Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25_Kembalinya legenda.
Ruang rapat utama itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Meja panjang dari kayu gelap telah terisi hampir penuh oleh orang-orang penting perusahaan—mereka yang jarang duduk dalam satu ruangan kecuali untuk keputusan besar. Di ujung meja, Pak Surya duduk tegak dengan map cokelat di hadapannya. Di sampingnya, Pak Arkan, cucu pimpinan sekaligus CEO muda yang jarang menampakkan diri, bersandar santai namun sorot matanya tajam dan penuh perhitungan.
Arga duduk di sisi kanan meja, sebagai tim pemasaran. Jasnya rapi, ekspresinya profesional, meski pikirannya sejak pagi tak sepenuhnya fokus. Di seberangnya, Nadira duduk dengan kaki disilangkan, rambutnya tergerai sempurna, senyum kecil tersungging—senyum seseorang yang merasa aman di posisinya.
Beberapa kepala divisi lain mengobrol pelan, saling bertukar spekulasi.
“Katanya kepala tim baru orang lama.”
“Siapa pun dia, sampai CEO turun tangan begini pasti bukan orang sembarangan.”
“Ada kabar dia sangat tegas.”
Arga hanya mendengar sepintas. Ia menyandarkan punggung, melirik jam di pergelangan tangan. Entah mengapa dadanya terasa tidak nyaman, seperti ada sesuatu yang terlewat.
Lalu—
Pintu ruang rapat terbuka.
Suara klik halus itu membuat seluruh ruangan terdiam.
Langkah kaki terdengar masuk—perlahan, terukur. Bunyi heels menggema di lantai marmer, tegas namun elegan. Satu langkah. Dua langkah. Setiap dentingnya seolah menuntut perhatian.
Lauren melangkah masuk.
Ia mengenakan setelan kerja berwarna krem pucat dengan potongan bersih yang mengikuti tubuhnya dengan sempurna. Rambutnya disanggul rendah rapi, riasan wajahnya sederhana namun menegaskan ketegasan sorot matanya. Tidak ada keraguan di wajahnya. Tidak ada jejak perempuan yang beberapa hari lalu menangis hingga tubuhnya gemetar.
Yang berdiri di sana adalah Lauren yang lain.
Lauren yang dulu.
Lauren yang lebih kuat.
Seisi ruangan sontak berdiri.
Beberapa wajah menunjukkan keterkejutan yang tak sempat disembunyikan. Ada yang tersenyum lebar, ada yang terdiam dengan mata membulat, ada pula yang menegakkan punggung lebih lurus, seolah refleks saat menyadari siapa yang kini berdiri di hadapan mereka.
Nadira membeku.
Senyum di bibirnya memudar setitik demi setitik.
Pak Surya tersenyum bangga.
Pak Arkan menatap Lauren dengan ketertarikan terang-terangan, seolah sedang menilai sebuah aset berharga yang akhirnya kembali ke tempat seharusnya.
Namun satu orang tidak langsung berdiri.
Arga.
Ia terpaku di kursinya, jantungnya berdegup keras, napasnya tertahan.
Lauren?
Matanya menatap lurus ke depan, lalu—hanya sekilas—pandangan itu bertemu dengan mata Arga.
Tidak ada senyum.
Tidak ada amarah.
Tidak ada luka yang dipertontonkan.
Hanya jarak.
Lauren berhenti di ujung meja. Ia menaruh tas kerjanya dengan tenang, lalu menatap seisi ruangan dengan kepala tegak.
“Selamat pagi,” ucapnya mantap.
Suaranya jernih. Stabil. Profesional.
“Terima kasih sudah meluangkan waktu.”
Pak Surya berdeham kecil, lalu berkata dengan nada resmi, “Rekan-rekan sekalian, izinkan saya memperkenalkan kembali seseorang yang mungkin sudah tidak asing bagi kita semua.”
Ia menoleh ke arah Lauren.
“Mulai hari ini, Ibu Lauren Hermasyah resmi kembali bergabung dengan perusahaan ini sebagai Ketua Pemasaran.”
Hening.
Detik itu terasa panjang.
Beberapa orang bertepuk tangan. Disusul yang lain. Tepuk tangan memenuhi ruangan, menggema seperti pengesahan yang tak terbantahkan.
Arga akhirnya berdiri—terlambat setengah detik.
Tangannya terasa dingin.
Ketua pemasaran.
Bukan kembali sebagai staf.
Bukan posisi lama.
Lebih tinggi.
Lebih berkuasa.
Dan ia tidak tahu apa-apa tentang ini.
Lauren melanjutkan bicara, pandangannya tetap tenang, bahunya tegap. “Saya berharap kita bisa bekerja sama secara profesional. Saya datang bukan untuk mengulang masa lalu, melainkan membangun sesuatu yang lebih baik ke depan.”
Ia berhenti sejenak.
Lalu menoleh sedikit ke arah Arga.
“Termasuk dengan tim yang sudah ada.”
Kalimat itu netral. Namun bagi Arga, kata-kata itu terasa seperti garis batas yang ditarik rapi—tanpa emosi, tanpa kompromi.
Arga menelan ludah.
Ia mengenal Lauren terlalu baik untuk tidak memahami arti ketenangan itu.
Ini bukan kejutan manis.
Ini bukan kebetulan.
Ini adalah keputusan.
Siapa yang tidak mengenal Lauren Hermansyah?
Nama itu bukan sekadar tercantum di arsip lama perusahaan atau disebut-sebut dalam rapat nostalgia. Nama itu pernah menjadi standar. Tolok ukur. Dan bagi sebagian orang—peringatan.
Sebelum ia menghilang dari gedung ini, Lauren dikenal bukan hanya sebagai karyawan terbaik, melainkan sebagai seseorang yang bekerja dengan prinsip yang nyaris kejam pada dirinya sendiri. Datang paling pagi, pulang paling akhir, membawa pulang berkas yang tak pernah ia biarkan tertunda. Ia tidak pernah menaikkan suara tanpa alasan, namun sekali bicara, ruangan akan terdiam.
Bahkan saat posisinya dulu “hanya” sebagai tim perancang, Lauren tak pernah merasa kecil.
Ia tidak ragu mematahkan argumen atasan yang malas—mereka yang duduk nyaman di kursi empuk, memberi instruksi tanpa pernah turun ke lapangan. Ia menolak proposal yang sarat kepentingan pribadi, menentang strategi pemasaran yang manipulatif, dan secara terbuka mengoreksi presentasi yang dibuat asal-asalan.
Tanpa takut.
Tanpa gentar.
Tanpa peduli siapa lawannya.
Beberapa orang dulu menyebutnya arogan.
Sebagian lagi menyebutnya terlalu ambisius.
Namun tidak satu pun dari mereka bisa menyangkal hasil kerjanya.
Angka penjualan naik drastis. Citra merek membaik. Kampanye-kampanye yang ia rancang bukan hanya menjual produk, tapi membangun kepercayaan. Dan setiap keberhasilan itu selalu ia kembalikan pada timnya—tidak pernah mengklaim sendiri.
Lauren bukan tipe pemimpin yang meminta hormat.
Ia membuat orang menghormatinya.
Di ruang rapat itu, setelah tepuk tangan mereda, keheningan kembali menyelimuti. Lauren berdiri dengan tangan terlipat rapi di depan tubuhnya. Tatapannya berkeliling—mengenali wajah-wajah lama, membaca ekspresi mereka satu per satu.
Ada yang tersenyum lega.
Ada yang terlihat kagum.
Ada pula yang jelas-jelas tidak nyaman.
Nadira duduk kaku. Rahangnya mengeras meski bibirnya berusaha mempertahankan senyum profesional. Ia tahu cerita-cerita itu. Semua orang tahu. Tentang bagaimana Lauren pernah “menjatuhkan” seorang kepala divisi hanya dengan data dan logika, tanpa teriak, tanpa drama.
Dan kini, perempuan itu berdiri di sini.
Lebih tinggi dari sebelumnya.
Pak Surya berdiri di samping Lauren. “Saya yakin tidak perlu menjelaskan panjang lebar mengapa posisi ini kami percayakan pada Ibu Lauren,” katanya mantap. “Rekam jejak beliau berbicara sendiri.”
Pak Arkan mengangguk kecil. “Perusahaan ini membutuhkan orang yang tidak hanya cerdas, tapi berani,” tambahnya. “Dan kami tahu, Ibu Lauren memiliki keduanya.”
Lauren menghela napas singkat sebelum berbicara kembali. “Saya tidak datang untuk mengambil alih dengan cara lama,” ucapnya tenang. “Saya datang untuk bekerja. Jika ada ide yang lebih baik dari tim mana pun, saya ingin mendengarnya. Tapi jika ada pekerjaan setengah hati, saya tidak akan menoleransinya.”
Nada suaranya datar. Bukan ancaman.
Janji.
Beberapa orang menegakkan punggungnya tanpa sadar.
Arga duduk di kursinya, telapak tangannya mengepal pelan di bawah meja. Setiap kalimat Lauren terdengar asing sekaligus sangat familiar. Ia mengenal suara itu. Ketegasan itu. Sikap yang dulu membuatnya bangga—dan kini membuat dadanya terasa sesak.
Ia teringat masa ketika Lauren masih sering menunggunya pulang larut malam, dengan laptop di meja makan dan secangkir teh yang sudah dingin. Ia teringat bagaimana perempuan itu dulu menyeimbangkan segalanya—karier, rumah, dirinya—tanpa pernah mengeluh.
Dan kini, Lauren berdiri di sini bukan sebagai istrinya.
Melainkan sebagai atasannya.
Lauren menutup perkenalan dengan kalimat singkat. “Saya harap kita bisa memulai lembaran kerja yang baru.”
Ia duduk di kursi yang telah disiapkan di ujung meja—kursi yang posisinya sedikit lebih tinggi dari yang lain. Gerakannya anggun, penuh kendali.
Rapat pun dimulai.
Namun bagi sebagian orang di ruangan itu, rapat hari ini bukan tentang strategi pemasaran, target kuartal, atau angka-angka di layar proyektor.
Ini tentang kembalinya seorang perempuan yang dulu memilih pergi dengan diam.
Dan kini kembali—
tanpa suara,
tanpa amarah,
namun dengan kekuatan yang jauh lebih besar dari sebelumnya.
Anyway, semangat Kak.👍