Bagi Hasan, mencintai harus memiliki. Walaupun harus menentang orang tua dan kehilangan hak waris sebagai pemimpin santri, akan dia lakukan demi mendapatkan cinta Luna.
Spin of sweet revenge
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma AR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di luar nalar
Luna memijat keningnya sambil berjalan memasuki rumahnya. Untungnya dia tidak bertemu papi dan maminya. Kepalanya akan tambah pusing menjawab rentetan pertanyaan mereka.
Luna langsung ke kamar mandi setelah masuk ke kamarnya. Dia sengaja memanjakan dirinya di bath up.
Hasan orang yang serius. Dia pasti tidak berbohong akan membawanya menemui uminya besok.
Luna belum siap.
Seharusnya dia mendengarkan Ayra. Kalo dia ragu dengan Hasan, harusnya dia menolak. Bukan memberinya harapan.
Luna membasuh wajahnya, kemudian menenggelamkan kepalanya sambil menahan nafas. Setelah merasa paru parunya siap meledak karena kekurangan oksigen, Luna menaikkan lagi kepalanya.
Sekarang isi kepalanya bukan tambah ringan, tapi malah diberati oleh Hasan.
Jantungnya malah berdebar kencang.
Hasan yang lebih dewasa, tapi tatapannya tetap teduh.
Luna menenggelamkan lagi dirinya sampai kepalanya.
*
*
*
Luna masih mengeringkan rambutnya ketika Ayra memasuki kamarnya dengan wajah usil.
"Tadi pergi kemana sama Hasan?" todongnya langsung dengan nada bertanya.
"Makan di rumah makan padang temannya. Tapi enak loh. Kapan kapan kita bisa makan ke sana."
"Oh ya? Kenapa kapan kapan? Besok aja kita ke sana," tukas Ayra antusias.
Luna menghembuskan nafas berat. Dia masih menggosokkan handuk ke rambutnya.
"Kenapa ngga pake hair dryer aja biar cepat kering." Ayra mengambil hair dryer yang ada di atas meja rias kembarannya, kemudian menyerahkannya pada Luna.
Luna sekarang sudah duduk di depan meja riasnya sambil menonkan hair dryernya
Gara gara memikirkan Hasan, dia sampai melupakan kalo punya hair dryer.
"Besok, ya, kita makan di rumah makan padangnya," ucap Ayra lagi, mengulang kata katanya.
Luna menghembuskan nafasnya lagi.
"Kenapa? Kamu, kok, kelihatannya banyak pikiran?" Ayra menatap Luna pernuh selidik.
"Besok Hasan ngajak aku ketemu uminya."
"Wow.... Udah siap nikah kayaknya dia." Ayra tertawa berderai.
Luna manyun melihatnya. Menyetujui kata kata Ayra.
"Aku bingung harus pakai baju apa," keluh Luna jujur.
"Hasan ngga mempermasalahkan penampilanku. Tapi aku tetap merasa ngga nyaman. Kan, aku datang ke pondok, banyak santri. Pakaian mereka pasti tertutup, kan?"
Ayra menganggukkan kepalanya berulang kali mendengar keluhan kembarannya.
"Ya udah, kamu pake scarf yang panjang buat nutupin rambut kamu."
"Iya, sih. Tapi ngga apa apa, ya, kayak gitu?" tanya Luna ragu.
Ayra menganggukkan kepalanya. Dia kemudian beranjak.ke lemari pakaian Luna
"Kamu ngapain?" Luna meletakkan hair dryernya ke atas meja rias dan mendekati kembarannya.
"Nyari pakaian yang pantas buat kamu nemuin calon mertua. Harus sopan sama longgar."
"Memangnya aku pernah pake baju ketat sama minim bahan?" kilah Luna sambil ikut memilih pakaiannya juga.
Ayra tertawa mendengar jawaban ketus Luna.
"Masih banyak yang ada mereknya." Ayra menggelengkan kepalanya.
Luna hanya nyengir.
Mereka terus memilih sampai ketemu pakaian yang menurut mereka berdua cocok.
"Pasti uminya Hasan ngga akan komplen," ucap Ayra yakin.
*
*
*
Hasan menerima telpon dari Tendry ketika dia sedang memeriksa email dari ustazah Runiati.
"Jadi, itu gadisnya dari keluarga Airlangga yang sedang kamu perjuangkan." Tendri mengakhiri ucapannya dengan tawa pelan. Suaranya terdengar senang.
Pantas saja Charlotte dan gadis bercadar itu lewat begitu saja, batinnya.
"Ya," jawab Hasan jujur. Matanya masih membaca email.
"Wajar, sih. Tapi aku rasa kamu ngga perlu terlalu sekeras itu bekerja." Suara Tendri kembali terdengar setelah derai tawanya usai.
Hasan ngga menyahut.
"Aku yakin, dia juga suka dengan kamu, kok," imbuh Tendri. Sekali lihat saja dia tau kalo mereka berdua memang saling cinta.
"Aku tau. Karena itu aku harus bekerja sangat keras agar dia tidak merasa malu."
Hening.
"Diantara suami suami sepupunya, aku masih jauh di bawah mereka." Hasan tau siapa Naresh, Milan, apalagi Haykal. Mereka pewaris dari keluarga yang sangat kaya raya, cenderung konglomerat. Dia selalu merasa insecure dibandingkan mereka.
"Aku yakin gadismu itu tidak berpikir begitu."
Memang, batin Hasan.
"Aku malahan berpikir, dia yang insecure denganmu. Latar belakang kalian beda jauh. Sorry."
Hasan sudah tau.
"It's oke."
Hening sesaat.
"Kamu yakin ngga akan minta dia merubah penampilannya. Maksudku, keluargamu syar'i semua, kan, penampilannya."
"Itu terserah dia aja."
"Oke, kalo begitu. Aku do'akan hubungan kalian selancar jalan tol."
"Aamiin......"
*
*
*
Pagi ini Hasan berangkat ke perusahaan abinya. Setelah jam makan siang, baru dia akan mengikuti rapat di staf kementerian.
Teman temannya yang kerja di sana juga ingin tau laporan kejiwaan Ratna.
Seperti Riyas sekarang.
"Jadi dia belum bisa dipindahkan ke pondokmu?" tanya Riyas setelah membacanya.
"Belum. Mungkin satu atau dua bulan lagi."
"Dia masih menunggu didatangi, Naresh?" Riyas menggelengkan kepalanya. Saat ini Naresh sedang berbulan madu bersama Nathalia.
"Begitulah."
"Ini namanya bukan cinta, tapi sudah obsesi," decak Riyas. Dia jadi ingat Layla.
Apakah Laila akan jadi stres begini juga kalo sahabatnya tetap memilih Luna? batinnya khawatir.
Hasan tidak menanggapi.
TOK TOK TOK
Dia sudah datang, ya, tebak Riyas dalam hati.
Pintu terbuka dan memunculkan sosok Laila.
Hasan menatap heran. Uminya tidak memberitau kalo Laila akan datang menemuinya pagi ini.
Riyas segera bangkit.
"Aku ada kerjaan lain."
"Jangan tutup pintunya," perintah Hasan pada Riyas.
Riyas mengangguk ketika melihat Laila yang sudah berjalan masuk.
Laila menatap Riyas yang berlalu melewatinya dan membiarkan pintu setengah terbuka.
"Bisakah ditutup saja pintunya?" tanya Laila sambil menatap Hasan.
"Kalo kamu datang dengan umi, boleh ditutup pintunya. Tapi kamu datang sendiri," jawab Hasan lugas. Dia sekarang berdiri menatap kepergian Riyas.
Laila mendekat dengan jantung berdebar semakin cepat. Dia sudah berpikir matang matang. Hanya saja mulai sedikit dilanda keraguan karena Hasan tidak membiarkan pintu tertutup.
"Ada apa?" Hasan mengalihkan tatapnya pada Laila sekilas sebelum menatap layar laptopnya lagi. Kini dia sudah duduk di kursinya.
Teringat ucapan uminya kalo Laila mau dipoligami.
Dia mau membahasnya sekarang?
Laila berhenti tepat di depan Hasan. Dia berusaha menenangkan degup jantungnya yang berpacu cepat. Sedekat ini dia bisa melihat betapa tampannya Hasan.
"Hasan..... Aku pikir kamu sudah tidak adil."
"Maksud kamu?"
"Kamu tidak pernah memberi kesempatan pada dirimu untuk lebih mengenalku dengan baik."
Hasan ingin tertawa miris mendengarnya. Gadis ini lupa kalo mereka sudah sangat mengenal. Bahkan sejak SMP.
"Aku menduga mungkin karena penampilanku membuat perasaan cintamu ngga bisa hadir."
"Maksud kamu?" Hasan tetap fokus menatap layar laptopnya.
"Kamu merasa jatuh cinta dengan Luna karena sudah melihat sebagian dari dirinya. Sementara aku? Kamu hanya bisa melihat mataku." Suara Laila terdengar bergetar. Dia sudah berpikir matang matang untuk ini.
Hasan mengalihkan tatapnya sebentar pada Laila.
"Aku benar, kan? Kamu hanya jatuh cinta pada penampilan fisik Luna," tuduh Laila. Suaranya masih bergetar.
"Mungkin. Tapi setelah mengenalnya, aku semakin menyukainya."
Jantung Laila seperti diren ggut paksa dari tempatnya. Rasanya sangat sakit. Emosinya mulai merangkak naik.
"Mungkin setelah ini kamu akan berubah."
Dengan tangan bergetar, Laila melepas cadarnya.
"Apa yang kamu lakukan," kaget Hasan dengan tindakan Laila yang tidak dia sangka.
Laila tidak peduli. Sekarang dia bahkan melepas jilbabnya juga. Bahkan menguraikan rambut panjang hitamnya.
Hasan memalingkan tatapnya ke arah lain. Bahkan dia sudah berdiri.
"Hasan, lihatlah. Aku bahkan lebih cantik dari Luna." Air mata Laila mulai mengalir.
"Rapikan dirimu." Hasan malah berjalan pergi meninggalkan Laila.
"Hasan!" seru Laila dalam keputusasaannya. Tidak menyangka Hasan malah tidak terpesona menatapnya.
Hasan berhenti sambil memegang gagang pintu bagian luar. Sekretarisnya sudah tidak ada di tempatnya, sepertinya Riyas sudah menyuruhnya pergi
"Aku menyukai Luna begitu saja. Karena dia tulus." Setelah mengatakannya, Hasan menutup pintu dan melangkah cepat, pergi menyusuri lorong perusahaannya.
beruntungnya kamu luna.
malu malu tapi mau 🤭🤭🤭