"Loh, Mas, kok ada pemberitahuan dana keluar dari rekening aku tadi siang? Kamu ambil lagi, ya, Mas?!"
"Iya, Mai, tadi Panji WA, katanya butuh uang, ada keperluan mendadak. Bulan depan juga dikembalikan. Maaf, Mas belum sempat ngomong ke kamu. Tadi Mas sibuk banget di kantor."
"Tapi, Mas, bukannya yang dua juta belum dikembalikan?"
Raut wajah Pandu masih terlihat sama bahkan begitu tenang, meski sang istri, Maira, mulai meradang oleh sifatnya yang seolah selalu ada padahal masih membutuhkan sokongan dana darinya. Apa yang Pandu lakukan tentu bukan tanpa sebab. Ya, nyatanya memiliki istri selain Maira merupakan ujian berat bagi Pandu. Istri yang ia nikahi secara diam-diam tersebut mampu membuat Pandu kelimpungan terutama dalam segi finansial. Hal tersebut membuat Pandu terpaksa harus memutar otak, mencari cara agar semua tercukupi, bahkan ia terpaksa harus membohongi Maira agar pernikahan ke duanya tidak terendus oleh Maira dan membuat Maira, istri tercintanya sakit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KUKIRA TAKSI,TERNYATA,,,,!!
Dengan ditemani salah satu pegawai kelurahan. Aku pun menuju ke rumah sakit di mana Zahra dirawat. Dengan kondisiku yang sekarang aku tak mungkin pergi sendirian. Bahkan, charger ponsel pun entah ke mana dan mobil pun aku tak ada.
Di dalam mobil aku terus merutuki diriku sendiri, yang tidak becus mengurus keluarga yang bahkan hanya tinggal satu-satunya. Lalu tanganku meremas ujung hijab saat teringat akan lelaki yang sudah barang tentu memiliki andil besar dalam penderitaan kami. Afrizal Pandu Permadi!
Jika saja dia tidak mengurungku hingga berbulan-bulan, jika saja dia membiarkan aku untuk tetap tinggal di sini, pasti semua tidak akan seperti ini. Lalu aku pun mendesah lemas, saat menyesali perbuatanku yang menentang keinginan Mas Pandu untuk tetap bersama tanpa perdebatan. Seandainya aku tahu akhirnya akan seperti ini. Mungkin aku tidak akan bersi keras untuk berpisah. Asal aku masih bisa melihat Bude, aku rela menahan sakitnya dimadu, asal Bude tidak meninggalkan aku. Ya Allah, benarkah ini juga salahku?!
"Kenapa Tuhan, kenapa harus aku yang mengalami semua ini?!" ujarku dalam hati seraya meremas kuat ujung hijabku.
"Sudah sampai, Mbak,"
celetuk lelaki yang mengantarku. Tanpa menunggu aba-aba, aku pun langsung membuka pintu dan bergegas masuk ke dalam gedung rumah sakit itu.
"Bapak bisa kembali, terima kasih," ujarku seraya terus berlari.
"Pasien atas nama Zahra, Mbak," tanyaku pada bagian informasi.
"Anak-anak? Korban kebakaran?!" tanyanya padaku.
"Iya." Seraya mengangguk cepat aku aku menjawab.
"Ada di ruang anak nomor 001."
"Makasih."
Tanpa pikir panjang aku pun melangkah cepat menuju ruangan tersebut. Kebetulan rumah sakit ini adalah rumah sakit di mana ayah dulu di rawat bahkan hampir setiap bulan ayah di rawat di tempat ini sampai akhirnya menghembuskan napas terakhir di sini, sehingga aku tak perlu bertanya tempat dan letak ruangan Zahra ada di mana Aku hanya membutuhkan nomor ruangan untuk lebih jelasnya. Aku sudah hafal betul karena memang dulu Zahra juga periksa ke dokter anak dan berlangganan di tempat ini setiap alergi yang ia derita kambuh.
Kupegang gagang pintu lalu membukanya begitu aku sampai di depan ruangan yang sudah diberitahukan.
"Zahra,"
panggilku dengan napas terengah-engah setelah berlari cukup lama karena ruangan kebetulan ada di lantai dua.
Zahra yang kini terbaring dengan dipasang oksigen sontak menoleh ke arahku.
"Bunda ...."
tangisnya pecah seiring dengan jatuhnya air mataku. Aku berlari mendekat, lalu merengkuhnya.
"Zahra ... maafkan Bunda, Sayang,"
ujarku terisak menahan sesak saat melihat kondisi Zahra.
Membayangkan betapa takutnya dia ketika melawan api sendirian, sebelum ada yang berhasil menolongnya.
"Bunda ke mana aja...,"
rengeknya lalu terbatuk-batuk.
Kuurai pelukan Zahra perlahan untuk memastikan kondisi Zahra yang tengah terbatuk.
"Sayang, yang mana yang sakit?"
tanyaku sambil mengusap dadanya pelan.
"Bu, Zahra masih harus banyak istirahat. Dia terlalu banyak menghirup asap."
Seloroh sorang perawat wanita, yang bahkan aku tak menyadari bahwa dia ada di sini.
Aku mendongak menatap ia yang memberi peringatan.
"Kenapa tiga hari masih dipasang oksigen? Apa kondisinya sangat buruk?"
"Kondisinya naik turun. Untuk lebih jelasnya Ibu
tanya sama Dokter Sean. Dokter anak yang menangani Zahra saat ini. Biasanya jam segini sudah datang menemani Zahra. Cuma mungkin ada keterlambatan."
Sean? Jadi yang dimaksud dokter oleh Pak Hadi tadi itu dokter anak yang menangani Zahra?
"Sus, tapi anak saya ini biasa ditangani sama Profesor Wisnu. Bolehkah saya minta pergantian dokter?"
Aku hanya ingin yang terbaik untuk Zahra. Profesor Wisnu adalah yang paling tahu tentang riwayat kesehatan Zahra. Selain itu dia juga sudah senior. Sehingga aku lebih mantap jika dia yang menangani Zahra untuk saat ini.
"Maaf, Profesor Wisnu sudah Purna tugas. Karena memang usianya sudah memasuki Purna tugas bahkan sudah beberapa tahun lalu. Sebetulnya sudah sejak dulu beliau mengajukan. Namun, berhubung pengganti belum ada maka beliau harus tetap bertugas. Berhubung sekarang sudah ada yang menggantikan, maka beliau sudah tidak lagi bertugas. Dokter Sean juga bagus, kok, Bu."
"Tapi ...."
"Ya udah, Sus, kalau keluarga pasien nggak mau ditangani sama saya. Jangan dipaksa, biar saja kalau mau pindah rumah sakit,"
ujar seseorang menyergah ucapanku. Dahiku seketika mengerut, mendengar suara dengan gaya sedikit sengak itu yang sedikit familiar. Tapi aku tak begitu mengingat, hanya gayanya seperti tak asing bagiku.
"Eh, Dok."
Suster berseru seraya menatap ke arah
pintu lalu detik selanjutnya menundukkan sedikit badan dengan raut sungkan.
Melihatnya demikian, aku pun segera menoleh ke arah pintu.
Degh!
Degh!
Degh!
Hantaman keras seolah menghantam dadaku ketika kulihat dokter ingusan itu lagi-lagi ada di hadapanku.
Meskipun sudah berbulan-bulan kejadian memalukan itu berlangsung, namun aku masih mengingat betul semua yang ada pada dirinya. Rambut, mata, alis, hidung, bahkan kulit itu masih tergambar jelas di otakku hingga detik ini.
Mataku membulat, mulutku pun sama, seolah sudah tidak bisa lagi digerakkan, meskipun sekuat tenaga aku mencoba, lidahku tetap terasa kaku. Ya, aku tercekat melihat dia datang ketika hidup sedang capek-capeknya.
Takdir sialan apa lagi yang ada di hadapanku, Tuhan!
Bahkan dalam benakku, Dokter Sean itu adalah seorang wanita, tapi kenapa harus dia?
Ia berjalan mendekatiku, lalu melewati aku yang masih membeku.
"Banyak lalat berkeliaran, mingkem kalau nggak mau sarangnya pindah tempat ke mulut Anda,"
bisiknya kala melewatiku seolah sedang mengejekku.
Seketika mulutku terkatup rapat. Lalu aku berbalik badan ke arah Zahra. Namun, wajahku harus kembali memanas karena malu saat aku mendapati suster yang tengah berdiri di hadapanku itu terlihat menertawakan aku setelah mendengar ucapan dokter ingusan yang mengejekku tadi.
"Zahra, masih seseknya?" tanya dokter setelah melepas stetoskop menjadi kalung.
"Enggak Om Dokter. Bunda Zahra sudah datang jadi Zahra sembuh," celoteh Zahra lalu tersenyum ke arahku.
"Bunda?!" tanya Dokter Sean dengan dahi berkerut.
Sepertinya dia belum sadar siapa yang ada di sini sekarang.
Dalam hati aku tersenyum bangga.
Zahra pun lalu mengangguk. "Iya, Om Dokter, kenalin ini Bunda Zahra,"
kata Zahra seraya menunjuk ke arahku. Dokter itu pun menoleh ke arahku kemudian menegakkan badan yang sebelumnya membungkuk menjadi berdiri tegak seraya menatapku..
"Perkenalkan, Maira. Bunda Zahra."
Kuulurkan tangan memperkenalkan diri. Tak lupa pula senyuman ramah aku berikan sebagai tanda terima kasih.
Tapi, ia tak menyambut uluran tanganku.
"Nggak perlu berbasa-basi. Bisa bicara, mari ikut saya!"
Ia menepis tanganku, melewatiku begitu saja. Aku terperangah, tak percaya dengan apa yang baru saja ia lakukan.
"Nggak sopan bener dokter ini?!"
ujarku dalam hati seraya menghempaskan tanganku. Lagi-lagi suster itu menertawakan meski pelan. Membuatku semakin kesal.
"Sebentar ya sayang. Bunda bicara sama dokter,"
pamitku lembut pada Zahra. Ia mengangguk lalu tersenyum manis sekali. Senyuman yang sudah sangat lama tak pernah kulihat lagi karena memang tak pernah saling bertemu.
"Iya, Bunda."
"Suster, boleh saya titip Zahra sebentar?"
"Oh, iya, silahkan. Lebih cepat lebih baik sebelum orangnya naik pitam, soalnya rada ...."
"Gila?"
Aku menyergah bahkan tanpa bisa mengontrol ucapan karena masih sebal.
"Astaga, bukan. Galak."
"Oh, ya udah, saya permisi. Da... Zahra."
Kuikuti langkah panjang Dokter Sean. Cukup jauh kami berjalan namun ia tak kunjung berhenti juga.
"Dok, itu ruangannya. Kenapa terus, nggak berhenti?"
tanyaku saat kami sampai di ruang dengan tulisan dr. Sean Mahawira. H, SP.A namun ia justru melewatinya.
Lalu mau ke mana dia membawaku?
"Dok, dok, tunggu deh. Ini mau ke mana?"
tegasku menghentikan langkah, karena hal ini sudah cukup menimbulkan pertanyaan besar.
Ia terus berlalu tanpa menghiraukan pertanyaanku,
kini jas berwarna putih itu ia tanggalkan dan hanya tersisa kaos kerah berwarna hitam yang membuatku teringat akan seseorang.
"Eh, Dok. Tunggu."
Aku kembali berseru lalu mengikuti lagi langkah cepat yang kini terlihat menuju parkiran itu. Ya, dia menuju parkiran. Dengan terpaksa aku mengikuti, khawatir mungkin ada hal penting mengenai kesehatan Zahra yang ingin dia sampaikan padaku.
Beberapa orang terlihat menyapa, namun ia hanya membalas dengan senyuman samar.
Sampai di parkiran ia pun masuk ke sebuah mobil.
"Masuk!"
serunya saat aku hanya berdiri di samping mobil sambil mengamati detail mobil yang tak asing bagiku. Perasaan ini pun mulai tak enak.
"Saya?!"
Aku menunjuk ke arah dada sendiri memperjelas maksud dari ucapannya.
Ia mengangguk. Aku pun segera masuk.
"Kok ...."
Aku semakin gelagapan saat kulihat mobil begitu berantakan terutama di bagian belakang, tissue berserakan di mana-mana, botol air mineral kosong pun ada di bangku belakang. Semakin tak enak, netraku pun menyisir ke sudut lain di bagian depan dan kulihat topi hitam beserta masker tergeletak di dashboard depan.
"Mati,aakuuu"
gerutuku dalam hati. Dugaanku benar, aku sudah salah naik taksi. Itu bukan taksi melainkan .... "Ah,bodohnya Maira. Pandu saja ditangisi sampe nggak tau mana taksi mana mobil malaikat pencabut nyawa," rutukku dalam hati pada diri sendiri.
Aku tersenyum sungkan menatap dokter yang saat ini menatap lurus ke arah depan.
"Ku-kurang tarifnya atau saya suruh bersih-bersih mobilnya?" tanyaku terbata.
"Jadi, Anda ibunya Zahra? Yang tega meninggalkan orang tua yang sedang terbaring sakit bersama anak kecil sendirian di rumah? Ponsel mati, padahal kami kalang kabut mencari? Kalau tidak sanggup mengurus, harusnya titipkan saja ke panti,"
ujarnya tanpa basa-basi dan menusuk langsung ke hati. Seketika jantungku berdebar cepat kala mendengar
ucapan dokter yang terdengar menyalahkan, bahkan tanpa bertanya bagaimana cerita sebenarnya.
Aku menghela napas dalam seraya terus menyatukan kata sabar.
"Maaf, itu urusan pribadi saya, tidak perlu ikut campur. Tugas Anda hanya merawat Zahra dan saya membayarnya."
Sebisa mungkin aku menurunkan tekanan yang sebetulnya sudah sangat membuncah di dalam sini, namun, aku sadar bahwa orang hanya akan berbicara sesuai apa yang ia lihat. Itu manusiawi dan aku mengerti.
"Masih saja bersifat langit. Sombong. Ya, saya tau Anda sultan. Semua kamu ukur dengan uang. Tapi, ini masalah kemanusiaan. Ribuan kali kami menghubungi, ratusan kali kami mengirim pesan dan puluhan kali saya menelusuri kota jakarta yang meraka sebutkan ada kemungkinan kalian ada di sana, hanya demi keselamatan anak kecil yang setiap hari memanggil nama Maira.
Semua tidak bisa diukur dengan uang!" tukasnya dengan nada tinggi.
"Cukup! Cukup!"
Akhirnya amarahku pun tak bisa aku bendung dan meledak dengan teriakan cukup keras.
"Anda tahu, Dok! Berbulan-bulan saya tidak memegang ponsel ini?"
Kutunjukkan ponsel yang saat ini masih dalam keadaan mati.
"Bahkan mengisi dayanya pun saya nggak bisa. Anda tahu yang Anda anggap Sultan adalah dia yang melarang saya untuk bertemu mereka? Tuduhan Anda benar-benar keji. Seharusnya berpikir dan bertanya sebelum Anda melempar tuduhan seenaknya," jelasku dengan nada tinggi.
Ia mengerutkan dahi menatapku.
"Tapi, percuma saya ngomong sama orang yang nggak punya perasaan seperti Dokter."
"Kalau memang tidak ada yang perlu dibahas tentang Zahra. Saya permisi! Dan ini uang untuk membersihkan mobil. Cari orang untuk membersihkannya, bukan karena saya sultan. Tapi, saya cukup tau diri!"
ujarku meletakkan dua lembar uang seratus ribuan dia atas dashboard mobil.
Ia masih terdiam namun tatapannya tak beralih dariku.
"O ya. Ini uang kopi sekaligus makanan yang rusak karena saya! Permisi!"
Lagi, kukeluarkan dua lembar uang seratus ribuan lalu bergegas keluar meninggalkan dia yang terlihat masih mematung.
Aku tak mau berhutang. Untung uang gaji terakhirku masih ada untuk menyumpal mulut lelaki tak punya hati ini.