NovelToon NovelToon
DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

DIAM DIAM SUAMIKU NIKAH SIRIH

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Suami Tak Berguna / Selingkuh
Popularitas:9.9k
Nilai: 5
Nama Author: Hasri Ani

"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"

"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."

"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"

Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

SALAH LAWAN

POV Maira

"Sebelum adu mulut sama perempuan seharusnya belajar dulu, lah, wanita dilawan,"

gerutuku ketika aku berjalan menuju kamar Zahra. Mulut ini terus mengumpat, memaki dalam hati, dan menyesali pertemuan yang terus membuat tensiku naik, Kuhentikan langkah sejenak, lalu menghela napas, kuturunkan ego dan emosi begitu aku sampai di depan pintu kamar rawat Zahra.

"Assalamualaikum, Zahra,"

sapaku tersenyum lebar seraya membuka pintu perlahan Ia pun menoleh cepat ke arahku dengan senyuman senang.

"Bunda."

Aku melangkah memasuki kamar. Senyuman Zahra membuat emosi ini seolah mereda meskipun tidak sepenuhnya.

"Terimakasih, Sus. Sudah menjaga Zahra,"

ucapku pada Suster begitu aku sampai di hadapannya.

"Iya, Bu. Kalau begitu saya permisi. Zahra selamat bersenang-senang, ya. Jangan nangis-nangis lagi, ya. Kan,udah ada Bunda sekarang,"

pesannya pada Zahra sebelum melangkah pergi. Zahra pun tersenyum dan mengangguk.

"Bilang apa sama Tante Suster?"

"Makasih, Suster,"

"Sama-sama Zahra. Suster kerja dulu, ya."

"Iya, Sus."

"Permisi, Bu."

"Iya, Sus. Sekali lagi terimakasih."

Aku duduk di kursi sebelah Zahra, setelah menggeser kursi lebih dekat dengan ranjang. Lalu tanganku terulur meraih tangan mungil yang masih terpasang infus tersebut.

"Masih sakit?"

tanyaku lembut, kutatap wajah yang terus membuat hatiku tergerus itu dengan seksama. Kesedihan memang tak tampak di sana, sebab, Zahra terus melengkungkan bibirnya.

Mungkin anak sekecil Zahra belum paham apa arti kehilangan. Tapi, untuk orang seusiaku tentu tidak demikian. Membayangkan nasib Zahra di usia dini, tapi beban berat seolah terus mengelilinginya, sudah cukup membuat hati ini gerimis. Mulai dari kehilangan ibu, ditinggalkan Ayah yang seolah tak bertanggung jawab, penolakan Mas Pandu terhadapnya yang sungguh menyakitkan, dan sekarang harus kehilangan nenek satu-satunya. Bagaimana hati ini tidak menangis setiap melihat mata polos tanpa dosa itu menanggung penderitaan yang bahkan, aku saja seolah mati berdiri dengan masalah yang

tak ada apa-apanya jika dibanding apa yang dialami oleh Zahra.

Mataku memanas kala mengingat itu semua. Nyatanya

ujian gadis kecil ini melewati batas ujian yang aku keluhkan selama ini. Namun, aku bersikap seolah ujianku adalah yang paling berat. Jika aku mengalami kehancuran yang teramat parah dengan semua masalahku, lalu bagaimana dengan Zahra yang bahkan belum tahu cara mengeluarkan amarah? Yang belum tahu caranya mengeluh dan hanya bisa menangis tanpa bisa melakukan apa-apa. Aku tertampar dan terjungkal. Malu sekali rasanya dengan Zahra.

"Ayah mana, Bunda?"

seloroh Zahra membuyarkan lamunanku.

"Apa?!"

Seraya mengusap mata yang mengabur, aku bertanya.

"Ayah, Bun. Ayah mana? Zahra kangen,"

ujarnya membuat aku ternganga.

Seketika dadaku pun kembali berdentam, dia bahkan tidak menginginkan Zahra, tapi anak polos ini justru merindukannya. Kasihan sekali kamu Zahra.

"Bun, Ayah nggak pulang?"

"Ayah sibuk, banyak kerjaan."

"Bunda sama Ayah ke mana aja, sih, kok nggak pernah pulang atau nengokin Zahra lagi? Katanya mau bikin adek buat Zahra, tapi, kok, lama?!"

Meskipun masih sedikit cadel, ia mampu mengeluarkan pertanyaan yang cukup membuatku kelimpungan memikirkan jawaban

Wajah yang kini sudah tidak memakai oksigen itu ditekuk dengan bibir mengerucut saat aku tak kunjung memberi jawaban. Ia marah, aku tahu.

"Zahra, maaf, ya, maaf banget. Ayah sama Bunda sibuk sampai nggak sempet nengokin Zahra,"

ujarku mengusap kepalanya karena tak mungkin mengatakan perihal perpisahanku dengan Mas Pandu. Dia masih terlalu dini untuk mengerti apa itu perceraian dan terlalu menyakitkan jika lukanya harus ditimpali luka baru, luka kehilangan Bude belum sembuh, tapi kini dia juga harus kehilangan sosok ayah yang selama ini hanya ia dapat dari Mas Pandu.

"Nggak papa, Bunda, yang penting sekarang Bunda udah pulang."

Aku tersenyum lega, melihat Zahra juga tersenyum bahagia meski dengan sebuah kebohongan.

"Nenek mana?"

Kini ia semakin menatapku, dentaman di dada ini pun langsung menyergap. Rasa sesak menderaku, seolah bongkahan batu besar menghimpit dada. Jadi, Zahra belum tahu bahwa Bude sudah tiada?

Bagaimana aku menjelaskan pada Zahra?

"Nenek mana?"

ulang Zahra dengan sorot bahagia, tampaknya dia benar-benar belum mengetahui kejadian sebenarnya. Apa aku harus mengatakan yang sebenarnya sekarang? Apa aku sanggup melihat Zahra hancur?

Aku terdiam namun otakku berpikir keras.

"Bunda, Zahra mau ketemu nenek, nenek lagi sakit.

Apa nenek sudah sembuh?"

tanya Zahra lagi, aku hanya bisa mematung menatap wajah polos dan lugu di hadapanku ini. Lidahku kelu, memikirkan hal apa yang harus aku katakan padanya, tanpa membuatnya hancur berlebihan. Bahkan, aku sendiri tak punya pegangan atau tempat bersandar walau hanya sekedar untuk mendiskusikan jawaban apa yang tepat untuk diberikan pada Zahra. Ini sangatlah menyedihkan.

"Bunda...."

Tangan Zahra menarik gamis yang aku kenakan. Aku tersentak dari segala pemikiran.

"Nenek ....

"Nenek masih dirawat, belum bisa dilihat. Nenek menitipkan Zahra sama Om Dokter. Jadi, kalau nenek sudah sembuh nenek akan ke sini lihat Zahra. Nenek mau istirahat dulu katanya. Biar sehat dan bisa ngurus Zahra lagi,"

seloroh Dokter Sean memasuki ruang. Aku beranjak dari tempat duduk, membalikkan badan memunggungi Zahra kemudian tergugu tanpa suara.

Langkah Dokter ingusan ini sempat terhenti, menatapku sekilas tanpa sepatah kata, lalu kembali berjalan mendekati Zahra.

"Zahra, Zahra bilang kan nenek sakit. Belum periksa. Zahra juga sakit, belum dikasih obat. Jadi, sekarang serahkan semua sama Om, oke."

Suaranya terdengar lembut namun aku langsung terdiam. Ia seolah sedang

Membuka mataku lebar-lebar, tentang keadaan Bude dan Zahra yang begitu memprihatinkan sebelum kejadian.

Zahra memang suka berceloteh, mungkin dari celotehan Zahra selama tiga hari ini dia tahu dan dari sini aku pun tahu, pria seperti apa yang aku nikahi.

Tanganku terkepal kuat, ketika tahu bahwa Mas Pandu belum mengirim dokter seperti janjinya padaku.

Sebenci itukah dia pada keluargaku, hingga rasa kemanusiaan nya pun seolah mati jika berhubungan dengan keluargaku.

Aku tidak akan pernah memaafkan Pandu. Dia sudah menipuku.

"Janji, Om?"

"Iya, Om janji. Sekarang, Zahra bobok dulu. Kalau Zahra sembuh kita ketemu nenek."

"Beneran?"

"Iya, dong."

"Bobok, ya."

Beberapa saat kemudian, aku tak lagi mendengar percakapan yang terdengar memilukan antara Dokter Sean dan pasiennya itu.

"Dia sudah tidur. Kejadian yang dialami Zahra cukup membuatnya trauma. Tak hanya fisik, tapi jiwanya pun sudah pasti terguncang dan ketakutan. Jangan menambah kesedihannya dengan mengatakan keadaan Bu Ayu padanya, paling tidak untuk saat ini, biar dia tenang dulu. Mengatakan tentang Bu Ayu akan menambah trauma yang belum sembuh semakin parah."

Aku berbalik setelah menghapus air mata di sudut mata yang sulit sekali menyurut meskipun aku sudah sekuat tenaga melawan demi terlihat baik-baik saja di hadapan Zahra.

"Bagaimana kalau Zahra memaksa untuk ketemu neneknya?"

tanyaku canggung, kejadian di parkiran tadi tentu masih meninggalkan rasa yang membuatku tak bisa bersikap biasa saja.

"Sementara katakan saja seperti apa yang saya katakan tadi,"

jawabnya tenang seolah tak terjadi apa-apa. Kok, bisa seperti itu, sedangkan aku masih mengganjal di dalam sini.

"Sampai kapan?"

"Sampai keadaannya cukup kuat dan sehat."

"Tapi...."

"Dokter, ada pihak kepolisian ingin bertemu."

Seorang perawat tiba-tiba datang memberitahu.

Dokter Sean yang tengah duduk di tepi ranjang pun menoleh dan beranjak begitu mendengar seruan itu, kemudian bergegas keluar mengikuti perawat tersebut.

"Tunggu. Apa ini ada hubungannya dengan kebakaran itu?"

Pertanyaan yang aku lontarkan akhirnya menghentikan langkah yang sudah sampai di ambang

pintu.

"Tidak ada keluarga yang bisa dihubungi, kami tidak mau mengambil resiko jika suatu saat keluarga datang menyalahkan kami, padahal kami sudah berusaha menghubungi hingga mencari. Pihak desa memutuskan untuk mengusut sekalian agar saat ada yang menuntut, kami bisa menjelaskan. Kalau ada yang tidak terima dari pihak keluarga, biar polisi sendiri yang menjelaskan."

"Tapi, semua sudah jelas, bukti mengatakan bahwa itu disebabkan oleh kompor yang lupa dimatikan lalu menyambar kabel. Dari cerita Zahra, dia lapar tengah malam. Sore belum sempat makan karena neneknya sedang kurang enak badan, Bu Ayu tidur, Zahra pun ketiduran. Lalu minta Bu ayu membuatkan mi saat ia terbangun tengah malam, hanya itu yang bisa kami tanyakan pada Zahra. Sekarang Anda paham kenapa saya marah?!"

Tanpa menatapku, ia menjelaskan panjang lebar. Penjelasan itu sontak membuatku semakin merasa tak berguna. Zahra kelaparan dan Bude kesakitan. Ya Allah. Ini benar-benar menyesakkan.

"Anda bisa ikut kalau mau, saya nggak mau suatu hari ada yang menuntut."

"Dok, buruan,"

seru perawat padanya, lalu ia bergegas pergi.

Dokter Sean pergi dan aku beringsut memeluk Zahra. Air mataku terus keluar. Membayangkan mereka sakit

tanpa obat sekaligus makanan. Anak macam apa aku ini?!

"Zahra, setelah ini Bunda tidak akan meninggalkan kamu dan kamu tidak akan pernah kelaparan lagi, Zahra. Dan kamu Pandu. Akan kupastikan, keadaan berbalik lagi pada dirimu sendiri!"

***

Aku menyempatkan diri untuk pulang, setelah kondisi Zahra terus mengalami perkembangan. Biar bagaimanapun juga perceraian adalah hal yang paling utama yang ada dalam benakku saat ini. Jangan sampai Mas Pandu berubah pikiran, menyusun strategi untuk menguasai diriku kembali. Tidak, aku harus maju satu langkah lebih cepat.

Kubuka pintu rumah baru berlantai dua setelah tukang kunci membukakannya untukku. Mereka tahu ini rumahku, sehingga aku bisa meminta bantuan untuk membukanya hanya dengan alasan lupa membawa kunci. Kunci rumah baru ini memang belum sempat diserahkan oleh Mas Pandu kepadaku, mungkin lupa atau sengaja tidak diberikan karena tak ingin aku kembali, atau memang ia tak menghendaki aku tingga di tempat yang ia bangun dengan uangnya dan menyuruhku tinggal di rumah Bude. Entah, apapun itu alasannya, aku tak peduli.

"Terima kasih,"

ujarku pada tukang kunci setelah pintu berhasil dibuka. Ia pun berpamitan setelah menerima upah dariku.

Aku bergegas masuk. Kubuka satu persatu ruangan

yang berubah total dari sebelumnya, berharap apa yang aku butuhkan masih tersimpan, tidak tertinggal di rumah Bude dan terbakar.

Lama aku mencari ke seluruh ruangan, namun aku tak juga menemukan. Hingga aku sampai di lantai dua kamar paling besar.

"Ketemu,"

ujarku begitu aku menemukan semua berkas yang akan membalikkan semua keadaan. Mereka telah menginjak harga diriku dan berujung pada kehancuran keluargaku, maka tinggal tunggu saja kehancuran itu tiba.

1
Ma Em
Oh mungkin yg cari Sean itu suruhan istrinya Hartawan yg bos nya Pandu mantan suaminya Maira , wah seru nih nanti kalau Maira nikah dgn Sean Maira nanti akan jadi bos nya Pandu .
Ninik
berarti perusahaan yg dipegang pandu perusahaane bapak nya dokter Sean tp istri kedua nya serakah menguasai semuanya
Ninik
heh pandu beda istri beda rejeki mungkin dulu maira selalu mendoakanmu tp sekarang viona cuma butuh uangmu dasar jadi laki laki kok bego tapi bener jg yang kamu bilang kalau itu karma mu
Ma Em
Akhirnya Bu Azizah jadi salah paham dikiranya dr Sean menghamili Maira , Bu Azizah tdk tau bahwa Maira hamil anak dari mantan suaminya si Pandu bkn anak Sean 😄😄
Ninik
makasih Mak othor cantik untuk crazy up nya hari ini semoga hari2 selanjutnya terus seperti ini 💪💪💪💪 tenang aku dah subscribe juga
Hasri Ani: 😁😁mksi kembali say...
total 1 replies
Ninik
ternyata oh ternyata mas dokter anak Bu Azizah to dan apa td benihnya gak subur wah jgn2 dikawinin nih orang dua kan maira lagi hamil g ada laki pas kan jadinya Sean jadi ayah nya si baby
Ninik
pandu g melek apa ya Zahra bukan anaknya Zahra keluarga maira pasti pandu mau maksa maira rujuk menggunakan zahra karna tau sekarang maira hamil
Ninik
Rani pasti ngomong sama nanti dan pandu bakal tahu kalau maira hamil anaknya dihitung dr waktu perceraian,,,, Thor kenapa up nya dikurangi padahal di awal bab selalu crazy up nya
Hasri Ani: hehe tangan lagi kurang sehat say.. Sox UP BAB di cerita lainnya juga..
total 1 replies
Ninik
Thor kok cuma satu biasanya sekali up 3 ayo Thor semangat 💪💪💪
Hasri Ani: ditunggu ya say tangan ku kayak nya ada sedikit masalah Sox ngilu2 hehe mngkin efek ketikan Sox ada Bab dari cerita lainnya juga yang saya up hehehe
total 1 replies
Ma Em
Maira kalau pandu ngajak rujuk jgn mau lbh baik maira dgn dokter Sean saja , biarkan si pandu menyesal seumur hidupnya .
Ninik
rasanya g sabar nunggu lanjutan esok hari 💪💪💪
Ma Em
Maira mau saja nurut sama Pandu akhirnya kamu sendiri yg menyesal juga tersingkir karena maira terlalu cinta sama pandu sehingga apa yg dikatakan pandu dituruti saja tanpa melawan emang maira yg bodoh , sekarang baru menyesal setelah dibuang pandu mungkin baru terbuka matanya .setelah tau semua kebenaran nya .
Ninik
lanjut Thor 3 bab lagi bolehkah mumpung masih emosi nih mau ikut Jambak si pelakor aku rasanya
Hasri Ani: 🤣🤣🤣sabar saaay...
total 1 replies
Ninik
Thor saat maira nangis marah2 sama Alloh sebetulnya salah ya mestinya marahnya sama Mak othornya karna yg bikin sengsara kan Mak othor jgn kelamaan nyakitin maira ayo mulai kehancuran pandu dan viona aku aja yg baca nyesek rasanya
Hasri Ani: waduhhh.. 🤭🤭🤭
total 1 replies
Ninik
kpn penderitaan maira berakhir lantas kpn balas dendamnya
Ninik: jujur ini novel hampir ku hapus karna g kuat bacanya liat penderitaan maira jantung rasanya kaya mau meledak
total 2 replies
Ninik
Mai jgn lupa kamu minta bayaran untuk kamu menyumbangkan darah mu waktu itu jgn tangung2 bayarannya adalah nyawa viona karna dulu kamu kasih darah untuk viona hidup
Ma Em
Maira masa kamu ga bisa kabur dari Pandu seberapa pinter sih si Pandu sampai kamu tdk bisa berkutik , cari akal dong jgn cuma pinter ngomong doang tapi otak ga dipake .
Ninik
Thor kenapa pandu kejam sekali katanya dia taat ibadah tp kok zinah katanya adil tp kok hanya istri ke w yg dibelikan rumah dan ditransfer nafkah sedang maira malah diporotinbahka uang warisan dr keluarga nya maira taat agama dr mana DLAM Islam penghasilan istri suami g berhak lho bahkan uang mahar pernikahan jg suami g berhak sama sekali lha ini pandu apa
Makhfuz Zaelanì
maira nya terlalu lamban
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!