Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.
update setiap hari (kalo gak ada halangan)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
24
Delapan tahun lalu…
Devan dan Jovita kuliah di universitas yang sama, meski berbeda jurusan. Selama bertahun-tahun, Devan menyimpan perasaannya dalam diam. Hingga suatu malam, ia akhirnya memutuskan ingin mengungkapkannya.
Dengan hati berdebar dan senyum yang tidak bisa ia tahan, Devan berjalan menuju tempat mereka janjian. Namun langkahnya terhenti ketika melihat pemandangan di ujung jalan. Senyumnya memudar.
Jovita sedang berbicara dengan Adam, tertawa, tampak akrab. Lalu, tanpa peringatan, Adam mencium bibirnya. Devan langsung menoleh, seolah menghindari rasa sakit yang menghantam dada. Seluruh keberaniannya runtuh. Malam itu, ia memilih pergi, mengubur perasaan yang sudah lama ia jaga.
Kini, setelah melihat Jovita dan Rama bersama, Devan menyadari sesuatu: ia kehilangan dulu karena menunda. Karena takut. Ia tidak ingin mengulanginya. Jika ia menunggu lagi, dia bisa kehilangannya lagi dan kali ini, mungkin untuk selamanya.
“Ayo kita menikah,” ucap Devan, suaranya datar tapi tegas, tanpa keraguan sedikitpun.
Jovita mengerjapkan mata berkali-kali. Ia menatap Devan seolah kata itu butuh waktu ekstra untuk masuk ke otaknya. Lalu, tanpa bisa menahan diri, ia terkekeh pelan.
“Kamu beneran mau menikah denganku?”
“Kamu duluan yang ngajakin. Aku udah memutuskan, jadi ayo kita nikah,” balas Devan, ekspresinya tetap tenang.
Jovita terdiam. Ada sesuatu yang menegang di dada, antara kaget, takut, dan… entah. Ucapan impulsifnya beberapa hari tak disangka, Devan malah menganggapnya serius.
Setelah pergi dari tempat itu, Jovita tidak langsung pulang. Kakinya membawa dirinya ke rumah Karen membawa makanan untuk Brownie. Ia butuh tempat untuk bernapas. Atau mungkin butuh seseorang yang bisa membuat kepalanya tidak meledak.
“Karen,” panggil Jovita lirih ketika melihat Brownie sedang makan.
Tatapannya kosong, jauh, seperti tidak benar-benar ada di ruangan itu.
“Gimana menurutmu… kalau aku menikah?”
Karen langsung tertawa, menganggap ucapan itu lelucon. “Kamu butuh izin dariku?”
Jovita tidak membalas. Bibirnya terkatup rapat, dan itulah yang membuat Karen menghentikan tawanya. Ada sesuatu di wajah Jovita, keraguan, panik, campur jadi satu.
“Sama siapa mau nikah? Kamu punya pacar baru?” tanya Karen, kini lebih penasaran daripada bercanda.
Butuh beberapa detik sebelum Jovita menjawab. “Devan,” katanya pelan, hampir seperti gumaman.
Karen sontak menoleh begitu cepat hingga rambutnya ikut berayun. Matanya membesar.
“Hah?” Ia menatap Jovita lekat-lekat, mencari tanda bahwa temannya itu sedang bercanda. Tapi Jovita diam. Tak ada senyum, tak ada ekspresi yang bisa dijadikan bahan bercanda.
“Seriusan?” tanya Karen memastikannya, suaranya turun setengah oktaf.
Keheningan singkat menyelimuti mereka. Brownie saja terdengar lebih berisik dengan kunyahannya dibanding dua manusia itu.
Akhirnya Karen menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya. “Nikah aja sama dia,” ucapnya mantap. Ia menatap Jovita, serius sepenuhnya kali ini.
“Percaya sama aku. Kalau dia ngajakin kamu nikah, terima aja.”
Malam itu Devan pulang ke rumah. Seluruh anggota keluarga sudah masuk ke kamar masing-masing, membuat rumah terasa lebih hening dari biasanya. Lampu-lampu ruang utama sudah diredupkan. Hanya suara langkah Devan yang pelan saat ia berjalan menuju kamarnya.
Keesokan paginya, ketika semua orang sudah bersiap memulai hari dan berkumpul di meja makan, Devan keluar dari kamarnya.
“Kamu pulang?” Rosmala langsung menoleh, jelas terkejut. “Kenapa gak bilang? Jam berapa sampai sini?”
“Jam sebelas,” jawab Devan pendek.
Rosmala menggeleng pelan. “Kalau pulang, buat suara. Kamu kayak maling masuk rumah diam-diam.”
Mereka mulai makan dalam keheningan yang nyaman. Namun Devan tampak gelisah. Tangannya terus bergerak tanpa fokus, dan beberapa kali ia melirik satu per satu anggota keluarganya, seolah menimbang waktu yang tepat.
Akhirnya, setelah menarik napas panjang, ia meletakkan sendoknya di piring.
“Aku akan menikah,” ucapnya.
Meja makan langsung sunyi. Semua orang berhenti mengunyah dan menatapnya bersamaan, bingung.
“Sama Jovita,” tambahnya.
Rosmala membeku. Ia tidak tahu harus merasa senang atau ragu. Devan akhirnya memutuskan untuk menikah, hal yang sudah lama ia tunggu. Tapi dengan Jovita… membuat perasaannya bercampur aduk.
“Jadi kamu beneran berencana menikah?” Ami akhirnya angkat bicara. Ia mengingat ucapan Devan saat acara makan keluarga, yang ia kira hanya alasan agar terhindar dari situasi tersebut. “Kapan kalian menikah?”
“Masih belum tau,” jawab Devan, terdengar ragu.
Suasana kembali hening sesaat. Namun perlahan, senyum muncul di wajah Ami. Senyum tulus yang penuh harap. Dalam hatinya, ia memang ingin sekali menyaksikan cucu pertamanya menikah, terutama Devan, cucu yang dilahirkan oleh anaknya,Rosmala.
“Kalau udah tau tanggalnya, kabarin Ami,” katanya lembut sambil menatap Devan penuh kebanggaan. “Ami bakal beliin hadiah untuk pernikahanmu.”
Berbeda dengan Devan yang benar-benar berniat menikahi Jovita, justru wanita itu dilanda keraguan sejak malam sebelumnya.
“Kenapa sih aku bilang gitu?” gumam Jovita sambil menatap langit-langit kamarnya. Ia menghela napas, menutup wajah dengan bantal sebentar.
“Sekarang jadi ribet sendiri. Terus aku beneran harus nikah sama dia?”
Kepalanya terasa penuh. Ia memikirkan ulang ucapan impulsifnya yang ia lontarkan hanya karena terlalu senang ketika tahu ia akan mendapatkan keadilan. Kata orang, jangan membuat janji saat hati sedang menggebu-gebu dan hari itu kemurahan hati benar-benar membuatnya keliru.
Sebuah ide melintas begitu saja. Ia meraih ponselnya, ibu jarinya bergerak cepat mengetik.
–temui kakakku kalau kamu serius–
Jovita tahu betul bagaimana Noah. Kakaknya itu keras, tegas, dan tatapannya saja cukup membuat Adam dulu ciut. Mungkin, ya, mungkin, Devan akan mundur begitu tahu harus berhadapan dengan Noah. Lagipula, di pikiran Jovita, Devan… tidak mungkin seserius itu.
Namun semua perkiraan itu hancur ketika akhir pekan tiba dan bel rumah berbunyi. Dan Devan berdiri di depan pintu.
“Kamu… beneran datang?” tanya Jovita dengan wajah tercengang. Ada campuran kaget, panik, dan sedikit putus asa.
Devan menarik napas panjang, memandang Jovita dengan bingung. “Kenapa kamu selalu nanya gitu? Kamu sendiri yang minta aku datang.”
Jovita terdiam. Tidak bisa membalas apa-apa karena memang tidak punya alasan logis. Dan sebelum ia sempat berpikir lagi, pintu kamar Noah terbuka.
Noah berjalan keluar, duduk di sofa tanpa ekspresi. Matanya langsung mengarah pada adiknya dan Devan yang berdiri canggung di ruang tamu.
“Katanya mau bicara sama aku? Mau ngomongin apa?” tanya Noah datar. Dia benar-benar belum tahu apa yang terjadi.
Devan menelan ludah, tapi suaranya mantap. “Aku ingin menikahi Jovita.”
Ruangan langsung terasa lebih sempit. Noah menatapnya lekat, tanpa berkedip. Tatapan yang biasanya bisa membuat orang gemetar.
Pelan-pelan Noah memajukan tubuhnya, siku bertumpu pada lutut, postur tubuhnya menunjukkan bahwa ia akan mendengarkan, tapi juga siap menggugat sewaktu-waktu.
Jovita dan Devan sama-sama menahan napas. Tenggorokan mereka terasa kering, jantung berdebar keras. Tidak ada yang berani bergerak.
Begitu percakapan itu selesai, Jovita dan Devan melangkah keluar rumah. Pintu tertutup di belakang mereka, menyisakan dua ekspresi yang sangat berbeda. Jovita menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Sementara Devan… terlihat sangat puas. Senyum tipisnya tidak hilang sejak Noah memberi izin.
Jovita menghela napas panjang, berat. “Kenapa semua orang semudah itu mengizinkanku nikah denganmu?” tanyanya lirih, masih tidak percaya.
Devan tetap tersenyum, wajahnya terlihat jauh lebih rileks dibanding sebelum masuk ke rumah tadi.
“Tanyakan pada kakakmu? Mungkin dia mau kamu keluar rumah secepatnya,” ujarnya setengah bercanda, tapi nadanya terdengar terlalu lega.
Jovita langsung menatapnya tajam. Lalu kembali menoleh ke depan. Ia masih sulit menerima kenyataan bahwa dua orang terdekatnya justru setuju begitu cepat. Karen… dan Noah. Terutama Noah. Ia benar-benar mengira kakaknya akan menolak keras. Menginterogasi sampai Devan mundur sendiri. Tapi nyatanya, Noah hanya berkata singkat:
"Menikahlah. Tapi kalau kamu sakiti dia, kamu berurusan denganku."
Ucapan yang lebih mengancam Devan daripada menenangkan Jovita.
Devan kemudian menyentuh kedua bahu Jovita. Sentuhan itu membuatnya terhenti. Tatapannya hangat, jauh lebih lembut dari biasanya. Ada sesuatu yang berubah dari cara Devan memandangnya hari itu.
“Aku masih mau bicara denganmu,” ucapnya pelan, suaranya rendah dan stabil. “Tapi aku juga ada urusan. Kita bicara lagi nanti.”
Nada itu… membuat bulu kuduk Jovita berdiri. Tidak seperti biasanya. Cara Devan bicara terdengar lebih dewasa, lebih mantap, dan entah kenapa… membuatnya bingung.
"Kenapa dia jadi beda? Cara ngomongnya… gak kayak biasanya," batin Jovita, menatap pria itu lekat-lekat.
“Kita juga harus mulai mengurus semuanya,” tambah Devan. “Dan jangan lari dariku. Aku serius dengan ini semua.”
Jovita mematung. Kata-katanya terlalu tegas, terlalu yakin. Devan kemudian melepaskan bahunya dan berbalik menuju mobil. Tanpa menunggu apa pun, ia masuk dan menutup pintu. Mesin menyala, dan mobil melaju pergi, meninggalkan Jovita yang masih berdiri kaku di halaman.
“Dia merencanakan sesuatu?” gumamnya pelan, penuh curiga.
Baru saja Jovita hendak masuk ke dalam rumah, ponselnya berdering. Ia menatap layar sebentar, lalu mengangkatnya tanpa semangat. Begitu mendengar suara dari seberang, Jovita langsung menghela napas panjang.
Malam harinya, Jovita akhirnya pergi ke rumah Adam. Ia berdiri di depan pagar, menendang kerikil kecil di aspal sambil menunggu pintu terbuka.
Pintu itu akhirnya bergeser, menampakkan Adam dengan mata berbinar, seperti seseorang yang melihat harapan yang lama dinantikan.
“Jovita? Kamu ke sini?” katanya, suaranya penuh antusias yang jelas-jelas tidak cocok dengan ekspresi Jovita.
Begitu kontrasnya, sampai-sampai Adam baru sadar bahwa tidak ada satu pun senyum di wajah wanita itu.
“Udah kubilang atur sisanya. Kenapa toko perhiasan itu masih menghubungiku?” ucap Jovita tanpa basa-basi, tak memberi ruang untuk sapaan atau percakapan manis.
Adam mengerutkan alis. “Maksudmu?”
Jovita tersenyum miring, senyuman getir, bukan senang. Telepon dari toko perhiasan tadi sore masih membekas di telinganya. Mereka menghubunginya soal cincin pernikahan yang dulu ia dan Adam pesan. Padahal ia sudah meminta Adam untuk membatalkan semuanya.
Tapi sepertinya… Adam lebih memilih mengabaikan ucapannya.
“Mana lagi yang belum kamu beritahu kalau kita batal menikah?” tanya Jovita, nada suaranya dingin seperti udara malam. “Kalau kamu gak bisa, aku aja yang melakukannya.”
Adam tampak gelagapan. “Jo, aku gak bisa…”
Jovita tertawa malas. Matanya mulai panas, tapi ia menahan semuanya.
“Aku juga gak bisa kaya gini.” Suaranya pelan tapi jelas. “Kita akhiri ini semua. Aku akan menikah dengan orang lain.”
Adam terdiam, tubuhnya kaku. Matanya membesar, napasnya tercekat.
“Kamu… mau menikah?” tanyanya dengan suara bergetar, seolah tidak percaya apa yang ia dengar.
Jovita tidak menjawab pertanyaan itu. Ia tidak ingin membuka pembahasan lain. Ia hanya ingin menyelesaikan apa yang masih menggantung.
“Selesaikan itu,” ucapnya dingin. “Jangan sampai aku nerima telepon lagi tentang pernikahan kita.”
***
Mawar sedang melipat baju-bajunya satu per satu ke dalam koper besar di atas tempat tidur. Ia akan melakukan perjalanan bisnis ke Prancis beberapa waktu ke depan.
Pintu kamar diketuk pelan, lalu asistennya masuk. “Ini,” ucapnya sambil menyodorkan amplop cokelat tebal.
Mawar berhenti sejenak, mengambil amplop itu tanpa banyak bicara. Ia membukanya, menarik beberapa lembar foto dari dalamnya. Foto-foto Jovita.
Ia memeriksa satu per satu dengan teliti. Tapi terhenti ketika melihat foto Jovita berdiri bersama Adam.
Alis Mawar perlahan terangkat. “Siapa dia?”
Asistennya mendekat sedikit. “Sepertinya itu mantannya. Kami menemukan beberapa informasi kalau mereka… bahkan berencana menikah.”
Mawar terkekeh, suara tawanya pendek namun penuh ketidakpercayaan. “Kamu yakin?”
“Kami masih menyelidikinya,” jawab asistennya. “Tapi kemungkinan besar mereka memang pernah merencanakan pernikahan.”
Mawar memperhatikannya sekali lagi. Senyum muncul di bibirnya, senyum tipis yang mengandung kepuasan aneh. Seolah informasi itu membuka kemungkinan baru untuknya.
Ia memasukkan foto-foto itu kembali ke dalam amplop, lalu meletakkannya di dalam koper bersama pakaiannya.
“Selama aku di Prancis,” ucap Mawar sambil menutup koper dengan tenang, “tetap awasi dia.”
To be continued