Luna harus memilih antara karir atau kehidupan rumah tangganya. Pencapaiannya sebagai seorang koki profesional harus dipertaruhkan karena keegoisan sang suami, bernama David. Pria yang sudah 10 tahun menjadi suaminya itu merasa tertekan dan tidak bisa menerima kesuksesan istrinya sendiri. Pernikahan yang telah dikaruniai oleh 2 orang putri cantik itu tidak menjamin kebahagiaan keduanya. Luna berpikir jika semua masalah bisa terselesaikan jika keluarganya tercukupi dalam hal materi, sedangkan David lebih mengutamakan waktu dan kasih sayang bagi keluarga.
Hingga sebuah keputusan yang berakhir dengan kesalahan cukup fatal, mengubah jalan hidup keduanya di kemudian hari.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SAFIRANH, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Waktu telah menunjukkan pukul 4 sore. Matahari yang awalnya tampak terik di atas langit, kini telah berubah menjadi jingga yang memanjakan mata siapapun yang melihatnya.
Harusnya suasana seperti ini sangat cocok untuk melepas rasa penat dari kegiatan yang berlangsung seharian. Namun berbeda halnya dengan apa yang sedang dirasakan oleh David, pria itu masih berada di dalam warung makan miliknya.
Duduk termenung, memikirkan situasi yang terjadi dalam rumah tangganya.
Semua terasa kacau, dan tidak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Luna…adalah satu-satunya orang yang bersalah di mata David, tidak ada yang lain.
Pria itu mengangkat kedua tangannya, menjambak rambut hitam legam itu dalam satu kali tarikan sambil berteriak tak menentu.
“ARGHH…!”
Teriaknya dengan sangat keras. Posisi warung yang jauh dari pemukiman warga, membuat David bisa melakukan apapun yang diinginkannya. Termasuk berteriak seperti yang baru ia lakukan.
“Luna, bisakah kamu berhenti membuatku kesal!” keluh David pada dirinya sendiri.
Padahal ia sedang mencoba sebaik mungkin untuk bisa bertahan di kampung halamannya. Memulai bisnis seperti ini pun membutuhkan tenaga serta hati yang besar.
Bukan karena sebuah kebutuhan, tapi yang sebenarnya terjadi hanyalah, David tidak mau kalah bersaing dengan pencapaian Luna saat berada di kota. Dia ingin membuktikan pada wanita itu jika dirinya mampu menghasilkan uang dengan jerih payahnya sendiri.
“Permisi, apa warungnya masih buka?” sebuah suara lembut dari seseorang yang sepertinya adalah wanita terdengar. Suara itu berasal dari arah depan.
David bangkit dari duduk, lalu memeriksa siapa orang yang baru datang ke warungnya.
Saat telah sampai di depan, David melihat Kumala tengah berdiri di sana, melemparkan senyum seperti biasanya.
“Bu Kumala?” tanya David spontan. “Anda ingin membeli makanan?” lanjutnya.
“Iya pak David, saya ingin membeli lauk dan sayur. Apakah masih ada?”
“Maaf, tapi sayurnya sudah habis. Hari ini saya hanya membawa sedikit,” terang David. Seketika itu pula ia melihat ekspresi kecewa di mata Kumala, yang membuatnya berinisiatif untuk menawarkan sesuatu.
“Bagaimana jika nasi goreng, atau bakmi goreng?” lanjut David lagi.
“Boleh,” jawab Kumala. Wajah yang awalnya cemberut itu mulai kembali berubah ceria. “Nasi goreng saja satu, tidak pedas.”
“Tidak pedas sama sekali?”
Kumala membenarkan. “Iya, saya bisa sakit perut jika memakan cabai terlalu banyak. Padahal usia saya sudah hampir tua, tapi makan cabai saja tidak berani.”
David tertawa kecil. “Usia segitu belum termasuk tua, Bu.”
“Tapi wajah saya memang sudah tua, mungkin karena hidup di kampung yang jauh dari berbagai macam produk kecantikan yang mahal.”
David berdehem singkat. Merasa canggung dengan obrolan mereka yang terlalu akrab ini. Meski merasa nyaman dengan topik yang mereka bicarakan, tapi tidak seharusnya mereka saling tertawa bersama sementara posisi keduanya adalah seorang guru dan orang tua dari murid didiknya.
Daripada terlalu lama terjebak dalam pembicaraan yang lebih lebar, David memutuskan untuk segera menuju ke arah dapur, membuatkan pesanan untuk Kumala.
Sedangkan Kumala sendiri, tetap setia menunggu di meja yang dekat dengan area dapur. Membuat wanita itu bisa leluasa melihat David yang tengah memasak.
Aku tak menyangka jika pria yang pandai memasak, bisa terlihat setampan ini. Pikir Kumala yang masih terus memperhatikan David dari kejauhan.
Meski tak terlalu lihai dalam melakukan gerakan memasak seperti seorang chef handal, David tetap berusaha terlihat memukau di hadapan para pelanggannya.
Saat telah selesai, David mengambil satu kotak makanan, berniat untuk memasukkan makanan ke dalam sana. Tapi Kumala mencegah dan menghentikan kegiatan David.
Wanita itu berseru, “Gunakan piring saja. Saya ingin memakannya di sini.”
David menoleh, dengan tatapan terkejut sekaligus bingung. Di jam yang hampir mendekati petang ini, kenapa Kumala justru memutuskan untuk memakannya di sini?
Namun, seorang pembeli adalah raja. Jadi, David memutuskan untuk menuruti semua ucapan Kumala. Dia mengambil piring berbentuk oval yang lebar, menata nasi goreng yang masih panas itu diatasnya. Beberapa pelengkap seperti irisan tomat, timun, selada serta krupuk telah siap di tata dengan sangat cantik.
“Silahkan,” David tersenyum saat meletakkan piring berisi nasi goreng itu di atas meja. Tak lupa juga David memberikan satu gelas air putih untuk Kumala.
Momen selanjutnya terasa biasa, Kumala tampak menikmati nasi goreng buatan David, sedangkan pria itu tengah sibuk di dapur untuk membersihkan peralatan masak.
Tak lama kemudian, Kumala telah menyelesaikan makannya. Piring itu tampak bersih tak bersisa. Wanita itu lalu bangkit dari duduk, melangkah mendekat mencari sosok David untuk membayar makanannya.
“Sudah, Bu Kumala?” tanya David yang baru muncul dari arah dapur.
Kumala mengangguk, “Makanannya sangat enak, lain kali saya pasti akan mampir lagi.”
Tangan Kumala meletakkan satu lembar uang untuk membayar. Namun, saat David hendak memberikan kembalian, tangan mereka tanpa sengaja bersentuhan satu sama lain.
Reflek, Kumala langsung menjauhkan tangannya. Matanya menunduk, dan lebih memilih untuk menatap ke arah lain. Kesan canggung itu begitu terasa menyelimuti keduanya, bahkan hanya untuk menelan saliva saja terasa susah payah.
“Maaf,” ucap David yang sadar akan ketidaknyamanan diantara keduanya.
“Tidak apa-apa, saya hanya terkejut saja.”
Kumala meraih uang kembalian dari atas meja, lalu bergegas pergi untuk kembali pulang ke rumahnya. Namun, saat melihat wanita itu tetap berjalan kaki mengarah pada jalanan yang gelap, David langsung bereaksi untuk memanggilnya.
“Bu Kumala!” teriaknya keras. Berharap jika ia tidak terlambat menghentikan langkah wanita itu.
David sempat berlari untuk mendekat. “Hari sudah gelap, sebaiknya Anda pulang bersama dengan saya saja,” ucapnya setelah berdiri di hadapan Kumala.
Kumala membalasnya dengan senyum, setuju dengan ide yang ditawarkan oleh David.
***
Saat ini keduanya tengah menaiki sepeda motor yang dikendarai oleh David. Jalanan di kampung memang berbeda dengan di kota, setelah matahari terbenam, suasana akan berubah menjadi gelap dan hanya diterangi oleh cahaya dari lampu jalan yang tidak banyak.
“Terima kasih karena sudah mau mengantarkan saya pulang, pak David,” ucap Kumala dari arah belakang.
Ia duduk dengan sangat anggun, kedua kakinya disatukan dan menghadap di bagian kiri sepeda motor saat membonceng. Maklum, hari ini Kumala memakai rok hitam panjang yang lumayan ketat.
“Tidak apa-apa, Bu. Lagipula, saya juga berencana untuk pulang ke rumah,” jawab David.
Kedekatan diantara mereka saat ini, membuat Kumala bisa merasakan aroma dari pria yang beberapa waktu belakangan ini telah mencuri perhatiannya. Meski telah bekerja seharian, tapi Kumala masih menghirup aroma segar dari baju yang dipakai pria itu.
Tangan Kumala yang bebas, tampak meremas kulit jok sepeda motor tersebut. Rasanya ingin sekali bisa meraih pinggang pria di hadapannya ini hanya sebagai pegangan saja, tapi apalah daya. Situasi dan status mereka yang sama sekali tidak mendukung hal seperti itu terjadi.
“Bu Kumala tidak membawa motor?” tanya David tiba-tiba.
“Tidak, saya biasa berjalan jika jaraknya tidak terlalu jauh.”
“Tapi hari sudah gelap, bahaya jika wanita seperti Anda berjalan sendirian.”
Kumala tertawa kecil. “Saya sudah terbiasa, karena sudah cukup lama tinggal di kampung ini.”
Saat asyik mengobrol itulah, David tidak melihat jika ada lubang di sisi kiri jalan, mengakibatkan roda harus melewati lubang tersebut, motor mereka terguncang saat kejadian itu.
Karena terkejut, tangan Kumala sontak meraih dan memeluk pinggang David…sangat erat, bahkan tangan wanita itu masih melingkar di pinggang David meski perjalanan mereka telah sampai di jalan yang kembali bagus.
Kumala menempel, sambil memeluk pinggang David. Matanya terpejam karena terkejut saat guncangan pada motor itu terjadi.
David sendiri hanya bisa menelan ludah dengan susah payah berulang kali. Tubuhnya membeku saat membiarkan pinggangnya dipeluk sangat erat oleh Kumala.
Sentuhan itu memang sederhana, tapi mampu menciptakan sengatan asing yang menjalar ke seluruh tubuh David. Dalam logikanya yang masih waras, David berkata jika ini adalah salah.
Tapi, sesuatu yang lain lebih terasa kuat dibanding pikirannya tersebut. Akhirnya ia memutuskan untuk membiarkan Kumala tetap memeluk pinggangnya sepanjang perjalanan keduanya.
Meski apa yang kini terjadi, bukanlah sesuatu yang bisa dibenarkan dengan alasan apapun. Tapi, mereka tetap bersikap biasa, seperti tidak keberatan sama sekali.
BERSAMBUNG