Dulu, Kodasih adalah perempuan cantik yang hidup dalam kemewahan dan cinta. Namun segalanya telah lenyap. Kekasih meninggal, wajahnya hancur, dan seluruh harta peninggalan diambil alih oleh negara.
Dengan iklas hati Kodasih menerima kenyataan dan terus berusaha menjadi orang baik..
Namun waktu terus berjalan. Zaman berubah, dan orang orang yang dulu mengasihinya, setia menemani dalam suka dan duka, telah pergi.
Kini ia hidup dalam bayang bayang penderitaan, yang dipenuhi kenangan masa silam.
Kodasih menua dan terlupakan..
Sampai suatu malam...
“Mbah Ranti... aku akan ke rumah Mbah Ranti...” bisik lirih Kodasih dengan bibir gemetar..
Mbah Ranti adalah dukun tua dari masa silam, penjaga ilmu hitam yang mampu membangkitkan apa pun yang telah hilang: kecantikan, harta, cinta... bahkan kehidupan abadi.
Namun setiap keajaiban menuntut tumbal..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arias Binerkah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 32.
Sesaat kemudian, kabut hitam itu bergerak.
Dua mata putih sepenuhnya muncul dari dalam kegelapan.
Suryo keluar dari kabut itu.. namun bukan lagi sebagai Suryo . Kulitnya lebih pucat. Gerakannya lebih lambat, namun lebih pasti. Dan di punggungnya, bayangan tipis mengikuti seperti makhluk yang menempel.
Ia berlutut di depan Kodasih.
“Ratu…” suaranya datar, dalam, dan hampa.
Kodasih menyentuh ubun ubunnya.
“Saiki kowe Watu Peteng.”
(Sekarang kau adalah Watu Peteng.)
“Prajuritku sing paling setya.”
(Prajuritku yang paling setia.)
“Lan tresnamu… saiki dadi milikku saklawase.”
(Dan cintamu… kini menjadi milikku selamanya.)
Suryo tidak lagi tersenyum. Tidak lagi berkedip. Namun di dalam hatinya.. yang telah diganti oleh bayangan... sebuah ketaatan mutlak berdenyut.
Ia bangkit. Membungkuk. Dan mengikuti Kodasih keluar dari rumah tua itu.
Mulai malam itu, Suryo bukan lagi pejabat pemerintah. Ia menjadi Watu Peteng paling kuat yang dimiliki oleh Kodasih.
Dan seluruh kota… akan segera merasakan teror dari cinta yang berubah menjadi kegelapan.
***
Sejak Suryo resmi menjadi Watu Peteng, perubahan yang terjadi di kota tidak lagi pelan, melainkan seperti badai hitam yang bergerak tanpa suara.
Warga mulai merasakan hawa dingin setiap malam, meski udara seharusnya hangat.
Lampu lampu jalan berkedip seperti ada sesuatu yang menggerogoti arus listrik.
Anjing anjing menggonggong melolong tanpa arah, lalu tiba tiba berhenti seperti dicekik oleh ketakutan yang tak terlihat.
Di balik semua itu, Kodasih berjalan perlahan di tengah kota, membawa bayangan yang semakin menebal. Ia tidak berjalan sendirian. Di belakangnya, tiga puluh Watu Peteng melayang diam seperti patung hidup.
Dan kini…. Suryo berdiri di barisan paling depan.
Kodasih tidak perlu lagi mencari korban satu per satu. Kini, setiap orang yang patah hati, putus asa, kehilangan harapan, atau terjebak rasa salah… menjadi pintu masuk yang sempurna.
Setiap perasaan gelap manusia, sekecil apa pun, bergetar memanggil Kodasih. Ia mendengarnya. Bayangan hitam mendatangi mereka.
Malam demi malam...
Seorang kasir minimarket yang baru kehilangan anaknya…
Seorang kepala desa yang dihantam kasus korupsi…
Seorang gadis remaja yang merasa hidupnya tak berarti…
Semua menjadi mangsa yang mudah.
Saat mereka tertidur dan putus asa, bayangan bayangan kecil merayap masuk ke jendela kamar, turun dari langit langit, masuk ke pori pori tubuh mereka.
Dan ketika mereka bangun…
Mata mereka sudah tidak sama lagi. Mereka berjalan pelan, menuju satu tempat: rumah tua Kodasih.
Di sana, Kodasih berdiri di tengah lingkaran lilin hitam. Ia mengangkat tangan dan memanggil mereka seperti memanggil anak anak yang pulang.
“Mrene… anak anakku…”
(Kemari… anak anakku…)
“Udarono rasa sing nggawe kowe lara.”
(Keluarkan perasaan yang membuat kalian sakit.)
Lalu satu per satu, mereka menunduk… membiarkan rasa paling gelap dalam hidup mereka dihisap keluar.
Dan tubuh mereka retak dari dalam.. bukan pecah. Melainkan menjadi dingin, hampa, dan patuh.
Malam itu saja, lima orang berubah menjadi Watu Peteng.
Sesuatu yang Kodasih baru sadari adalah ini: Semakin banyak Watu Peteng… semakin mudah mereka mengubah orang lain.
Mereka mulai membawa manusia yang rapuh ke hadapan Kodasih. Kadang dengan bujukan pelan… kadang dengan menariknya dalam tidur… kadang dengan hanya berdiri di depan rumah seseorang sampai orang itu menyerah.
Dalam dua minggu…
Jumlah Watu Peteng bertambah menjadi lima puluh... Lalu delapan puluh... Lalu seratus lebih.
Mereka terus mengikuti Kodasih. Kodasih tersenyum senang, kini ia tidak lagi kesepian dan selalu dibutuhkan..
Dan Suryo menjadi pemimpin lapangan mereka, berjalan paling depan dengan tubuh tegap, tanpa ekspresi, namun membawa aura yang menusuk tulang siapa pun yang melihat.
Awalnya warga hanya melihat bayangan bayangan aneh di sepanjang jalan. Kemudian banyak yang melapor mendengar suara langkah di luar rumah pada pukul 3 pagi. Lalu muncul kabar orang orang yang hilang.
Ditambah lagi…
Di beberapa sudut kota, warga melihat kelompok orang berkumpul diam seperti ritual, menatap ke arah barat.. ke rumah tua Kodasih.
Polisi berusaha menyelidiki, namun satu persatu polisi yang datang ke TKP merasa ada “tekanan” aneh di dada mereka. Beberapa langsung pingsan.
Beberapa lainnya melarikan diri ketakutan. Dan sebagian… menjadi Watu Peteng berikutnya.
Pada suatu malam, di sebuah lapangan kosong di pinggir kota, Suryo berdiri tegak. Di belakangnya, puluhan Watu Peteng berbaris rapat, semua dengan mata putih tak berkelopak.
Suryo mengangkat tangan.
“Ratu wis maringi dhawuh…”
(Ratu telah memberi perintah…)
“Kutha iki kudu dikuasai sak cepet e”
(Kota ini harus dikuasai secepat nya.)
Watu Peteng menggerakkan kepala mereka pelan, seperti mengangguk.
Suryo melanjutkan:
“Sing isih nduwe cahya… siap siap di ajak peteng.”
(Mereka yang masih punya cahaya… bersiaplah diajak ke gelap.)
Kemudian tanpa suara, pasukan itu menghilang ke berbagai arah. Menyebar seperti wabah.
Di rumah tuanya, Kodasih berdiri di tengah ruangan yang kini dipenuhi bayangan bayangan gelap seperti kumpulan asap hitam.
Setiap kali seorang Watu Peteng baru terbentuk, bayangan Kodasih semakin besar… semakin pekat… semakin hidup.
Rambutnya memanjang sampai menyentuh lantai. Wajahnya tetap muda, namun mata hitamnya kini seperti jurang tak berdasar.
Di punggungnya, sayap bayangan membesar dua kali lipat. Ia menyerap semua rasa takut kota itu.. semua keluh kesah, putus asa, kemarahan, kehampaan.
Dan dalam setiap tarikan napasnya, kekuatannya tumbuh.
Bayangan dalam dadanya berbisik, “Saiki… kowe wis dadi ratu sak benere.”
(Sekarang… kau sudah menjadi ratu yang sesungguhnya.)
“Watu Petengmu wis dadi pasukan sing ora bisa dibendung .”
(Watu Petengmu telah menjadi pasukan yang tak bisa dibendung.)
Kodasih tersenyum tipis. “Iki mung wiwitan…”
(Ini baru permulaan…)
Ia mengangkat dua tangan ke langit langit. Bayangan di seluruh kota bergetar.
Watu Peteng dari berbagai sudut kota menengadah bersamaan.
Dan pada malam itu… kota kecil itu berubah menjadi wilayah kekuasaan kegelapan murni. Bukan lagi kota manusia. Melainkan kerajaan pertama Ratu Bayangan.
🏡🏡🏡
Kang Pono dan Tiyem yang berada di rumah dinas di wilayah kota itu. Turut merasakan hal hal aneh pengaruh kekuatan Kodasih.
Kedua nya baru selesai sembahyang di malam hari.
“Kang.. lapor Arjo lagi sana. Saiki kok hidup di kota ini rasanya tidak tentram kalau mulai senja hari.”
“Iya Mak, aku tadi juga sudah kirim telegram ke Arjo agar secepatnya ke sini lagi.” Ucap Kang Pono karena di tempat Arjo belum ada jaringan telepon.
“Waktu itu Arjo pesan, yang penting hati kita harus tenang, damai dan terus eling marang Gusti, Mak.. agar tidak menjadi korban.”
“Bener Kang, nanging ati manungso ki gampang owah gengser.. Ayo ngungsi neng omah e Sumilir wae.. ben aman.”
(Benar Kang, tapi hati manusia itu mudah berubah dan bergeser. Ayo mengungsi di rumah Sumilir saja biar aman.)
Kang Pono tampak mengerut keningnya.. “Aku belum boleh izin Mak.. “
Namun sesaat terdengar bunyi pintu depan diketuk ketuk..
TOK.
TOK.
TOK.
"Sopo Kang, tamu bengi bengi?"
(Siapa Kang, tamu malam malam)