"Diremehkan Karna Miskin Ternyata Queen" Adalah Kisah seorang wanita yang dihina dan direndahkan oleh keluarganya dan orang lain. sehingga dengan hinaan tersebut dijadikan pelajaran untuk wanita tersebut menjadi orang yang sukses.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anayaputriiii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Persiapan Pembongkaran Identitas
Langkah Arya terdengar menggema di koridor kantor. penuh percaya diri seperti biasa. Setelan jas mahal yang dikenakannya mencerminkan statusnya sebagai salah satu wakil manager muda yang dianggap menjanjikan. Namun, di sudut ruangan, Raffa berdiri dengan seragam OB-nya yang sederhana, mengamati pria itu dengan pandangan tenang. Arya menyadari tatapan Raffa dan segera mendekat. Dengan senyum sinis, ia berkata,
"Kenapa lihatin aku begitu?" Suaranya cukup keras, menarik perhatian beberapa karyawan di dekat mereka.
Raffa tidak langsung menjawab, hanya menatap Arya dengan ekspresi datar. Arya mengangkat dagu,memamerkan sikap angkuhnya.
"Dengar, ya. Aku nggak mau kamu sok kenal sama aku di sini. Meski sekarang kita keluarga, aku nggak mau semua orang di kantor ini tahu kalau aku ada hubungan sama OB kayak kamu. Bisa- bisa reputasiku hancur!"
Raffa tersenyum tipis, senyum yang membuat Arya semakin kesalkarena tidak mendapatkan reaksi seperti yang diharapkannya.
"Santai aja, Pak Arya," ujar Raffa pelan, namun nadanya tajam. "Saya nggak pernah mau mengaku- ngaku keluarga dengan orang seperti Anda. Jadi, nggak usah khawatir."
Arya melotot, lalu tertawa kecil dengan nada mengejek. "Bagus kalau tahu diri. Kamu nggak punya hak apa -apa buat bawa -bawa nama aku di sini."
Raffa hanya mengangguk singkat, lalu melangkah pergi tanpa berkata apa- apa lagi. Di dalam hatinya, ia menyimpan rasa geli bercampur puas. Beberapa hari lagi, semua akan berubah. Arya,dengan segala kesombongannya,tidak akan lagi bisa berjalan pongah seperti sekarang.
Pak Wirya berdeham keras. Lelaki paruh baya yang selama ini dianggap adalah pemilik perusahaan itu memasuki ruangan para OB. Semua orang, termasuk Raffa berbaris rapi berjejer untuk menyambut kehadiran Pak Wirya.
"Selamat pagi semuanya, sapa Pak Wirya.
"Selamat pagi, Pak!" Jawaban serempak terdengar di ruang aula khusus OB.
"Saya di sini mau menyampaikan kabar bahwa Tuan Besar, pemilik perusahaan Nirwana yang sebenarnya akan hadir di sinisatu minggu lagi, tepatnya hari Rabu depan. Saya ingin kalian bekerja sama menjaga kebersihan area kantor. Serta melalukan penyambutan untuk pewaris sah Nirwana Grup nanti," jelas Pak Wirya.
Semua orang bergeming. Namun, ekspresi mereka menunjukkan rasa penasaran yang mendalam. Banyak yang belum tahu bahwa Pak Wirya bukan pemilik asli. Jika orang melihat, ia hanya sebuah boneka yang disetir orang di balik layar. Akan tetapi,bagi Pak Wirya itu adalah salah satu pengabdian yang bisa ia lakukan untuk jasa keluarga Pak Brata.
"Kalian siap?" tanya Pak Wirya
"Siap, Pak!" tegas.
"Bagus, jangan lakukan kesalahan sekecil apa pun. Sebab,setelah hari itu tiba, kalian akan tahu pemilik asli perusahaan tempat kalian bekerja ini siapa,"ujar Pak Wirya. Setelahnya, ia berjalan meninggalkan area para ruang OB.
Bisik- bisik mulai terdengar.
"Gila! Aku baru tahu kalau Pak Wirya itu bukan Bos yang sebenarnya!"
"Iya, aku juga. Ternyata Pak Wirya cuma di jadin boneka,"timpal yang lain.
Raffa berdeham keras. "Lebih baik kalau kalian bekerja. Ingat, kalau di sini banyak CCTV tersembunyi yang bisa merekam suara juga," ucapnya.
Semua diam. Benar juga, saking syoknya mereka melupakan hal terpenting yaitu diam tanpa membicarakan para petinggi perusahaan.
Raffa memutuskan untuk pulang ke rumah Pak Brata. Ada halyang ingin ia tanyakan sekaligus memenuhi undangan beberapa hariyang lalu.
Rumah Pak Brata yang megah berdiri dengan anggun di tengah kota menjadi tujuan Raffa. Raffa tiba di sana dengan motor vega sederhana yang kontras dengan lingkungan sekitarnya. Saat ia melangkah keluar, pintu depan rumah terbuka, dan Menik, ibu tirinya, muncul dengan ekspresi masam.
Tanpa sepatah kata, Menik angsung melengos, meninggalkan Raffa yang baru saja tiba. Sikap dingin itu sudah biasa diterimanya sejak ia masih remaja. Menik takpernah menyembunyikan ketidaksukaannya pada anak tirinya itu.
Namun, suasana berubah seketika saat Pak Brata keluar dari pintu dengan senyum hangat.Melihat suaminya, Menik langsung memasang ekspresi manis, seolah tak pernah ada ketegangan di antara ia dan Raffa.
"Raffa, Nak, kamu sudah datang!" ujar Pak Brata sambil tersenyum ramah. Ingin sekali ia memeluk Raffa, namun ia sadar bahwa putranya tak akan mau dipeluk oleh lelaki yang telah menyakiti ibunya.
Raffa membalas pelukan itu dengan senyum kecil. "Iya. Maaf baru sempat datang ada sedikit masalah beberapa hari ini."
Menik, yang tadi acuh tak acuh, tiba- tiba berubah ramah, "Oh Raffa, kamu kelihatan tambah dewasa sekarang. Sudah lama sekali nggak ke sini, apalagi setelah kejadian itu."
Raffa hanya tersenyum tipis,tatapannya menyiratkan bahwa ia tahu kepalsuan di balik keramahan Menik. "Ya. Aku sibuk di kantor dan di rumah."
Pak Brata berdeham. "Kita lupakan dulu masalah pernikahanmu. Karena kita harusfokus pada perusahaan," ucapnya.
Pak Brata mengajak mereka masuk ke ruang tamu yang luas dan elegan. "Ayo, kita duduk. Ada hal penting yang ingin Papa bicarakan."
Menik mengantar mereka dengan senyum manis, lalu kembali ke dapur dengan dalih membuatkan teh. Tapi Raffa tahu,wanita itu hanya ingin menghindari dirinya. Ancamannya waktu itu sepertinya benar- benar berhasil.
Diruang tamu, Pak Brata duduk di sofa besar dan mempersilakan Raffa duduk didepannya. Mata pria itu bersinar penuh semangat.
"Nak, aku bangga dengan apayang kamu capai. Kamu telah bekerja keras dan membuktikan diri. Dan sekarang waktunya untuk semua orang tahu siapa kamu sebenarnya," ujar Pak Brata dengan nada penuh keyakinan.
Raffa hanya mengangguk pelan. "Terima kasih. Tapi aku nggak ingin terburu- buru. Biarkan semuanya berjalan sesuai rencana. Apalagi di perusahaan banyak juga tikus berdasi."
Pak Brata tersenyum lebar. "Dan kamu berhasil memberantas mereka?"
Raffa menggeleng. "Akan kutebas semua saat aku muncul sebagai Bos mereka."
"Tentu, tentu. Tapi aku sudah tidak sabar. Aku ingin semua orang tahu bahwa kamu adalah penerusku yang sebenarnya."
Raffa mengangguk lagi,tatapannya tetap tenang. Ia tahu ayahnya selalu percaya padanya,meski keluarga tiri dan lingkungan sekitar sering meremehkannya.Tapi ia juga tahu bahwa jalan yang ia pilih tidak akan mudah, terutama dengan kehadiran Menik yang selalu berusaha menjatuhkannya di belakang layar.
Setelah percakapan mereka selesai, Menik kembali ke ruang tamu membawa nampan berisi teh dan kue. Senyumnya tetap manis,tapi Raffa menangkap kilatan ketidaksukaan di matanya.
"Ini teh kesukaanmu, Raffa.Buatanku sendiri," katanya sambil meletakkan cangkir di depan Raffa.
"Terima kasih," jawab Raffa sopan, meski ia tahu wanita itu tidak pernah benar- benar peduli padanya.
Pak Brata menatap Menik dengan bangga. "Lihat, Menik.Raffa ini memang sederhana, tapi dia cerdas dan pekerja keras. Aku yakin dia akan membawa perusahaan kita ke puncak kejayaan."
Menik hanya tersenyum tipis. "Iya, tentu saja, Sayang. Kita semua berharap yang terbaik untuk Raffa."
Tapi begitu percakapan bergeser ke topik lain, Menik bangkit dengan alasan ingin membereskan dapur. Saat ia melewati dapur, ponselnya berbunyi. la menerima panggilan dari seseorang yang suaranya terdengar tegang di ujung telepon.
"Bu Menik, kita harus hati-hati. Kalau Raffa benar- benar menguasai perusahaan, habislah kita."
Menik mengepalkan tangan,suaranya merendah namun tegas."Aku tahu. Makanya aku minta kamu segera cari cara untuk menjatuhkannya. Aku nggak akan diam kalau dia mengambil semua ini dari kita."
Telepon itu berakhir dengan janji untuk bertemu di tempat yang dirahasiakan. Menik menghela napas panjang, wajahnya penuh amarah. Baginya, Raffa adalah ancaman yang harus disingkirkan sebelum semuanya terlambat.
Diruang tamu, Raffa duduk dengan tenang, menyesap teh yang dibuatkan Menik. Di balik ketenangan itu, pikirannya terus bekerja. Ia tahu ada banyak orangyang tidak menginginkannya sukses, tapi ia tidak peduli.
"Pa," ujar Raffa sambil menatap ayahnya, "Aku hanya ingin memastikan bahwa keputusan yangkita ambil tidak akan menyakiti siapa pun, termasuk keluarga kita sendiri."
Pak Brata mengangguk setuju. "Kamu anak yang bijaksana, Raffa. Aku percaya penuh padamu."
Namun Raffa tahu, kepercayaan ayahnya saja tidak cukup untuk menghadapi apa yangakan terjadi. Di dalam hatinya, ia bersumpah untuk membuktikan bahwa dirinya pantas berada diposisi itu.
Pak Brata kini beralih membicarakan tentang Hanin."Bagaimana kabar istrimu? Kenapa kamu tidak mengenalkannya pada papamu ini?"
Raffa berdeham. "Bukankah Papa tidak menyukai gadis sederhana seperti dia?"
Pak Brata berdeham. "Papa hanya ingin agar kamu dapat wanita setara, Nak. Selagi hubunganmu belum jauh dengan Hanin, ceraikan dia dan menikahlah dengan wanita setara."
Raffa menatap tajam Pak Brata."Kenapa bukan Papa saja yang menceraikan Menik? Bukankah dia juga berasal dari kalangan yang setara dengan kita?" balasnya, sengit.
Ruang tamu itu mendadak terasa sunyi setelah Raffa mengucapkan kalimat terakhirnya. Pak Brata mengerutkan kening, tidak menyangka putranya akan menanggapi dengan nada setegas itu.
"Raffa," ujar Pak Brata, mencoba melunak. "Papa hanya ingin yang terbaik untukmu. Kamu ini pewaris perusahaan besar. Apa kata orang kalau kamu menikahi perempuan yang ... yah, tidak setara dengan posisimu? Sementara Menik kan sudah tidak akan terlihat lagi sebagai suami papa diperusahaan. Tapi, kalau istrimu ...."
Raffa menatap ayahnya dengan sorot mata tajam, namun ia tetap menjaga nada bicaranya agar tidak meninggi. "Hanin adalah istriku.Dia sudah ada di sampingku ketika aku bukan siapa- siapa. Kalau sekarang aku mulai diakui, itu bukan alasan untuk meninggalkan dia hanya karena status sosialnya."
Pak Brata mendengkus kecil,lalu bersandar di sofa dengan ekspresi kecewa. "Nak, Papa bukan meremehkan dia. Tapi, hubungan pernikahan itu juga tentang keseimbangan. Hanin tidak akan bisa mengimbangi langkahmu didunia yang penuh persaingan ini."
Raffa menyela dengan nada tegas, "Ak tidak butuh istri untuk bersaing. Aku butuh istri untuk berbagi kehidupan. Dan Hanin adalah orang yang selalu mendukung aku tanpa peduli siapa aku sebenarnya."
Pak Brata membuka mulutnya, seolah ingin membantah, tapi tatapan Raffa membuat menutupnya kembali. Raffa berdiri,menatap ayahnya untuk terakhir kali sebelum melangkah keluar.
"Kalau Papa tidak bisa menerima Hanin, itu urusan Papa.Tapi aku tidak akan meninggalkan istriku hanya karena Papa merasa dia tidak layak. Lagi pula Ibu sudah merestui kami. Maaf, aku harus pergi."
Tanpa menunggu jawaban, Raffa melangkah keluar dari ruangtamu, meninggalkan ayahnya yang terdiam.
Pak Brata memejamkan mata.
"Amira...."
Menik muncul dengan ekspresi penuh tanda tanya. "Kenapa Raffa pergi begitu saja?" tanyanya, meletakkan cangkir teh di meja.
Pak Brata menghela napas."Anak itu keras kepala, Menik. Aku hanya ingin dia menikah dengan wanita yang pantas seperti katamu,tapi dia menolak."
Menik tersenyum tipis, tatapannya licik. "Jangan khawatir, Sayang. Kita masih bisa mengubah pikirannya. Aku yakin Hanin tidak akan bertahan lama di sisi Raffa jika dia merasa tidak diterima di
keluarga ini."
Pak Brata menatap Menik, tampak ragu. Tapi Menik melanjutkan, "Beri aku waktu, Pa.Aku akan memastikan Raffa sadar bahwa pernikahannya dengan Hanin hanya akan menjadi beban."
Pak Brata mengangguk pelan,meski dalam hatinya ada rasa bersalah. Tapi ambisi untuk melihat putranya menikahi wanita
"setara" masih menguasai pikirannya. Namun, kenyataan bahwa Amira sudah memberi restu malah membuat pikirannya bercabang.
Hanin yang sedang menyapu lantai tiba- tiba kembali didatangi kurir paket.
"Apa benar ini rumah Mbak Hanin?" tanya lelaki muda bertopi.
"Ya, Saya sendiri."
"Oh, ini ada paket pizza untuk Anda, Mbak. Silakan tanda tangan di sini." Lelaki itu mengulurkan kertas dan pulpen.
"Dari siapa, Mas?" tanya Hanin seraya membubuhkan tanda tangan.
"Entahlah. Saya tidak tahu, Mbak. Saya cuma disuruh nganter sama Bos saya. Kalai gitu saya pamit, Mbak. Makasih, ya," pamit lelaki itu.
"Oh, iya. Sama- sama." Hanin bergegas menyelesaikan pekerjaannya. Kemudian barulah membawa pizza itu ke dalam rumah.
"Pak, Bu, kalian mau pizza?" tawar Hanin.
"Kamu yang beli?" Bu Daning menatap Hanin dengan raut heran.
"Bukan. Dikasih orang. Aku taruh di dapur kalau kalian mau. Hanin melenggang pergi. Entah siapa yang mengirimnya, ia sangat berterima kasih. Karena apa yang tak pernah ia makan dan hanya ada dalam bayangan kini bisa ia rasakan.