Kerajaan itu berdiri di atas darah, dusta, dan pengkhianatan.
Putri Mahkota yang logis dan penuh tanggung jawab mulai goyah ketika seorang tabib misterius menyingkap hatinya dan takdir kelam yang ia sembunyikan.
Putri Kedua haus akan kekuasaan, menjadikan cinta sebagai permainan berbahaya dengan seorang pria yang ternyata jauh lebih kuat daripada yang ia kira.
Putri Ketiga, yang bisa membaca hati orang lain, menemukan dirinya terjerat dalam cinta gelap dengan pembunuh bayaran yang identitasnya bisa mengguncang seluruh takhta.
Tiga hati perempuan muda… satu kerajaan di ambang kehancuran. Saat cinta berubah menjadi senjata, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang akan hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon `AzizahNur`, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 10 : Sangat Membenci Laki-laki
Senyuman tipis di bibir Veyra seketika lenyap begitu tatapannya bertemu dengan Arion dan beberapa pria lain di ruangan itu. Matanya yang semula tenang berubah tajam, tubuhnya menegak, dan kedua tangannya yang semula bersedekap kini terlepas di sisi tubuhnya.
Lyanna yang memperhatikan perubahan ekspresi itu segera memahami maksudnya. Dengan suara hati-hati, ia berkata,
“Ini… soal perjamuan kemarin. Masih ingat penari yang sempat kubicarakan?”
Tatapan Veyra beralih padanya. Ia terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan.
“Penari asing itu… tentu aku mengingatnya. Ada masalah?”
Lyanna mengangguk serius.
“Ada laporan bahwa penari itu membawa simbol penghinaan. Utusan istana bahkan sudah diperintahkan untuk menangkapnya.”
Kening Veyra berkerut.
“Penghinaan berupa apa? Saat ia datang, tak ada satu pun yang mencerminkan hal itu.”
Salah satu tentara menjawab, “Sesuai laporan, simbol itu muncul saat penari itu tampil di perjamuan. Benda yang dimaksud… sebuah selendang.”
Lyanna menatap mereka satu per satu, lalu menghela napas pelan.
“Sejujurnya, aku pun ragu. Seorang penari asing, diundang ke perjamuan… tapi justru membawa benda penghinaan? Jika memang begitu, kenapa tidak ditangkap saat acara berlangsung? Mengapa menunggu hingga kabar ini menyebar ke masyarakat?”
Alis Veyra terangkat mendengar ucapan itu. Diam sesaat, ia melirik sekilas ke arah Arion, tatapannya singkat, namun cukup menusuk, seolah mempertanyakan kejanggalan itu padanya.
Ia lalu kembali menoleh ke Lyanna.
“Kenapa tidak turun langsung untuk menyelidiki laporan itu?”
Arion menghela napas berat.
“Itu bukan wewenang kami jika tidak ada perintah dari atasan. Dan sekarang… perintah penangkapan penari asing itu sudah dikeluarkan.”
Veyra memutar matanya dengan jengkel.
“Baiklah, kalau begitu aku sendiri yang akan menyelidikinya. Lyanna mau ikut turun denganku atau tidak?”
Lyanna tertegun sejenak, lalu mengangguk mantap.
“Jika begitu, aku ikut.”
“Bawa beberapa orang bersamamu kalau perlu,” ujar Veyra sambil mengangkat bahu seolah tidak peduli. “Kalau tidak, kita berdua saja.”
Tanpa menunggu jawaban lagi, ia berbalik dan berjalan keluar dari ruangan. Gerakannya begitu tegas, seakan tak memberi ruang untuk bantahan. Lyanna hanya bisa menghela napas dalam melihat tingkah adiknya itu.
Salah satu tentara laki-laki yang masih kebingungan akhirnya bersuara,
“Ada apa sebenarnya dengannya? Mengapa sikapnya langsung berubah begitu tajam?”
Lyanna hanya melirik, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
“Tidak ada yang aneh… Veyra memang seperti itu. Dia sangat benci berurusan dengan laki-laki.”
…
Di halaman belakang istana, Veyra berdiri seorang diri. Jubah hitam menutupi tubuhnya, sementara tudungnya menjatuhkan bayangan hingga menyembunyikan sebagian wajahnya. Matanya menyipit tajam saat mendengar langkah kaki yang mendekat.
Tak lama, Lyanna keluar diiringi Arion di belakangnya. Tatapan Veyra langsung mengeras.
“Kenapa kau membawanya?” tanyanya dingin.
Arion menunduk sedikit, suaranya tegas namun terukur.
“Aku sendiri yang memutuskan untuk ikut. Aku tidak bisa membiarkan dua putri kerajaan turun tanpa pengawasan.”
Veyra mendengus pelan, lalu membuang wajahnya.
“Aku tidak butuh pengawasan.”
Dengan langkah panjang dan mantap, ia lebih dulu meninggalkan mereka.
Lyanna hanya tersenyum kecil melihat sikap adiknya. Ia menoleh pada Arion dan berujar pelan,
“Jangan diambil hati setiap perkataannya. Veyra memang tak suka diawasi. Dia pernah turun sendirian ke desa tanpa sepengetahuanku.”
Arion mengerutkan keningnya, suaranya menajam.
“Tindakan seperti itu jelas pelanggaran besar bagi kerajaan.”
Namun Lyanna menoleh dengan tatapan tenang. Senyum tipisnya tak berubah saat ia berkata,
“Tapi kami tidak peduli soal pelanggaran, tuan Arion.”