viola aja nih."

"Memang dia di mana?"

"Sebentar lagi sampai, katanya."

" Ya udah, kita tunggu di sini dulu deh."

Kami berdua duduk berjarak, dipisahkan oleh ranselku. Di sekitar ramai riuh, tapi kami hanya menggeser-geser layar.

Sejak awal, kami memang tak terlalu dekat. Makanya semalam aku ragu ia akan setuju. Ternyata di luar dugaan, justru ia yang mengusulkan untuk datang ke rumahnya.

Aku bingung harus memulai obrolan dari mana.

"Kamu enggak pernah bolos latihan ya?"

"I-iya." Sahutku terkejut karena kupikir ia bukan tipe orang yang akan memulai obrolan duluan.

Tapi syukurlah, berkat itu aku mendapat bahan obrolan.

"Oh iya, kenapa kamu kemarin jarang masuk? Apa sakit?"

"Kemarin aku sibuk di sekolah."

"Sibuk?"

"Ada beberapa perlombaan yang enggak bisa kutinggal."

"Lomba apa? Dance?"

"Bukan, matematika."

"Seriusan?"

Aku terkejut. Dibalik wajahnya yang cantik, tersimpan otak yang dipenuhi oleh rumus dan angka.

"Iya."

Lalu kenapa dia ingin menjadi idol? Seharusnya, kalau dia memang cerdas, tekuni saja bidang itu. Jujur aku ingin bertanya alasannya, tapi aku urungkan.

"Rumahmu di dekat sini ya?"

"Di situ." Ucapnya sambil menunjuk salah satu gedung.

"Maksudmu apartemen itu?"

Ia mengangguk pelan. Bibirku membulat. Pandanganku terangkat.

Sepertinya ia memang bukan orang biasa.

Anna menoleh. Menyibak ketiaknya. Melambai-lambai intens. Aku yang tertarik, ikut menoleh ke arah yang sama. Gadis yang menyadarinya, berjalan cepat.

Gadis itu berdiri memegang lutut. Menatap kami dengan sebelah mata tertutup. Mengelap keringat yang ada di dahinya dengan sapu tangan.

Aku berdiri untuk menyambutnya. Tanganku mengulur. Senyumku sumringah.

Kami yang tak bertemu seminggu, rasanya bagai sudah lama. Yah, mungkin karena banyak yang terjadi.

Ia menyambut uluran tanganku. Membalas senyumku dengan senyum yang lebih manis berkali-kali lipat.

"Apa kabar?" Tanyaku.

"Enggak pernah lebih baik dari ini." Ucapnya meyakinkan.

"Berarti sudah siap banget dong?"

"Seribu persen."

Tatapnya penuh keyakinan. Aku tak mengerti darimana kepercayaan dirinya berasal. Jika ia saja seyakin itu, harusnya aku yang sudah ikut latihan tanpa bolos bisa lebih yakin darinya.

"Ayo kita sama-sama berjuang."

Viola mengangguk dalam. Anna ikut berdiri. Melangkah mendekat.

"Ikut aku," ucap Anna menyita perhatian kami berdua.

Anna berjalan mendahului kami. Aku mengikuti di belakang. Kutatapi punggung mereka berdua.

Aku cukup paham mengapa mereka begitu percaya diri. Jelas saja, paras mereka cantik. Anna yang sudah seperti artis Korea. Viola yang cantik natural ala-ala bunga desa yang jika dipoles oleh make up sedikit saja, sudah pasti mempesona.

Terus aku?

Gadis yang tak betah berambut panjang. Kulitku pun cokelat hasil bergulat dengan mentari. Pintar? Tidak. Cantik? Mana mungkin. Atletis? Tidak terlalu.

Aku benar-benar tidak punya hal-hal yang layak dipertimbangkan. Karena itu, aku serius dalam belajar menari dan menyanyi. Karena hanya itu yang kubisa.

Karena itu, aku tidak punya kepercayaan diri sampai bisa membuatku bolos latihan.

...----------------...

Kami bertiga sampai di sebuah gedung yang menjulang tinggi. Melihat lobby-nya saja sudah membuatku takjub. Kami naik menggunakan lift, sampai pada sebuah lantai.

Dilihat dari mana pun, semua pintu terlihat sama. Hingga berhenti di salah satu pintu. Bertuliskan 36. Begitu pintu terbuka, kami masuk. Semakin takjub dengan interior di dalamnya.

Ruang tamu yang berisi sofa yang cukup padat, mengelilingi meja berwarna gelap. Yang paling membuatku takjub adalah pemandangan kota yang bisa langsung terlihat.

Seakan didesain dinding luarnya terbuat dari bahan tembus pandang. Pemandangan langit yang berselimut awan putih dan bermandikan cahaya mentari pagi sangat indah sekali.

Alangkah senangnya jika aku bisa melihat pemandangan seperti ini setiap hari.

"Di bawa santai aja, anggap rumah sendiri."

Aku mengangguk cepat. Viola matanya berbinar. Nampaknya kita satu pemikiran.

"Kuambilkan minum dulu ya!"

Setelah mengucap itu, Anna segera berbalik badan. Berjalan meninggalkan kami yang masih termangu.

Kujawil pipi Viola, ia nampak terkejut. Setelah lamunannya buyar, ia melihat ke arahku.

"Ini yang namanya apartemen?" Tanyanya masih takjub.

"Kamu belum pernah ke apartemen?"

Ia menggeleng cepat. Aku pun kalau ditanya, pernah ke apartemen saudaraku, tapi belum pernah lihat yang seindah, seluas dan semewah ini.

"Yah, aku juga kaget," sambungku.

"Kira-kira harganya berapa ya?"

"Normalnya sih m-m-an."

"Serius?"

"He-em."

Kutarik lengan Viola ke arah sofa enam baris, kududuk hampir bersamaan.

"Kita duduk aja, nanti dikira enggak sopan sama ortunya."

"Apa orang tuanya pejabat ya?"

"Entah, yang jelas bukan orang biasa."

Viola memandang ke sekeliling. Sementara aku memandang keluar jendela.

Anna membawa beberapa gelas kosong beserta sebotol minuman bersoda. Pandanganku kembali.

Anna meraih remot. Menekan tombol powernya. Televisi 86 inchi yang ada di hadapan kami menyala. Menampilkan sekumpulan orang yang sedang di atas panggung. Masih tidak jelas siapa mereka karena video sedang terjeda.

"Jadi untuk apa kita berkumpul?" tanya Anna tanpa basa-basi.

"Aku mau kita latihan bareng-bareng. Terus lulus bareng-bareng."

"Begitu? Ya sudah, kita istirahat sebentar sambil nonton perform."

Aku dan Viola mengangguk seirama. Anna mengulang video yang terjeda. Rupanya video itu adalah penampilan Flow saat sedang membawakan lagu yang sama dengan yang akan kami bawakan nanti.

Benar juga. Aku belum melihat bagaimana jika idol sungguhan membawakannya karena terlalu fokus dengan latihan menari dan vokal.

Video berjalan dari awal. Kuperhatikan gerak mereka. Lagi-lagi aku takjub, tapi tak hanya itu yang kurasakan. Seiring berlalunya lagu, aku menyadari ada yang janggal dengan gerakan mereka.

Maksudku, bukan gerakan mereka jelek. Tapi gerakan mereka terasa berbeda dengan yang diajarkan oleh Kak Indri. Hingga akhir lagu, aku masih terheran.

"Ulang lagi dong," pintaku.

Anna menurutinya. Kami bertiga menonton kembali penampilan tersebut.

Keherananku tak kunjung sirna. Justru aku mendapati kalau antara satu anggota dengan anggota yang lain berbeda. Walaupun samar, tetap terasa perbedaannya. Justru aku semakin bingung.

"Kok beda ya?" Gumamku keheranan.

"Beda gimana?" Tanya Viola.

"Sedikit beda dengan yang kupelajari."

"Bedanya di mana?"

"Gerakannya. Gerakan mereka lebih ...,"

Aku bingung mendeskripsikannya.

"Keren?" Sambungku.

"Mungkin mereka melakukan improvisasi agar dance-nya menarik?" Timpal Anna.

Apa yang diucapkan Anna masuk akal juga. Aku memegang dagu. Entah mengapa, mendadak teringat kata-kata Kak Nadia.

Jadilah antagonis.

Jika dipikir-pikir, ada benarnya juga.

Begini, jika semua peserta diibaratkan seperti pemeran utama. Maka, untuk menonjol, aku hanya perlu menjadi pemeran antagonisnya. Jika semuanya berwarna putih, maka aku hanya perlu berusaha menjadi warna hitam.

Masuk akal sih, tapi bagaimana aku melakukannya?

1
SakiDino🍡😚.BTS ♡
Bagus banget deh, bikin nagih!
KnuckleDuster
Buat gak bisa berhenti baca!
Coke Bunny🎀
Gemesinnya minta ampun!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!