Satu janji, satu rahim, dan sebuah pengorbanan yang tak pernah ia bayangkan.
Nayara menjadi ibu pengganti demi menyelamatkan nyawa adiknya—tapi hati dan perasaan tak bisa diatur.
Semakin bayi itu tumbuh, semakin rumit rahasia, cinta terlarang, dan utang budi yang harus dibayar.
Siapa yang benar-benar menang, ketika janji itu menuntut segalanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mommy Sea, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26 — Denyut yang Terlupakan
Hening turun pelan-pelan setelah kalimat Aruna menggantung di udara. Seakan malam ikut menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Aru mengernyit, bingung tapi tidak takut. “Kamu beneran pernah lihat aku? Di mana?”
Aruna tidak langsung menjawab. Ia malah mengangkat tangan Aru, memandangi jari-jari kecil itu lama sekali, seperti sedang mencari alasan dari rasa aneh yang tiba-tiba muncul di dadanya.
“Aku nggak tahu,” bisiknya. “Tapi rasanya… kenal.”
Karina langsung menurunkan tangan Aruna pelan tapi tegas. “Sayang, sudah malam. Kita masuk, ya.”
Nada suaranya lembut, tapi wajahnya tegang. Jelas ia tidak suka kedekatan spontan ini.
Sementara itu, dari balik tembok teras, dada Nayara seperti diremas kuat-kuat. Rasa takut yang tadi masih bisa ia tahan, kini bergulung seperti ombak yang menghantam dada berkali-kali.
Aru… Aruna…
Kembar yang pernah ia rasakan menendang bersamaan dalam perutnya.
Yang satunya hilang dari pelukannya sepuluh tahun lalu.
Yang satunya masih ia jaga dengan seluruh hidupnya.
Dan kini mereka berdiri berdampingan, saling menatap… seolah ada sesuatu dalam darah mereka yang mengenali satu sama lain.
Nayara menutup mulut dengan kedua tangan.
Nadim memegangi bahunya agar ia tidak jatuh.
Rendra akhirnya angkat suara. “Aruna, ayo. Jangan buat orang lain khawatir.”
Tapi Aruna tidak bergerak.
Tatapannya justru berpindah ke wajah Rendra lalu kembali ke wajah Aru, berganti-ganti, seperti membandingkan sesuatu yang hanya bisa dilihat dengan mata hati.
Lalu gadis itu berkata pelan, polos, tanpa maksud apa-apa:
“Pa… wajahnya mirip Papa, lho.”
Karina seperti tersengat listrik.
Nayara memucat hebat.
Nadim mengumpat pelan tanpa suara.
Dan Rendra—
Laki-laki itu langsung menegang.
Bahunya mengeras.
Tatapannya melebar sepersekian detik sebelum ia buru-buru menurunkannya.
“Aruna.” Suara Rendra terdengar lebih berat dari biasanya. “Jangan asal bicara.”
“Aku nggak asal,” Aruna membantah lirih. “Lihat deh… mata sama alisnya. Mirip Papa waktu kecil di foto yang—”
“Aruna.”
Ada peringatan jelas di suara Rendra kali ini.
Gadis kecil itu terdiam, bibirnya mengerucut kecil. Ia menunduk, merasa dibentak, tapi tetap melirik Aru sekali lagi, seolah hatinya belum puas.
Aru malah tertawa kecil, polos. “Aku mirip Om? Masa sih?”
Rendra menelan ludah pelan. Tatapannya kembali jatuh ke wajah Aru—dan untuk pertama kalinya, ia tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Anak itu…
Sorot mata itu…
Senyum itu…
Ada sesuatu yang sangat familiar.
Sesuatu yang mengusik memori jauh di belakang kepalanya.
Rendra bahkan tidak sadar ia sudah merunduk sedikit, lebih dekat dari seharusnya.
“Aru…” ia mengulang pelan, berbisik nyaris pada dirinya sendiri. “Nama yang unik.”
Aru mengangguk bangga. “ibu yang kasih.”
Rendra mengerjap. “ibu?”
“Benar ibu aku yang memberi nama!” Aru tertawa kecil.
Rendra menoleh cepat, refleks.
“Mana ibumu?”
Kalimat itu seperti palu yang menghantam jantung Nayara.
Nadim langsung menarik tubuh kakaknya makin rapat ke dinding, menyembunyikannya dalam bayang.
Bu Lilis—yang baru keluar membawa daftar program donatur—menjawab enteng, tidak merasa apa-apa.
“Oh, ibunya Aru sedang… istirahat. Staff di sini juga, Pak.”
“Staff?” Karina ikut menoleh cepat. “Maksudnya—dia tinggal di sini?”
“Ya, Bu. Ibunya Aru bekerja dan tinggal di panti sejak beberapa tahun lalu.”
Rendra merasa sesuatu di dadanya bergetar aneh.
Entah kenapa.
Ia sendiri tidak tahu kenapa informasi itu membuat tengkuknya panas.
Seolah ada alasan kuat kenapa ia harus bertemu wanita itu.
Siapa pun dia.
Aruna—yang sedari tadi memerhatikan ayahnya—berbisik lagi, kali ini lebih lirih, hanya pada Aru.
“Kamu beneran mirip Papa waktu kecil…”
Aru tergelak. “Beneran? Papa kamu kayak aku dong!”
Aruna tersenyum samar. “Iya. Sama banget.”
Rendra mendengar bisikan itu.
Wajahnya berubah satu tingkat lebih pucat.
Karina menarik napas panjang, lalu memeluk pundak Aruna. “Sayang, ayo. Jangan ngomong macam-macam.”
“Tapi aku cuma bilang—”
“Sudah.”
Aruna akhirnya diam.
Rendra berdiri tegak kembali, merapikan coat-nya, mencoba kembali menjadi dirinya yang biasanya: tenang, dingin, sulit terbaca.
Namun matanya…
Berulang kali kembali kepada anak kecil bernama Aru itu.
Untuk alasan yang tidak bisa ia jelaskan.
Dari balik tembok, Nayara akhirnya tidak kuat lagi.
Kakinya benar-benar goyah, dan ia hampir jatuh kalau Nadim tidak memegangi pinggangnya.
“Kak… kuat sedikit lagi. Mereka akan masuk. Kita aman habis itu,” bisik Nadim.
“Aru… Dim… dia mirip Rendra… terlalu mirip…” bisik Nayara, suaranya pecah.
“Ya. Aku tahu.” Nadim mengepalkan rahang. “Tapi kita bisa jaga dia. Tenang.”
Nayara menggeleng lemah. Air matanya menetes tanpa suara.
“Aku takut… Dim… aku benar-benar takut…”
Nadim menarik kakaknya ke pelukan, mencoba meredam getaran tubuhnya.
“Tenang, Kak. Selama aku hidup… nggak ada yang bisa ambil Aru dari kita.”
Namun jauh di dalam hati—
meski Nadim mencoba menenangkan—
ia tahu.
Malam ini adalah awal dari badai.
Pertemuan kecil antara dua anak itu… bukan kebetulan.
Rendra akhirnya melangkah masuk ke ruang tamu bersama Karina dan Aruna. Suara langkah mereka bergema pelan di lantai koridor yang mulai sepi. Begitu pintu tertutup, suasana halaman kembali tenang—tapi ketegangan masih menggantung di udara.
Aru masih menatap pintu yang baru saja menelan keluarga itu. Anak itu mengusap tengkuknya, bingung dengan perasaan aneh yang tidak bisa ia jelaskan. “Om itu baik, ya? Tapi kayak… aneh. Tatapannya kayak kenal aku.”
“Bukan urusan kamu,” Nadim berkata cepat sambil mengarahkan Aru masuk ke dalam rumah
. “Ayo, gosok gigi. Cepet.”
Aru hanya mengangguk dan berlari kecil, seperti biasa. Dunia anak sepuluh tahun memang tidak serumit dunia orang dewasa. Ia belum mengerti kenapa Nadim terlihat sangat tegang. Ia belum mengerti kenapa ibunya bersembunyi sambil gemetar.
Saat Aru menghilang di balik pintu, tubuh Nayara akhirnya lunglai. Ia duduk di lantai teras, punggungnya bersandar pada dinding yang dingin. Rasanya seperti baru ditarik keluar dari gelombang laut yang hampir menelannya.
“Dim…” napasnya terputus-putus. “Dia kenal Aru. Aku lihat… tatapannya tadi. Dia tahu ada yang aneh.”
Nadim ikut duduk di samping kakaknya, meski wajahnya masih tegang. “Tenang dulu. Rendra cuma lihat kemiripan. Itu wajar. Anak-anak banyak yang mirip.”
Nayara menggeleng. “Enggak. Bukan begitu caranya dia lihat. Dia—dia seperti ingat sesuatu. Seperti… potongan masa lalu.”
Nadim menarik rambutnya ke belakang, frustrasi. “Kak… kita nggak punya pilihan selain bertahan. Kita sudah sepuluh tahun aman. Kita bisa aman sepuluh tahun lagi. Yang penting jangan buat dia tahu kamu ada di sini.”
Tapi Nayara tahu itu mustahil.
Jika Santosa Group mulai rutin datang ke panti, cepat atau lambat mereka akan bertemu. Panti ini kecil, tidak banyak staff, tidak banyak ruangan untuk bersembunyi.
Suara hujan yang tadi berhenti mulai turun rintik-rintik lagi. Embusan angin mengibaskan ujung jilbab Nayara, seolah dunia pun ikut gelisah.
“Dim…” suaranya lirih. “Kalau dia sadar Aru itu—”
“Sudah!” Nadim memotong, tapi suaranya tidak keras. Lebih seperti memohon. “Jangan terus pikir yang buruk. Selama belum ada bukti, kita diam. Kita jaga. Kalau keadaan makin parah… kita cari jalan.”
Nayara menatap adiknya, air mata membuat matanya berkilau. “Jalan apa, Dim? Mau lari lagi? Sampai kapan?”
Nadim terdiam.
Ia tidak punya jawaban.
Karena pada kenyataannya, ia pun merasa gentar. Tatapan Rendra tadi… bukan tatapan orang asing. Bukan tatapan donatur. Bukan tatapan bos perusahaan besar.
Itu tatapan seorang ayah yang tanpa sadar melihat dirinya sendiri pada anak lain.
Di dalam ruang tamu, Aruna menggantungkan jaket pada sandaran sofa.
“Papa,” katanya lirih, “Aru itu mirip Papa. Kenapa Papa marah?”
Rendra membuka mulut, tapi tidak ada kata yang keluar. Sebaliknya, ia hanya mengusap wajahnya, seperti ada sesuatu yang mengguncang pikirannya.
Karina memperhatikan dengan cemas. “Ren? Kamu kenapa?”
Rendra menggeleng. “Entah… anak itu… waktu aku lihat dia… ada sesuatu.”
Aruna mendekat, memegang tangan ayahnya. “Aru baik, Pa. Aku suka dia.”
Rendra menatap mata putrinya—mata yang sama dengan Aru.
Dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun… ia merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.