Aku, Diva, seorang ibu rumah tangga yang telah menikah selama tujuh tahun dengan suamiku, Arman, seorang pegawai negeri di kota kecil. Pernikahan kami seharusnya menjadi tempat aku menemukan kebahagiaan, tetapi bayang-bayang ketidaksetujuan mertua selalu menghantui.
Sejak awal, ibu mertua tidak pernah menerimaku. Baginya, aku bukan menantu idaman, bukan perempuan yang ia pilih untuk anaknya. Setiap hari, sikap dinginnya terasa seperti tembok tinggi yang memisahkanku dari keluarga suamiku.
Aku juga memiliki seorang ipar perempuan, Rina, yang sedang berkuliah di luar kota. Hubunganku dengannya tak seburuk hubunganku dengan mertuaku, tapi jarak membuat kami tak terlalu dekat.
Ketidakberadaan seorang anak dalam rumah tanggaku menjadi bahan perbincangan yang tak pernah habis. Mertuaku selalu mengungkitnya, seakan-akan aku satu-satunya yang harus disalahkan. Aku mulai bertanya-tanya, apakah ini takdirku? Apakah aku harus terus bertahan dalam perni
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Thida_Rak, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27 Masa Lalu Pilihan Mertua
Pagi itu, Diva sudah berada di tokonya. Ia memperhatikan para karyawan sibuk menata barang dagangan, dan beberapa pelanggan mulai berdatangan. Suasana toko yang mulai ramai memberikan sedikit semangat bagi Diva, seolah mengingatkannya bahwa hidup harus terus berjalan.
Dalam hatinya, ia meneguhkan diri, "Aku harus kuat. Aku gak boleh tenggelam dalam luka ini. Hidupku harus tetap bergerak."
Namun, ketenangan itu terusik ketika ponselnya berbunyi sebuah pesan masuk dari Arman.
"Nanti sore aku jemput kamu. Mau gak mau, kamu harus pulang dan hidup bersama lagi seperti biasa."
Diva membaca pesan itu perlahan. Matanya menajam, dadanya sesak. Ia menghela napas panjang, lalu berbisik lirih penuh luka:
"Sakit jiwa kamu, Man..."
Siang itu, Diva memutuskan pulang lebih awal. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena pekerjaan di toko, tapi juga karena beban pikiran yang belum reda. Sekitar lima belas menit dari toko, akhirnya ia sampai di rumah.
Begitu masuk, Diva memanggil kakaknya, namun tak ada jawaban. Ia pun langsung menuju ruang tamu dan duduk, mencoba melepas penat.
Tak lama, Dira keluar dari kamar sambil tersenyum.
"Kenapa, Div? Kakak tadi lagi menidurkan ponakanmu. Kamu udah makan?"
Diva menggeleng pelan, matanya sayu.
"Belum, Kak... Entahlah, rasanya capek banget. Bukan cuma badan, hati juga."
"Oh iya, Kak... Bang Reza pulangnya jam berapa, ya?" tanya Diva sambil memandang Dira.
Dira menatap adiknya dengan heran. "Tumben nanyain abangmu. Ada apa, Div?"
Diva menarik napas. "Nggak, Kak... itu si Arman katanya mau jemput aku. Nggak habis pikir, dia bisa ngomong kayak nggak pernah bikin salah aja."
Dira mendecak kesal. "Sialan si Arman, bisa-bisanya begitu. Ya udah, kamu istirahat aja dulu. Nanti biar kakak yang omongin sama abangmu," ucapnya geram.
---
Sementara itu, siang hari di kantor, Arman tengah makan siang sambil ngobrol santai dengan temannya.
"Bro, aku mau ajak Diva pulang nanti," ucap Arman sambil menyuap makanannya.
Temannya sontak menggeleng tak percaya. "Woi, jangan gila, bro. Masa iya dua istrimu tinggal satu rumah? Mana ada ratu dua di istana, pasti ribut!"
Arman hanya tertawa santai. "Aman, bro. Enak kan punya istri dua, bisa saling bantu," ucapnya seolah tak peduli.
"Pokoknya hari ini, Diva harus balik. Biar semua kembali seperti semula," batinnya penuh keyakinan, tak sadar badai besar sedang menunggunya.
“Toh Diva itu masih istriku… bagaimanapun dia harus tetap berbakti padaku dan Ibu,” lirih Arman dalam hati, membenarkan niatnya sendiri.
Menjelang sore, setelah jam kantor usai, Arman memutuskan untuk menjemput Raya terlebih dahulu. Ia berencana membawa Raya untuk diperkenalkan kepada Dira dan Reza, sebagai langkah awal agar semuanya terlihat wajar di mata keluarganya.
Di dalam mobil, POV Raya
"Ini momen yang tepat," batin Raya dengan senyum penuh perhitungan. "Kalau si Diva itu balik ke rumah, bagus. Aku nggak perlu capek-capek lagi, tinggal duduk manis. Dia yang mengurus rumah, toh masih istri sahnya Arman juga."
"Perempuan nggak punya penghasilan aja berani minta cerai dari Arman yang PNS. Lucu banget. Tapi biar saja, semua hartanya Arman nanti jadi milikku. Si istri tua cukup dapat pelajaran dari nasib."
---
Sementara itu, di rumah Diva…
Reza sudah lebih dulu tiba di rumah. Sejak siang, Dira telah menceritakan semua yang terjadi, dan Reza tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Ia duduk di ruang tamu, rahangnya mengeras, tangannya mengepal kuat.
"Laki-laki biadab! Udah nyakitin Diva, sekarang berani-beraninya datang ke sini. Liat aja, aku nggak bakal tinggal diam," batin Reza, penuh amarah namun tetap berusaha tenang demi adiknya.
---
Menjelang waktu Magrib, Arman dan Raya akhirnya tiba di rumah Dira. Saat mobil berhenti di depan, Raya memandang rumah itu dengan tatapan menilai.
"Ini rumah kakak iparmu, Man? Wah… sederhana sekali ya," ucap Raya tanpa menyaring ucapannya.
"Iya, ini rumah Dira," jawab Arman singkat, lalu turun dari mobil dan menuju pintu rumah sambil mengetuknya dengan percaya diri.
Dira yang sedang berada di dalam, mendengar ketukan pintu dan merasa heran.
"Siapa yang datang menjelang Magrib begini? Nggak tahu waktunya orang mau salat apa?" gerutunya sambil melangkah ke pintu.
Begitu pintu terbuka, Dira tertegun. Ia tidak menyangka bahwa tamunya adalah Arman, dan kali ini ia datang tidak sendiri—di sampingnya berdiri seorang wanita, yang tak lain adalah istri keduanya. Tanpa membuang waktu, Dira langsung menegaskan sikapnya.
"Mau apa kamu ke sini? Belum cukup kamu menyakiti adikku?" ucapnya dengan nada tajam.
"Santai saja, Kakak Ipar. Aku datang ke sini dengan niat baik," jawab Arman, tersenyum tipis. "Nggak boleh masuk, nih?"
Karena hari mulai gelap dan adab tetap dijunjung, walau dengan enggan, Dira akhirnya mempersilakan mereka masuk ke ruang tamu.
Arman dan Raya pun duduk. Raya, yang dari tadi hanya memperhatikan sekeliling, mulai menilai suasana rumah sederhana itu dengan pandangan penuh perhitungan.
Reza yang baru saja selesai mandi, terkejut mendengar suara istrinya yang meninggi. Merasa ada yang tidak beres, ia pun segera keluar untuk memastikan. Betapa terkejutnya ia saat mendapati Arman duduk di ruang tamu bersama seorang wanita asing.
"Berani-beraninya kamu datang ke sini membawa perempuan lain!" ujar Reza dengan nada marah.
"Sabar, Bang," ucap Dira, mencoba menenangkan suaminya yang mulai tersulut emosi.
"Eh, Reza, jangan salah sangka. Ini bukan wanita lain. Ini istriku juga, namanya Raya," jawab Arman santai, bahkan tersenyum seolah tak ada masalah.
Raya yang sejak tadi hanya diam, tak kuasa menyembunyikan kekagumannya. Ia menatap Reza dengan pandangan terpesona. Wajah Reza, yang lebih tampan dan berwibawa dibanding Arman, membuatnya terpukau.
Dira yang melihat tatapan itu merasa risih. "Sudah punya suami masih saja melirik suami orang!" semprot Dira kesal.
Raya langsung salah tingkah. Arman pun cepat menyikut lengannya, memberi kode untuk menahan sikap.
Diva, yang sedari tadi berada di dalam dan mendengar semua percakapan, akhirnya memutuskan keluar. Wajahnya tenang namun tatapannya tajam. Ia berdiri dengan tegak, menghadapi suaminya dan wanita yang kini dibawanya ke rumah.
"Apa urusanmu datang ke sini, Man? Dan tega sekali kamu membawa... 'ulat bulu' ke rumah ini," ucap Diva datar.
"Hei, kamu! Jangan sok ya, wanita mandul!" balas Raya dengan nada tinggi.
"Maaf, saya tidak punya urusan denganmu," jawab Diva tenang.
"Diva, ayo pulang. Aku masih mau memperbaiki semuanya. Kita bisa mulai dari awal. Aku, kamu, dan Raya. Kita bisa hidup bahagia," bujuk Arman.
Diva menatapnya lelah. "Kamu sakit jiwa, Man. Tidak akan. Sekali aku bilang tidak, maka selamanya tidak!"
"Jangan seenaknya, Div! Aku masih suamimu yang sah. Kalau kamu mau cerai, kamu pikir kamu bisa hidup bagaimana? Kamu tidak bekerja, tidak punya penghasilan, mau jadi apa?" balas Arman dengan nada merendahkan.
"Kamu jangan remehkan aku, Man. Tunggu saja. Surat dari pengadilan akan segera sampai!" ucap Diva tegas.
Arman tertawa mengejek. "Atas dasar apa kamu gugat cerai, Div? Aku menafkahimu dengan layak selama ini. Kalau aku menikah lagi, itu karena kamu tidak bisa memberi anak! Tujuh tahun aku menunggu, tapi kamu? Tidak ada hasil. Kamu juga tidak punya bukti soal pernikahan kami yang kedua ini. Cerai pun, kamu tidak akan mendapatkan apa pun!"
"Aku sangat sadar, Man. Kalau kamu memang menginginkan anak, bicaralah baik-baik, bukan menikah diam-diam di belakangku. Dan jangan anggap aku bodoh. Aku punya cukup bukti. Meski aku tidak mendapatkan apa pun, aku tetap memilih pergi dari hidupmu!"
"Astaga, wanita mandul sombong! Lihat tuh istri yang kamu bela, Man. Lulusan SMA saja belagu, nggak punya penghasilan tapi merasa tinggi!" sela Raya, makin tersulut emosi.
"Diam kamu! Perempuan tak tahu malu!" hardik Dira dengan penuh kemarahan.
---
POV Reza
Aku baru saja selesai mandi ketika suara Dira menggema dari ruang tamu. Suaranya tinggi, penuh emosi. Ada sesuatu yang tidak beres. Bergegas aku keluar, dan benar saja Arman, lelaki yang sudah menyakiti adik iparku, duduk dengan santainya di ruang tamu. Kali ini, tidak sendiri. Ia membawa perempuan lain. Wajah wanita itu terlihat angkuh, dan dari gesturnya aku tahu, ini pasti istri keduanya.
"Berani-beraninya kamu datang ke rumah ini membawa perempuan lain!" amarahku meledak, tak bisa kutahan.
Aku ingin menghajarnya saat itu juga. Lelaki ini benar-benar kelewatan. Sudah menyakiti adikku, sekarang malah muncul membawa wanita lain seakan tak terjadi apa-apa. Apa dia pikir rumah ini tempat menampung drama hidupnya?
Lalu aku lihat perempuan yang dibawanya dia menatapku, lama. Ada sesuatu di tatapannya, seolah terpesona. Astaga, bahkan di tengah semua ini, dia masih bisa melirik suami orang?
Dira langsung melontarkan teguran yang tepat. Perempuan itu salah tingkah. Arman cuma senyum-senyum, makin membuatku muak.
Dan ketika Diva akhirnya keluar, hatiku mencelos. Adikku, wanita kuat yang menanggung semuanya sendiri. Tatapannya tegas, tapi aku tahu ada luka yang dalam di sana. Dan tetap saja, lelaki bodoh itu mengajaknya kembali seolah semua ini normal.
Ingin rasanya aku berdiri di antara mereka, membentengi adikku dari semua kebodohan yang ditawarkan Arman.
---
POV Diva
Dari dalam kamar aku mendengar suara yang tak asing Arman. Suaranya, tawanya, semuanya memuakkan. Tapi yang membuat perutku mual adalah kenyataan bahwa dia membawa wanita itu ke rumah ini. Dengan tenangnya. Seolah dia tak bersalah.
Aku berdiri, menarik napas panjang. Hatiku bergetar tapi langkahku pasti. Aku tahu aku harus menghadapinya. Ini waktunya aku menunjukkan bahwa aku tidak selemah yang dia pikirkan.
Begitu kulihat wajahnya, kenangan-kenangan menyakitkan membanjir. Tapi aku menahannya. Aku hanya ingin menyelesaikan ini.
"Apa urusanmu datang ke sini, Man? Dan tega-teganya kamu membawa 'ulat bulu' ke rumah ini?" Aku berkata setenang mungkin, walau jantungku berdetak kencang.
Dan seperti yang kuduga, wanita itu mulai menyulut emosi. "Wanita mandul," katanya. Entah sudah berapa kali kata itu dilemparkan ke wajahku. Tapi kali ini, aku tidak terluka. Aku hanya muak.
Lalu dia memintaku kembali. Untuk apa? Agar aku hidup bersama mereka? Di bawah atap yang sama? Menjadi bayangan di rumahnya dalam kesendirian?
"Tidak, Man. Tidak akan pernah."
Dan saat dia mulai menghina, mengatakan aku tidak akan bisa hidup tanpa dia, aku tahu ini bukan cinta, ini kuasa. Dan aku tidak akan jadi budak atas nama status istri.
Aku telah memutuskan. Dan aku akan menepatinya. Biar orang bilang aku keras kepala atau sok kuat. Yang penting, aku tetap punya harga diri.
lanjut author..💪💪