NovelToon NovelToon
ASMARALARAS

ASMARALARAS

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang
Popularitas:788
Nilai: 5
Nama Author: Kidung Darma

Novel roman. Bara cinta terlarang gadis pesindhen.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kidung Darma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 17

Di ruang kelas Tiga A SMA Negeri Dua, pelajaran berlangsung dengan tertib. Ibu guru berdiri di depan kelas, suaranya mengalun tenang, menjelaskan baris demi baris pelajaran hari ini. Di hadapannya, deretan siswa dan siswi duduk rapi, mata mereka tertuju pada papan tulis—seolah baris kata-kata di sana adalah jendela masa depan yang tengah mereka buka bersama.

Namun di barisan bangku paling kanan, nomor dua dari depan, ada pemandangan yang berbeda.

Seorang siswi tampak diam membungkuk di atas mejanya.

Kedua lengan menjadi bantal sunyi bagi wajahnya yang terpejam.

Buku pelajaran tertindih tubuhnya, terbuka pada halaman yang belum sempat ditelaah.

Ia terlelap—tertimbun lelah yang entah dari mana datangnya.

Di tengah suasana kelas yang penuh perhatian, ia bagai sekuntum bunga yang menutup diri saat fajar. Entah mimpinya menjelajah ke mana. Mungkin ke taman kecil di belakang sekolah, atau mungkin ke dunia yang lebih jauh—tempat di mana suara guru berubah menjadi bisikan angin, dan angka-angka berubah menjadi bintang di langit yang luas.

“As! Asmara…!” bisik seorang teman sebangku, sembari menggoyang pelan bahunya.

Namun tak ada respons. Asmarawati tetap terpejam, wajahnya tenggelam dalam pelukan lengan, seolah tengah melarikan diri dari dunia nyata. Matanya tak bergerak, bibirnya sedikit terbuka, seperti baru saja membisikkan sisa tembang yang semalam ia nyanyikan.

Ia bukan sedang bermalas-malasan, bukan pula membangkang. Ia hanya tak kuasa melawan kantuk—kantuk yang datang setelah semalam suntuk berjaga di pentas pakeliran, menyanyikan lagu-lagu campursari dan nyinden dalam pagelaran wayang ayahnya.

Hari ini, tubuhnya hadir di ruang kelas, namun jiwanya tertinggal di panggung semalam—di bawah sinar lampu blencong dan gemuruh gamelan yang masih bergema dalam mimpi.

“As! Bangun!” Teman sebangku kembali berusaha membangunkannya, kali ini dengan suara lebih mendesak.

Tapi sebelum tangan itu menyentuh lebih jauh, suara Ibu Guru terdengar lembut namun tegas.

“Ssssst… sudah. Diamkan saja. Dia kelelahan.”

Seketika ruangan kembali tenang. Pelajaran pun berlanjut, tanpa Asmarawati yang terseret ke alam lelapnya. Di papan tulis, rumus dan definisi terus mengalir, namun di sudut kelas itu, seorang siswi sedang mengarungi samudra sunyi—di mana waktu melambat dan mimpi mengambang seperti wayang di langit-langit kelir.

Sesekali, Ibu Guru berjalan pelan di antara bangku. Matanya mengawasi siswa lain dengan perhatian yang tenang. Dan saat ia melintasi Asmarawati, ia berhenti sejenak, lalu dengan kasih seorang ibu guru, mengelus punggung gadis itu dengan lembut.

Tak ada kata-kata. Hanya sentuhan diam. Seolah ingin berkata: "Tidurlah sebentar, anakku. Dunia ini pun tahu lelahmu adalah pengorbanan.”

Bel berbunyi nyaring, memecah kesunyian akhir pelajaran.

Satu per satu siswa keluar dari kelas, seperti burung-burung yang dilepas dari sangkarnya—bersorak, bercanda, dan berhamburan menuju gerbang sekolah.

Namun di bangku paling kanan, nomor dua dari depan, Asmarawati masih terpejam, tertidur dalam dunia mimpinya yang belum usai. Helaian rambutnya jatuh melintang di atas meja, sementara tangannya masih memeluk buku, seperti anak kecil yang tak ingin lepas dari selimutnya.

Ibu Guru mendekat, lalu menepuk lembut pundaknya.

“Sudah siang, Nduk… bangun!” ucapnya lembut, seperti membangunkan bunga yang tertidur karena hujan malam.

Asmarawati terperanjat. “Astaghfirullah!” katanya kaget, glagepan, napasnya tersengal seperti baru saja kembali dari dunia lain.

Ibu Guru hanya tersenyum, penuh pengertian. Ia tahu betul siapa Asmarawati dan dunia yang menguras lelahnya.

“Ini materi pelajaran hari ini, As. Nanti dikerjakan di rumah, ya.” katanya sambil menyerahkan lembaran kertas pelajaran.

“Oh, nggih Bu… maaf, saya ketiduran.” jawab Asmarawati lirih, sembari menerima kertas itu dengan mata yang masih setengah sayu.

Tanpa banyak kata lagi, ia merapikan tasnya dan berjalan menuju pintu.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Sekolah sudah sepi.

Koridor-koridor sunyi, hanya ada suara sepatunya yang menyentuh lantai dan angin yang menggesek ranting pohon ketapang di halaman.

Langit tampak sedikit mendung—seperti mewakili perasaan seorang gadis yang pulang dengan tubuh letih dan pikiran yang masih tertinggal di antara gending semalam dan tugas sekolah hari ini.

Dengan langkah pelan, Asmarawati melangkah pulang sendirian. Tak ada teman yang menemaninya kali ini. Tapi dalam sunyi langkahnya, ada keanggunan yang tak terlihat. Ia adalah gadis yang hidup di antara dua dunia—panggung dan pelajaran, gamelan dan lembar mata pelajaran, malam yang menyala dan siang yang membisu.

Dan seperti biasa, ia menjalaninya tanpa keluh, dengan diam yang tegar, dan hati yang tetap setia menanggung segala peran.

Sepulang dari sekolah, Asmarawati langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa ruang tamu. Masih dengan seragam putih abu-abu yang kusut oleh waktu, ia menjatuhkan tubuhnya seperti daun jati yang menyerah pada angin sore. Matanya kembali terpejam, seolah masih menyimpan sisa kantuk yang tak sempat habis di ruang kelas tadi.

Sunyi rumah ditemani hanya oleh suara sapu yang menyapu lantai. Di sudut ruangan, Sundari, ibunya, tengah membersihkan rumah dengan gerak yang pelan namun teratur.

Melihat anak gadisnya tidur di ruang tamu, ia pun menegur dengan nada lembut tapi berselaput adat. “Kok tidur di sini to, Nduk? Nanti kalau ada tamu gimana? Pindah sana ke kamar!”

Asmarawati menggeliat sedikit, lalu menjawab dengan suara malas, serak oleh lelah. “Asmara lelah sekali, Bu…”

Sundari menghela napas pelan, lalu menyapu lebih dekat ke arah sofa. Nadanya tetap tenang, tapi sarat didikan halus perempuan Jawa. “Eh, ndak boleh begitu, Nduk. Ndak sopan. Anak perawan tidur di ruang tamu itu ndak elok. Ayo, pindah-pindah. Mending mandi dulu sana. Badanmu pasti gerah, habis itu baru tidur lagi kalau memang masih capek.”

Asmarawati terdiam sejenak. Lalu, dengan langkah pelan, ia bangkit dari sofa. Rambutnya tergerai ke depan, matanya masih setengah tertutup. Langkahnya terhuyung-huyung seperti wayang yang kehilangan dalangnya. “Nggih, Bu… Maaf…”

Suaranya lirih, penuh pengertian meski diselimuti kantuk. Ia pun menuju kamar mandi, meninggalkan jejak kelelahan yang masih melekat di kain seragamnya.

Di belakangnya, Sundari kembali menyapu lantai, sesekali mengusap pelipisnya. Dalam diam, ia paham—bahwa putrinya sedang tumbuh, menjalani jalan yang tak mudah: sebagai pelajar, sebagai pesinden, dan sebagai gadis desa yang menyimpan banyak dunia dalam diamnya.

Namun, selesai mandi, Asmarawati tak langsung kembali ke pembaringan. Kain handuk belum kering benar, rambutnya masih basah menetes, tapi langkah kakinya telah membelok ke arah yang lain.

Ia pergi ke tanggul Brantas.

Untuk apa? Untuk siapa?

Entahlah.

Apakah untuk berpacaran? Atau hanya sekadar melepas sunyi bersama seorang teman? Tapi dari cara mereka duduk, dari sorot mata yang saling meneduhkan, dari diam yang tak canggung di antara mereka—sudah bisa ditebak: dua hati ini saling menaruh rasa.

Namun, sejauh cerita ini mengalir, belum pernah satu pun dari mereka mengucap kata cinta. Tak ada janji, tak ada rayuan. Hanya pertemuan-pertemuan diam yang menghangatkan sore.

Biarlah cerita ini mengalir, jangan buru-buru menagih pengakuan. Kadang cinta lebih setia disimpan dalam diam, dibanding diucapkan dalam kata.

Sore itu, tanggul Kali Brantas tampak lebih sepi dari biasanya. Langit barat berselimut jingga yang lembut, seperti selendang senja yang melambai di ujung cakrawala. Angin berhembus malas, membawa bau lumpur sungai dan rumput liar.

Hanya ada satu lelaki paruh baya yang duduk di atas batu besar di pinggir jalan. Ia sedang menggembalakan domba-dombanya yang merumput dengan rakus di lereng tanggul. Di tangannya tergenggam lintingan tembakau, asapnya meliuk pelan ke udara seperti bingkisan doa yang tak pernah selesai.

Sesekali ia meneriaki domba yang mulai menyusup ke batas sawah milik orang.

“Ssst! Ssst! Mbali kéné, ndang!”

Namun perhatian kita bukan pada domba, bukan pula pada embun yang mulai mengendap di ujung rumput. Di atas tanggul, di bawah pohon akasia yang rindang, Wiji dan Asmarawati telah duduk berdua.

Mereka menghadap ke barat—menatap senja, seolah tengah menanti sesuatu yang tak mereka tahu pasti: mungkin jawaban, mungkin hanya keheningan. Mereka berbincang pelan, suara mereka tenggelam oleh gemerisik daun dan deru Brantas yang jauh di bawah.

Dunia seolah tak penting. Jalanan, orang-orang yang berlalu lalang, suara motor, bahkan teriakan penggembala domba—semua seperti tak sampai ke telinga mereka. Karena di antara mereka, sedang berlangsung percakapan paling jujur: percakapan yang tak memerlukan kata-kata.

“Apakah tak ada tempat yang lebih indah dari sini, Dek?” tanya Wiji, membuka percakapan dengan suara yang nyaris tenggelam dalam desir angin sore.

Asmarawati tersenyum kecil, matanya menatap jauh ke lembah, ke arah sawah dan sungai yang berkilau oleh cahaya senja.

“Bagiku, Mas… semua tempat di bawah kolong langit ini indah,” jawabnya tenang. “Keindahan itu bukan tentang tempatnya, tapi tentang bagaimana kita memperlakukannya. Bila kita mampu merawatnya dengan kasih, ia akan tetap indah. Tapi bila kita menyakitinya, alam akan menyimpan dendam, dan pada waktunya… ia akan membalas.”

Ia diam sejenak, lalu melanjutkan, kini dengan suara yang lebih dalam. “Sama seperti hati manusia, Mas. Jika dijaga, disayangi, dihormati… ia akan tenang, penuh damai. Tapi bila dilukai, dihianati, atau diabaikan—ia pun bisa menjadi luka yang membara.”

Wiji menoleh, menatap wajah gadis di sampingnya. Diam-diam ia tertegun, tak menyangka dari bibir yang lembut itu, mengalir kata-kata yang setajam renungan.

“Benarkah begitu, Dek?”

Asmarawati mengangguk pelan. “Alam semesta ini tidak hanya memberi keindahan, Mas. Ia juga guru yang tak pernah diam. Setiap hembus angin, setiap jatuhnya daun, bahkan setiap badai pun menyimpan pelajaran. Tinggal kita, mau membaca atau melewatkannya begitu saja.”

Wiji tak segera menjawab. Ada jeda panjang yang dibiarkan hening, sebab pikirannya sedang menyimak lebih dalam daripada telinganya. “Tak kusangka… kamu sepintar itu, Dek,” ujarnya lirih, tulus.

Asmarawati tersenyum lagi, kini lebih datar. “Di dunia ini tidak ada manusia yang benar-benar pintar, Mas. Yang ada hanya mereka yang kebetulan berhasil memahami sesuatu sebelum yang lain.”

“Sama halnya dengan kekayaan… ia juga hanya soal kebetulan. Banyak yang berusaha, banyak pula yang gagal. Bukan karena mereka bodoh atau malas. Tapi karena setiap keberhasilan… punya waktunya masing-masing.” Ia menarik napas panjang, lalu memandang langit yang mulai berpendar ungu.

“Dari sekian banyak yang berusaha menjadi pintar atau kaya… tidak semuanya berhasil dalam waktu yang sama. Sebagian harus menunggu, sebagian harus mengalah. Sebagian lagi harus jatuh berkali-kali sebelum sampai.”

Wiji menatapnya penuh tanya, suaranya pelan, nyaris seperti anak kecil yang sedang bertanya pada langit.

“Maksudmu...?”

Asmarawati menoleh. Matanya teduh, seperti telaga yang tak beriak. “Maksudku, Mas… semua orang akan berhasil pada waktunya. Tapi waktunya tidak bersamaan. Maka jangan sombong kalau kita duluan. Dan jangan minder kalau kita belakangan. Karena Tuhan tidak pernah terburu-buru. Ia hanya sedang menyusun takdir seindah mungkin.”

“Dan yang utama dalam kehidupan ini bukanlah menjadi pintar atau kaya,” kata Asmarawati, pelan namun mantap. “Tetapi usaha—niat dan tekad untuk terus berjalan. Kata bapakku, hidup ini seperti cakra manggilingan.”

Wiji menoleh, alisnya sedikit mengernyit. “Apa itu, Dek?”

Asmarawati tersenyum tipis. Ia menunduk sebentar, lalu memandang langit yang mulai meredup. “Cakra manggilingan itu artinya roda yang terus berputar. Simbol dari siklus hidup manusia dan semesta ini. Tak ada yang tetap, Mas. Hari ini kita tertawa, besok bisa saja kita menangis. Hari ini kita di atas, esok mungkin di bawah. Kadang kita merasa pintar, namun ada kalanya kita bodoh—entah karena lupa, atau karena belum kenal dengan persoalannya.”

Ia menengadah, daun akasia bergoyang di atas kepalanya, menari dalam bisikan angin.

"Di dunia ini, segala kemungkinan selalu terbuka. Maka yang terpenting bukan hasilnya, tapi sejauh mana kita mau terus berusaha dan belajar.”

Wiji menatapnya lekat-lekat, wajahnya tak bisa menyembunyikan kekaguman yang tumbuh tanpa ia sadari.

“Aku semakin kagum denganmu, Dek...” katanya pelan, disertai senyum yang hangat dan tulus.

Asmarawati membalas senyum itu, lembut seperti senja yang sebentar lagi hilang. “Harusnya aku yang kagum pada panjenengan, Mas… Karena panjenengan sudah mau mendengarkan kata-kataku.”

Wiji terkekeh ringan, sedikit heran. “Kok bisa begitu?”

Asmarawati menatapnya, kali ini dengan sorot yang lebih dalam. Ada ketulusan di matanya yang membuat Wiji hampir tak sanggup berpaling. “Tidak mudah menjadi orang yang mau mendengar seperti sampean, Mas. Banyak yang hanya ingin didengar, tapi tak mau mendengarkan. Apalagi panjenengan... yang usianya lebih dewasa dariku, mestinya lebih suka menasihati. Tapi hari ini… aku malah merasa dihargai. Baru kali ini aku bisa bicara panjang-lebar, tanpa dipotong, tanpa diremehkan. Terima kasih, Mas… sudah mau mendengar celotehan bocil sepertiku.”

“Siapa yang bilang kamu masih bocil? Dan siapa pula yang bilang aku sudah dewasa?”

kata Wiji, menatap Asmarawati dengan sorot mata yang lembut namun tegas.

“Bocil atau dewasa bukan soal umur, Dek. Tapi tentang sikap, tentang cara hati menanggapi dunia. Dan sampean, Dek... sudah melampaui banyak orang dalam hal itu.” Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimatnya menyusup dalam udara senja yang mulai dingin.

“Aku bukan siapa-siapa, Dek. Aku bukan orang penting, bukan orang pintar. Aku cuma seseorang… yang datang padamu karena ingin menemanimu.

Dan karena itu, mendengarkanmu… adalah keharusan bagiku. Bukan beban, bukan kewajiban—tapi sebuah kehormatan.”

Asmarawati menunduk. Senyumnya lirih, seakan malu pada embun yang mungkin menetes di sudut matanya. Ia menatap Wiji dengan pandangan yang bening, penuh kejujuran. “Aku bersyukur sekali bisa kenal panjenengan, Mas… Panjenengan selalu menyempatkan waktu, hanya untuk mendengarkan isi hatiku. Untuk menjadi bahu meski tanpa dipeluk. Menjadi telinga, meski tak selalu setuju. Aku… sangat berterima kasih. Karena penjenengan aku seperti memiliki kekuatan.”

Suara mereka mengambang, bercampur dengan bayang pepohonan dan bisikan angin yang menggoyangkan daun akasia. Di atas tanggul kali Brantas sore itu, mereka duduk berdua. Terjebak dalam sunyi yang romantis, dalam diam yang lebih nyaring dari seribu kata. Tapi… masih belum juga ada kata cinta yang terucap.

Tak ada kata. “aku mencintaimu.”

Tak ada kata. “jadilah pendamping hidupku.”

Atau kata-kata gombal lainnya.

Yang ada hanya debar, yang pelan-pelan mengetuk dada masing-masing, seolah berkata: "Inikah cinta yang belum sempat di beri nama?"

“Aku bangga pada panjenengan, Mas…”

ucap Asmarawati, suaranya pelan, nyaris seperti doa.

Wiji tersenyum. Ditatapnya gadis di sampingnya itu, seolah ingin membingkai wajahnya dalam ingatan yang abadi.

“Dan aku… sangat bangga padamu, Dek.”

“Tidak ada orang yang sudi mendengar suaraku melebihi sampean, Mas…” ucap Asmarawati, suaranya lirih namun jujur, seolah keluar dari ruang hatinya yang terdalam.

“Panjenengan selalu ada, kapan saja. Mendengarkan aku, menjagaku, menguatkanku… bahkan saat aku sendiri sudah tak yakin pada diriku sendiri.”

Wiji terdiam. Matanya nanar menatap langit yang mulai memerah, lalu menoleh ke arah Asmarawati. Hatinya disentuh, seperti daun yang jatuh pelan di tengah kolam. “Aku hanya melakukan apa yang kamu minta... dan apa yang aku bisa, Dek. Ini hanya bagian dari usaha kecilku, sebisaku, semampuku—semua ini kulakukan untukmu..Karena kamu tahu… bahagiamu adalah bahagiaku. Dan senyummu itu, Dek… adalah bagian dari semangat hidupku.”

katanya sambil mengepulkan asap rokok ke udara, yang melayang seperti rasa yang tak terucap.

Asmarawati menatap langit barat, tempat matahari sudah hampir habis separuh.

“Tapi bagi aku, Mas… apa yang panjenengan lakukan itu lebih dari segalanya. Aku tak pernah ingin menuntut siapapun tentang apapun. Cukup orang-orang yang mau menerimaku… Dan menemaniku apa adanya. Yang bisa kuajak bertukar cerita, merenda mimpi, dan bersama-sama membangun cita. Ajur-ajer. Bebrayan gung, menapaki dunia yang penuh misteri.”

Obrolan mereka makin dalam. Kata demi kata menjadi jembatan rasa. Namun masih saja tak ada satu pun kata cinta yang terucap.

Tapi batinmu para pembaca—dan mungkin semesta pun tahu—bahwa mereka telah mengarah ke sana.

Cinta, meski belum disebut, telah tumbuh seperti akar di dalam tanah: tak tampak, tapi menghidupi.

Angin sore mulai berhembus lebih kencang. Rambut Asmarawati tersibak pelan. Ia menahan dengan jemarinya yang mungil, lalu bertanya:

“Aku boleh nanya ndak, Mas?”

Wiji menoleh, tersenyum. “Boleh. Mau nanya apa?”

Asmarawati menarik napas, matanya redup namun dalam. “Menurut sampean, apakah cinta itu butuh pengorbanan?”

Pertanyaan itu menyelinap ke dada Wiji, menyentak batinnya. Ia tak langsung menjawab. Hanya memandang tanah, lalu mengangkat wajah pelan-pelan. “Maaf, Dek… aku bukan orang yang paham betul tentang cinta. Tapi menurutku…

orang yang mencintai tidak seharusnya merasa berkorban. Tidak juga merasa berjasa. Karena… jika kau benar mencintai, maka memberi itu bukan beban. Menemani itu bukan kerja. Mendengarkan itu bukan tugas. Semua itu terjadi... karena hati ingin melakukannya. Bukan karena diminta. Bukan karena diganjar.”

Asmarawati terdiam. Sejenak, ia merasa seluruh kalimat itu bukan hanya untuk menjawab pertanyaannya, tetapi juga mengetuk pintu hatinya.

“Lire pripun? Aku tidak mengerti!” kata Asmarawati, langsung menatap Wiji dengan sorot mata yang mencari pemahaman.

Wiji menarik napas perlahan. Ia menatap ke depan, lalu menjawab dengan suara yang tenang namun dalam. “Cinta itu tentang perasaan, Dek. Tentang sesuatu yang tak bisa dijelaskan secara wujud. Ia bukan benda yang bisa digenggam, bukan pula kata yang bisa ditakar. Cinta adalah dorongan emosi… keinginan untuk melindungi, untuk mendukung, untuk hadir sepenuhnya tanpa syarat. Kalaupun harus ada materi yang dipersembahkan, maka itu hanyalah sarana. Bukan arti cinta yang sesungguhnya. Karena cinta tak butuh kata-kata. Ia bisa dilihat, dirasa… melalui ekspresinya.”

Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan: “Cinta itu seperti seni rupa. Seorang pelukis menuangkan isi perasaannya ke atas kanvas. Tapi bukan berarti warna-warna cat yang ia pilih adalah bentuk pasti dari hatinya. Itu hanya ekspresi. Hari ini mungkin biru, esok bisa jadi merah, meskipun masih dalam perasaan yang tetap sama. Semua tergantung suasana hatinya dan keadaan di sekitarnya. Begitu pula cinta. Ia bisa berubah rupa, tapi tidak berubah rasa.”

Wiji kembali mengepulkan asap rokok ke udara, lalu berbicara dengan lirih: “Sebagaimana ekspresi seni, cinta tidak menyuruh kita untuk menjawab. Ia mengajak kita berpikir. Dan pikiran yang sehat… adalah pikiran yang melibatkan perasaan. Itu hanya bisa dilakukan oleh cinta. Bukankah setiap karya seni yang indah itu selalu melibatkan hati? Dan setiap yang lahir dari hati… pasti menghasilkan keindahan. Hanya cinta yang sungguhan yang mampu melakukan hal seperti itu.”

Ia menarik napas dalam, lalu menunduk sejenak. “Dan cinta bukan tentang memiliki, Dek. Karena orang yang merasa memiliki… seringkali ingin menguasai. Seenaknya sendiri. Egois. Padahal cinta bukan tentang itu. Cinta adalah tentang nyawiji. Tentang membersamai langkah seseorang yang kita cintai, seperti suara sinden yang membersamai irama gamelan—apapun keadaannya. Tanpa tuntutan. Tanpa paksaan. Tanpa janji-janji besar. Hanya hadir… dan tetap tinggal.”

“Mas!... Ndak nyangka sampean sedalam itu,” ujar Asmarawati dengan sorot mata yang mulai berkaca-kaca. Suaranya lirih, namun sarat dengan kekaguman yang tak bisa ia sembunyikan. Wiji tersenyum tipis, lalu menjawab pelan, “Kamu yang mengajariku, Dek.”

Asmarawati mengerutkan dahi, merasa heran. “Loh, kok aku?” tanyanya polos.

“Iya, kamu… Kamulah yang telah mengajari aku. Tanpa kamu berkata-kata, mungkin aku tak akan pernah mampu merangkai kata seperti tadi,” jelas Wiji dengan suara yang mulai terbata-bata.

Asmarawati tertegun mendengarnya. Ia menatap wajah Wiji yang kini memerah, dengan napas yang sedikit tersengal. Hening sejenak menyelimuti mereka berdua, hingga Wiji memberanikan diri bertanya, “Lalu… kenapa kamu menanyakan soal cinta kepadaku? Apakah kamu sedang jatuh cinta?”

Asmarawati mengalihkan pandangannya ke cakrawala. Ia mencoba menyembunyikan perasaannya, meskipun hatinya tak bisa membohongi bahwa ia sedang menaruh hati pada Wiji. “Tidak, Mas. Aku hanya ingin bertanya saja,” jawabnya pelan, menghindar dari kenyataan yang mulai mendesak di dalam dadanya.

Wiji hanya tersenyum. “Ya sudah. Berbicara tentang cinta memang tak akan ada habisnya. Karena definisi cinta tak punya batas yang jelas untuk dijelaskan.”

“Iya, aku setuju dengan panjenengan, Mas,” sahut Asmarawati cepat. “Cinta itu seluas alam semesta yang tak pernah kita tahu di mana ujungnya. Kita hanya bisa menebaknya… tetapi kita sering tidak sadar ketika ia mulai berubah.”

Wiji mengangguk, lalu berkata perlahan, “Kalau di pagi hari mendung…”

“Belum tentu siangnya akan turun hujan,” sahut Asmarawati cepat.

Wiji melanjutkan, “Kalau ternyata siangnya turun hujan?”

“Berarti kita yang salah menebaknya.”

“Kalau kita salah menebak?”

“Berarti kita harus belajar dari kesalahannya.”

Lalu, seolah telah sepakat tanpa aba-aba, mereka berkata bersamaan, “Begitulah cinta.”

Keduanya tertawa kecil, ringan seperti angin sore yang membelai wajah. Meskipun pembicaraan mereka belum menjadi pengakuan perasaan secara langsung, namun hati mereka tahu: itulah cinta yang sebenarnya. Terkesan seperti bercanda, tapi cukup untuk saling mengikat dua hati yang sama-sama telah tersentuh rasa.

********

Sementara itu, di sudut warung angkringan yang teduh di bawah pohon ceri, Yu Kastun duduk bersama: Nasirun dan Marjoko. Ketiganya ditemani secangkir teh panas dan sepiring gorengan yang tinggal separuh. Di balik tirai plastik yang mengayun pelan diterpa angin sore, sorot mata Yu Kastun tertuju pada dua sosok muda yang tengah duduk bersisian di tanggul Brantas—Wiji dan Asmarawati.

Entah setan apa yang merasuki pikirannya sore itu, wajah Yu Kastun tampak tidak tenang. Bibirnya bergetar, dan nadanya mulai meninggi, menandakan gelombang keresahan yang sulit ditahan.

“Tuh lihat, Makde! Lihat, Mar! Pemandangannya itu lho…” katanya seraya menunjuk ke kejauhan, di mana Wiji dan Asmarawati tampak khusyuk berbincang, di bawah naungan pohon akasia yang mulai gugur daunnya.

Nasirun menoleh pelan, mengikuti arah telunjuk Yu Kastun. Ia tersenyum tenang, lalu menanggapi dengan santai, “Iya, bagus tho. Mengingat orangtua mereka saling bermusuhan, tapi anak-anaknya bisa akur, bisa duduk bersama seperti itu. Itu namanya generasi muda yang membangun—yang ndak ikut mewarisi dendam orangtuanya.”

Namun, komentar itu justru memancing cibiran dari Yu Kastun. “Sampean ini piye to, Makde? Jangan lihat sekarangnya saja. Lihat nanti kalau sudah ketahuan sama orangtua mereka. Bisa-bisa ribut lagi Ki Ratmoyo dan Kaji Mispan. Gara-gara anak-anak itu.”

Nasirun menghela napas, menarik rokok lintingannya yang tinggal separuh. Ia tampak berusaha sabar menghadapi omongan Yu Kastun yang dari tadi sumuk sendiri. “Tun, kamu jangan su'udzon. Kasihan mereka. Mereka itu cuma arek-arek muda yang ndak tahu-menahu soal permusuhan bapak-bapak mereka. Kita ini orang tua, harusnya ndak menularkan kebencian ke siapapun. Apalagi sampai mewariskannya kepada anak-anak kita. Salah, kalau kita membiarkan generasi muda ikut larut dalam luka masa lalu yang belum sembuh.”

“Tapi saya kok tetap ndak yakin, to Makde, kalau hubungan mereka itu bakal langgeng,” kata Yu Kastun, masih ngeyel.

“Saya juga ndak yakin, Yu,” sela Marjoko, yang dari tadi hanya mendengarkan, kini ikut membuka suara. Seperti biasanya, komentar Marjoko seringkali menambah bensin dalam api yang belum padam.

Nasirun menggelengkan kepala, pelan namun dalam. “Piye to ki? Kalian ini angel tenan diajak mikir positif. Masa soal anak muda pacaran aja kudu dihubung-hubungkan sama politik, dan permusuhan lama?”

Marjoko terkekeh, lalu nyeletuk dengan nada yang agak sengak, “Hooo… wes angel-angel. Angel temen tuturanmu.”

Nasirun mendesah panjang. “Ya sudah, terserah kalian. Mau berprasangka seperti apa soal mereka. Yang jelas, mereka itu anak-anak muda yang sedang kasmaran. Tun… Yang namanya katresnan itu tidak bisa dipaksa, juga tidak bisa dicegah. Diusir tak mau pergi, diundang pun kadang tak datang. Cinta itu seperti angin—kadang datang diam-diam, lalu menetap tanpa permisi.”

Tapi Yu Kastun tetap keras kepala. Mulutnya terus bergerak, menggiling cerita itu seperti genteng tua yang berderit saat diinjak. Ia mulai menyampaikan hal yang sama ke siapa pun yang ia temui. Dari satu pembeli ke pembeli lain, dari warung ke rumah-rumah tetangga, ia sebarkan kabar tentang Wiji dan Asmarawati—tentang dua anak muda yang, menurutnya, sedang bermain api cinta di tengah tumpukan jerami lama.

Cerita itu menyebar pelan-pelan, menelusup lewat celah pintu rumah dan reranting pepohonan. Hingga akhirnya, kabar tersebut terdengar oleh banyak telinga di penjuru desa Wonosari. Ada yang hanya sekadar penasaran, ada pula yang mulai pasang telinga dan hati-hati menjaga sikap di hadapan Ki Ratmoyo maupun Kaji Mispan.

Sebagian warga mulai berspekulasi. Ada yang berbisik di sudut-sudut dapur, di bawah lampu teplok, ketika malam mulai larut. Beberapa menduga bahwa hubungan itu akan menjadi pemicu pertengkaran baru antara dua tokoh penting yang sudah lama menyimpan bara dalam dada. Apalagi sejak pemilihan lurah beberapa tahun silam, di mana Ki Ratmoyo dan Kaji Mispan berdiri di dua kutub yang saling berseberangan. Permusuhan mereka belum padam, hanya disembunyikan dalam senyum dan basa-basi. Dan sekarang, kabar bahwa anak-anak mereka saling jatuh cinta. Seperti akan menyiram minyak ke api yang belum mati.

Tapi di tengah semua itu, Wiji dan Asmarawati masih belum tahu. Mereka hanya sepasang anak muda yang duduk di tepi senja, membicarakan cakra manggilingan dan tafsir cinta dalam bahasa yang halus, nyaris filosofis. Mereka tak tahu bahwa di balik hangatnya obrolan mereka, sebuah badai kecil mulai mengembang pelan-pelan di langit Wonosari.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!