Sinopsis:
Nayla cuma butuh uang untuk biaya pengobatan adiknya. Tapi hidup malah ngasih tawaran gila: kawin kontrak sama Rayyan, si CEO galak yang terkenal perfeksionis dan nggak punya hati.
Rayyan butuh istri pura-pura buat menyelamatkan citranya di depan keluarga dan pemegang saham. Syaratnya? Nggak boleh jatuh cinta, nggak boleh ikut campur urusan pribadinya, dan harus bercerai setelah enam bulan.
Awalnya Nayla pikir ini cuma soal tanda tangan kontrak dan pura-pura mesra di depan umum. Tapi semakin sering mereka terlibat, semakin sulit buat menahan perasaan yang mulai tumbuh diam-diam.
Masalahnya, Rayyan tetap dingin. Atau... dia cuma pura-pura?
Saat masa kontrak hampir habis, Nayla dihadapkan pilihan: pergi sesuai kesepakatan, atau tetap tinggal dan bertaruh dengan hatinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Komang andika putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sponsor Misterius dan Pilihan yang Gak Gampang
Satu minggu setelah syuting dimulai, basecamp kecil mereka lagi rame sama editan scene, naskah yang dicoret-coret, dan kru yang begadang sampe mata panda. Semua kelihatan capek, tapi semangat mereka tetap nyala.
Tiba-tiba HP Dimas bunyi. Nomor gak dikenal.
“Halo?”
“Halo, ini Dimas Aditya, kan? Aktor dan produser film Langit Tak Lagi Abu-abu?”
“Iya, betul. Ini siapa ya?”
“Saya dari OneFrame Studios. Kami tertarik buat jadi sponsor dan bantu pendanaan film kalian. Kita bisa atur meeting?”
Dimas langsung bengong. Itu studio besar yang dulu pernah nawarin dia main film box office.
Besoknya, Dimas dateng sendiri ke meeting di café mewah yang penuh orang bersetelan jas. Nayla gak diajak, karena katanya “hanya urusan bisnis awal.”
“Jadi, Mas Dimas,” kata salah satu eksekutif, “kami suka naskah film lo. Original, emosional, dan punya potensi viral. Tapi ada beberapa revisi yang harus dipertimbangkan.”
“Revisi seperti?”
“Ending-nya. Kami mau bikin akhir yang lebih ‘mainstream’. Karakter David harus balik ke mantannya yang kaya dan meninggalkan si cewek penulis. Itu bisa jual.”
“Tapi inti ceritanya justru tentang kesetiaan dan cinta yang gak butuh status…”
“Kami kasih lo dana penuh. Bahkan lo bisa rilis film ini di bioskop nasional.”
Dimas pulang dengan kepala mumet. Dia duduk sendirian di depan basecamp, ngerokok sambil mikir.
Gak lama, Nayla dateng.
“Lo habis meeting ya? Gimana?”
“Mereka mau danain semuanya. Tapi minta revisi ending. Ending yang... gak jujur.”
“Oh.”
“Dan lo gak diajak meeting karena mereka bilang, ‘Nayla terlalu idealis’.”
Nayla diem. Bukan karena sakit hati—tapi karena dia paham banget dunia kayak gitu emang keras.
“Lo mau ambil?”
“Gue gak tau, Nay. Ini kesempatan gede. Tapi juga bisa ngerusak semua yang udah kita bangun.”
“Kalau lo pilih mereka, gue gak bakal marah. Tapi jangan ajak gue bohong sama cerita yang kita ciptain bareng.”
Malam itu Dimas gelisah. Dia buka laptop, liat ulang semua footage yang udah mereka syuting. Liat mata Nayla di tiap scene. Liat perjuangan kru yang rela kerja tanpa dibayar penuh. Liat keringat dan ketulusan.
Pagi-paginya, dia kirim email ke OneFrame Studios.
“Terima kasih atas tawarannya. Tapi kami menolak. Film ini akan tetap seperti yang kami yakini. Karena ini bukan cuma soal cerita. Ini soal hati.”
Dimas langsung ke basecamp dan narik Nayla buat keluar.
“Lo ngapain?”
“Gue udah nolak tawaran mereka.”
“SERIOUS?!”
“Serius. Karena gue percaya satu hal...”
“Apa?”
“Karya yang tulus pasti nemu jalannya sendiri. Dan cinta kita... gak butuh sponsor buat valid.”
Setelah Dimas mutusin buat nolak tawaran dari OneFrame Studios, suasana basecamp sempat hening. Semua kru diam waktu Dimas ngumumin keputusan itu.
“Gue tau ini gila. Tapi gue lebih pilih kita tetap pegang kendali atas film ini. Kita harus cari cara lain buat danain sisa produksi.”
Nayla berdiri, terus nyamperin Dimas.
“Kalo lo gila, berarti kita gila bareng.”
Mereka saling tatap, saling ngerti. Lalu Tama angkat tangan.
“Kalo gitu, ayo kita bikin galang dana. Gue bisa bantu bikin videonya. Nay, lo yang narasiin.”
“Deal.”
Dua hari kemudian, video kampanye crowdfunding mereka tayang di berbagai platform. Nayla jadi narator, suara pelan tapi ngena.
“Ini bukan cuma film. Ini perjuangan. Tentang dua orang yang percaya kalau kejujuran dan cinta gak bisa dibeli. Kami butuh kalian. Bukan untuk jadi penonton, tapi jadi bagian dari cerita ini.”
Responsnya melebihi ekspektasi.
Di hari pertama, donasi udah nyampe 15 juta. Komentar-komentar dari netizen bikin hati mereka meleleh.
“Gue pernah ngerasain ditolak industri cuma karena gak punya nama. Salut buat kalian.”
“Cuma bisa bantu 50 ribu, tapi semoga film ini jadi kenyataan.”
Tapi di antara semua donasi… ada satu yang mencurigakan.
“Eh, Nay… lo liat ini?” Dimas nunjuk layar.
“Donasi 100 juta… dari akun tanpa nama?”
“Iya. Cuma ada tulisan: ‘Teruslah jujur dalam berkarya.’”
Mereka berdua bengong.
“Siapa yang ngasih segede ini? Jangan-jangan ada artis yang diam-diam ngefans…”
“Atau... orang dari masa lalu?” Nayla nyeletuk pelan.
Malamnya, Nayla termenung sendirian di balkon. Angin malam bikin rambutnya berantakan, tapi dia gak peduli.
Dimas nyamperin, bawa dua gelas susu hangat.
“Masih mikirin donatur misterius itu?”
“Iya... gue takut ini ada syarat tersembunyi.”
“Gue juga mikir gitu. Tapi kita bakal jalanin ini pelan-pelan. Gak semua hadiah itu racun. Mungkin ini bentuk dukungan dari orang yang ngerti rasanya diperjuangkan.”
Nayla narik napas, terus sender ke bahu Dimas.
“Gue bersyukur lo di sini.”
“Gue juga bersyukur lo gak pernah nyerah.”