Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nama yang di hapus dari Tanah
TV di pojok kamar kosan itu nyala, suaranya pelan. Tri lagi duduk selonjoran, ngegenggam remote sambil nonton sinetron detektif abal-abal. Ningsih tiduran miring, nonton juga, tapi matanya lebih banyak ke snack daripada ke layar.
Sasmita duduk di bawah jendela, nyender, rokok mengepul, buku novel pemburu monster terbuka di pangkuannya.
Semuanya biasa.
Sampai layar TV berubah.
“BREAKING NEWS,” suara pembawa berita perempuan terdengar agak tremor, “telah ditemukan puluhan warga di sebuah desa di wilayah perbatasan Garut–Tasikmalaya mengalami kondisi kulit membusuk, menebar bau amis, dan tidak bisa disembuhkan dengan medis…”
Tri langsung duduk tegak.
“Eh ini bukan sinetron,” bisiknya.
Ningsih ikutan bangun. Mereka berdua lihat TV, pelan-pelan, wajah berubah tegang.
Sasmita? Masih diam. Tapi rokoknya padam, dan matanya... tajam. Seperti binatang buas yang baru mencium bau darah lama yang familiar.
Wajah korban-korban ditampilkan. Kamera sempat blur, tapi cukup jelas: kulit mereka berkerak, bernanah, menghitam di bagian leher dan punggung. Ada yang sampai jari-jarinya lepas sendiri. Ada yang matanya terus menangis cairan putih.
Warga bilang ini “kutukan”.
Tapi yang paling ngeri adalah... semua korban senyum.
Lirih. Palsu. Tapi konstan. Seolah yang mereka rasakan bukan sakit. Tapi... nikmat.
Tri ngeludah kecil.
“Ningsih… ini bukan kurap biasa. Ini... kayak kurap siluman.”
Ningsih jawab, “Kurap apaan yang bisa nyebar satu desa?”
Sasmita berdiri. Buku di pangkuannya ditutup pelan. Dia buang napas. Lalu jalan ke lemari kecil, ngebuka kunci gembok kombinasi empat angka.
Brak.
Laci terbuka. Dan di dalamnya, benda yang gak pernah disentuh kalau bukan urusan gawat:
Jurnal Siluman Keluarga Wibisana.
Sampulnya dari kulit asli. Entah kulit manusia atau bukan. Ada bekas cakaran lama, mungkin cakar makhluk yang pernah dikurung. Di halaman pertama ada kaligrafi kuno dan tulisan latin kasar: “Jangan buka kecuali kau siap kehilangan kenyataan.”
Sasmita nggak banyak omong. Dia duduk bersila, buka halaman demi halaman. Matanya menyisir baris-baris tulisan yang cuma bisa dibaca kalau lo pernah ngeliat langsung siluman asli.
Tri dan Ningsih diem. Muka mereka serius. TV masih menyala, tapi suara pelan.
Sampai akhirnya...
Sasmita berhenti di satu halaman yang penuh noda hitam. Seperti tinta yang mencoba disamarkan. Tapi dia tau trik lama itu.
Dia tiup. Lalu gosok pelan dengan ujung jari yang pakai minyak dari kalung jimatnya.
Dan nama itu muncul:
BAB-IANG KURAP
“Babiang…” Sasmita berbisik. “Gue kira dia udah ilang dari sejarah.”
Tri mendekat. “Itu apaan, Guru?”
Sasmita nunjuk gambar siluet di pojok halaman: makhluk besar, kepala kayak babi tapi punya gigi panjang seperti anjing, tubuh campuran kambing dan sapi, kulitnya penuh luka terbuka yang mengalirkan cairan hitam.
“Ini... siluman penyakit lama. Disebut Babiang Kurap. Dulu, dia pemimpin kawanan siluman penyakit. Makanannya bukan daging manusia. Tapi rasa malu, jijik, dan keputusasaan korban yang tubuhnya rusak pelan-pelan.”
Ningsih nelen ludah. “Dia yang bikin desa itu kayak neraka, ya?”
Sasmita mengangguk.
“Kalau dia udah muncul, berarti dia udah dapet inang kuat. Dia enggak bisa hidup sendiri. Dia numpang di tubuh manusia, terus bikin seluruh tubuh manusia itu jadi sarang jamur, darah, dan kutukan.”
Dia berdiri. Wajahnya udah berubah dari ‘Guru healing’ jadi ‘Pemburu berdarah dingin’.
“Dan kalau satu desa kena... berarti dia udah kuat banget. Mungkin terlalu kuat buat lo berdua.”
Tri dan Ningsih cuma bisa diem.
Sasmita jalan ke jendela. Dia buka, biar asap rokok bisa keluar. Tapi juga biar hawa dari luar masuk. Angin malam hari itu dingin. Tapi ada bau samar... bau mirip belerang dan bangkai tikus mati.
Dia mencium, lalu ngomong pelan.
“Dia udah mulai nyebar.”
Lalu dia balik badan.
“Kalian tetap di sini. Gue kejar jejak kutukannya dulu. Sendiri.”
Tri nekat buka mulut. “Enggak bisa, Guru. Kita tim—”
“Bukan ini levelnya,” potong Sasmita. Suaranya tajam. “Dia bukan sekadar siluman. Dia trauma berjalan. Dia ngasih lo rasa gatal... tapi di hati.”
Dia jalan ke laci senjatanya. Buka sabuk jimat. Ambil satu botol kecil berisi cairan kuning.
“Kalau ini sampai nyebar ke kota, kita bukan lagi ngelawan makhluk. Tapi ide busuk yang bisa bikin manusia bunuh diri sambil ketawa.”
Tri masih mau protes. Tapi Ningsih narik tangannya. Matanya udah basah.
Mereka tau tatapan Sasmita sekarang bukan tatapan guru yang bisa digangguin. Tapi... tatapan seseorang yang baru ketemu hantu masa lalu.
---
Malam itu sunyi.
Dan satu nama lama telah kembali muncul ke dunia:
Babiang Kurap.
Yang kutukannya bukan sekadar borok di kulit. Tapi nanah di hati umat manusia.
Bersambung....