Naia Seora 25 tahun, pengantin baru yang percaya pada cinta, terbangun dari mimpi buruk ke dalam kenyataan yang jauh lebih mengerikan yaitu malam pertamanya bersama suami, Aryasatya, berakhir dengan pengkhianatan.
Naia dijual kepada pria bernama Atharva Aldric Dirgantara seharga dua miliar. Terseret ke dunia baru penuh keangkuhan, ancaman, dan kekerasan psikologis, Naia harus menghadapi kenyataan bahwa kebebasan, harga diri, dan masa depannya dipertaruhkan.
Dengan hati hancur namun tekad menyala, ia bersumpah tidak akan menyerah meski hidupnya berubah menjadi neraka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
Di antara hiruk-pikuk pasar Desa Pulosari yang ramai oleh suara tawar-menawar dan aroma rempah, seorang pria berdiri di bawah rindangnya pohon jambu dekat deretan penjual sayur. Pandangannya terpaku pada sosok perempuan yang tengah memilih tomat di lapak sederhana.
Perempuan itu adalah Naia Seora. Dia pendatang baru dari Surabaya yang memilih menetap di desa Pulosari.
Usianya sekitar dua puluh enam tahun, wajahnya lembut, kulitnya bersih tanpa riasan, dan senyum kecilnya mampu menenangkan pandangan siapapun yang melihat.
Hijab polos berwarna pastel membingkai wajahnya, menambah kesan teduh dan bersahaja.
Perutnya yang semakin membesar dan menonjol menandakan kehamilan empat bulan. Ia sesekali mengelus pelan bagian bawah perutnya seolah berbicara lembut pada janin yang dikandungnya.
Geraknya tenang, suaranya sopan saat berbincang dengan para pedagang yang tampak sudah mengenalnya sebagai juragan muda baik hati.
Pria itu berseragam polisi, diam-diam menahan napas. Ada sesuatu yang sulit dijelaskan. Bukan sekadar cantik yang terlihat oleh mata, tapi ketenangan dan keanggunan yang memancar dari cara Naia membawa dirinya.
Tidak ada kesombongan, tidak ada kepura-puraan yang terpancar di gerak gerik tubuhnya. Hanya seorang perempuan sederhana dengan aura yang menenangkan.
Ia melihat Naia membayar belanjaannya, menunduk sopan, lalu berjalan perlahan membawa tas kain berisi sayur dan buah-buahan bersama Damar yang selalu mendampinginya. Angin semilir membuat ujung hijabnya bergoyang lembut.
Dalam hati pria itu berucap lirih, “Cantik sekali bukan karena dandanan, tapi karena ketulusan yang terpancar dari setiap geraknya. Sayangnya sudah punya suami.”
Pandangan itu tetap mengikuti Naia hingga sosoknya menghilang di antara keramaian pasar desa yang mulai lengang diterpa matahari pagi.
Mobil melaju pelan menyusuri jalan desa yang masih berkabut tipis. Di kursi belakang, Naia tampak lahap menyantap sate maranggi yang baru saja mereka beli dari pasar. Aroma bumbu bakar bercampur dengan harum kecap manis memenuhi kabin mobil.
Sambil mengunyah, ia melirik ke arah sopirnya. “Damar, mulai sekarang jangan panggil aku Nona lagi. Panggil saja Mbak. Rasanya canggung saja kalau kamu terus-terusan manggil aku Nona Muda.”
Damar sempat kikuk, tangannya refleks mengusap leher seakan menutupi rasa salah tingkahnya.
“Baiklah, Mbak… kalau itu permintaannya.” ujarnya sambil Ia tersenyum kecil, masih agak canggung dengan perubahan panggilan itu.
Untuk mengalihkan suasana, Damar bertanya sambil tetap fokus mengemudikan roda empatnya.
“Ngomong-ngomong, kita langsung pulang atau Mbak mau singgah ke tempat lain dulu?” tanyanya Damar dari balik kemudi.
Naia berhenti mengunyah, memandang keluar jendela sebentar. “Hmm… kita ke peternakan saja. Pak Budi bilang hari ini panen telur. Aku juga mau lihat kambing dan sapi perah yang baru melahirkan. Rasanya aku harus ikut memastikan semuanya berjalan baik.”
Damar mengangguk mantap. “Baik, Mbak. Kita langsung ke sana.”
Naia tersenyum puas, lalu kembali menyantap sate di tangannya.
“Enak sekali, Dam. Besok kalau ke pasar lagi, kita harus beli yang lebih banyak. Aku bisa makan ini setiap hari.” pungkasnya.
Damar terkekeh. “Hati-hati, Mbak. Nanti malah ketagihan sate maranggi, lupa sama lauk di rumah kasihan masakan Mbak Halimah nggak laku entar.”
Naia tertawa renyah, suasana mobil pun terasa hangat. Jalan desa yang bergelombang tak lagi terasa berat, sebab percakapan ringan di antara mereka membuat perjalanan lebih menyenangkan.
Mobil berhenti di depan gerbang kayu besar yang bertuliskan Peternakan Sejahtera. Beberapa pekerja yang sedang mengangkut karung pakan langsung melambaikan tangan ketika melihat Naia turun dari mobil.
“Assalamualaikum, Juragan!” seru Pak Budi, mandor yang sudah lebih dulu menunggu di halaman.
Wajahnya sumringah, meski keringat menetes di pelipisnya ketika melihat Naia turun dari mobilnya.
Naia buru-buru mengangkat tangan. “Waalaikumussalam, Pak Budi. Jangan panggil juragan, panggil Mbak saja. Kalau juragan kedengarannya tua sekali,” ujarnya sambil tertawa kecil.
Pekerja lain ikut tergelak mendengarnya. Seorang pemuda bernama Jaka yang masih berusia dua puluhan menyahut,
“Waduh, kalau Mbak Naia dibilang tua, berarti kami semua kakek-kakek dong.” candanya Jaka.
Naia tertawa lepas hingga memegangi perutnya yang membuncit. “Hahaha, jangan suka membolak-balikkan kata, Jaka. Ayo tunjukkan mana telur hasil panen hari ini.”
Pak Budi segera mengajak mereka menuju kandang ayam petelur. Di dalam, beberapa keranjang penuh dengan telur cokelat tersusun rapi.
“Alhamdulillah, Mbak. Hari ini panen lumayan banyak dari kemarin. Sekitar delapan ratus butir,” jelas Pak Budi sambil menepuk pelan keranjang di sampingnya.
Naia menatap keranjang-keranjang itu dengan mata berbinar. “Masya Allah, banyak sekali. Kita bisa pasarkan ke warung-warung desa, sebagian lagi kirim ke kota. Jangan lupa sisakan untuk karyawan, ya.”
Pekerja yang lain saling pandang lalu tersenyum bangga karena mendapatkan telur gratis padahal harga telur saat ini melambung tinggi.
Salah satu ibu-ibu yang membantu memungut telur berkomentar, “Mbak Naia ini beda dengan juragan kebanyakan. Belum lama tinggal di sini, tapi sudah memikirkan orang-orang desa juga.”
Naia hanya tersipu, menunduk sebentar sebelum menjawab lembut, “Kalau usaha ini bisa jalan, itu juga karena berkat kerja keras dan usaha bapak-ibu semua. Saya cuma numpang belajar.”
Dari kandang ayam, rombongan bergerak ke kandang sapi. Seekor induk sapi perah baru saja melahirkan, anaknya terlihat gemetar mencoba berdiri.
Naia langsung berjongkok meski sedikit kesulitan karena perutnya yang membuncit, meski Damar buru-buru menegurnya, “Hati-hati, Mbak, jangan terlalu dekat. Induknya bisa saja agresif.”
Naia tersenyum kecil. “Tenang saja, Dam. Aku hanya ingin melihat lebih dekat.”
Pak Budi ikut menjelaskan, “Anak sapi ini sehat, Mbak. Lahir tadi subuh. Kalau dirawat baik, insha Allah beberapa tahun lagi bisa jadi penghasil susu terbaik.”
Naia menepuk tangan, wajahnya berseri-seri. “Alhamdulillah! Rasanya seperti menyambut keluarga baru. Tolong beri perhatian lebih, ya. Jangan sampai kurang gizi atau sakit dan berikan namanya Nur alam yah.”
“Siap, Mbak!” jawab para pekerja serempak.
Suasana pun terasa hangat, penuh tawa dan semangat. Naia berdiri di tengah-tengah mereka, bukan sekadar sebagai juragan muda, melainkan bagian dari keluarga besar yang sedang merintis harapan di tanah Pulosari.
Siang itu, setelah puas berkeliling peternakan, Naia duduk di bale-bale bambu sambil menyeruput segelas susu segar.
Beberapa pekerja ikut nimbrung, suasana santai membuat percakapan mengalir bebas.
“Mbakyu Naia ini hebat sekali,” celetuk Bu Marni, salah satu pekerja senior. “Masih muda, sudah jadi juragan, apalagi sebentar lagi bakal punya anak. Suaminya pasti bangga sekali.”
Ucapan itu membuat Naia tercekat. Senyum yang semula merekah perlahan meredup. Tangannya refleks mengusap perut yang kian membulat.
Damar melirik sekilas, menyadari perubahan wajah majikannya. Namun ia memilih diam, memberi kesempatan Naia menjawab sendiri.
Naia berusaha menanggapi dengan senyum tipis. “Iya, Bu… doakan saja semoga anak ini sehat.”
Tiba-tiba Jaka menimpali dengan polos, “Tapi kenapa jarang sekali kami lihat suami Mbak? Sibuk di kota, ya?”
Pertanyaan itu seperti anak panah yang tepat mengenai jantungnya. Dadanya sesak, matanya berusaha tetap tenang meski dalam hati kenangan pahit bermunculan secara bergantian seperti rekaman sebuah kaset kusut.
Ia teringat dengan jelas malam pernikahannya bersama Atharva Aldric Dirgantara, pria muda pewaris keluarga konglomerat.
Semua orang mengenalnya sebagai CEO kaya raya, tampan, berwibawa, perfeksionis, tapi kejam terhadap lawan bisnisnya. Namun bagi Naia, ia hanyalah lelaki asing yang tiba-tiba menjadi suaminya.
Bukan karena cinta. Bukan pula karena pilihan. Tapi karena Aryasatya Wijaya suami sahnya saat itu telah menjual dirinya.
“Lima miliar.”
Jumlah itu terngiang di kepalanya. Harga yang dipatok oleh Aryasatya kepada Atharva hanya untuk menyerahkan istrinya sendiri di hari pertama pernikahan.
Naia tak pernah lupa betapa hancurnya perasaannya saat mendengar kalimat itu. Seolah dirinya bukan manusia, melainkan barang dagangan.
Atharva menerima pernikahan itu dengan wajah dingin. Ia tidak pernah menuntut cinta, hanya sekedar status. Namun, dari semua yang pernah menjadi istrinya, satu hal yang selalu sama ia tidak menginginkan keturunan.
Dan ketika Naia mengetahui kebenaran itu, rasa takut bercampur sakit hati membuatnya kabur di hari kedua.
Suara Bu Marni kembali menyentakkan lamunannya. “Mbak? Mbak Naia kenapa melamun?”
Naia buru-buru tersenyum, meski matanya berkaca-kaca. “Tidak apa-apa, Bu. Hanya lelah sedikit. Yang penting sekarang kita jalani saja hari ini dan moga-moga usaha kita semakin lancar dan berkah.”
“Amin ya rabbal alamin,” jawab semuanya kompak.
Damar segera berdiri, mencoba mengalihkan suasana. “Baik, kalau begitu, ayo kita persiapkan makan siang. Panen telur dan susu segar sudah menunggu untuk diolah.”
Para pekerja pun bergegas, meninggalkan Naia yang masih duduk sambil mengusap perutnya.
Di balik senyum yang ditunjukkan, hatinya kembali diaduk-aduk oleh masa lalu yang pahit, sebuah rahasia yang hanya ia simpan sendiri.
Malam itu, langit Desa Pulosari tampak pekat. Hanya cahaya rembulan yang temaram menembus jendela kamar Naia, menimpa wajah lembutnya yang sedang termenung di atas sajadah.
Usai menunaikan salat Isya, ia masih duduk bersimpuh, kedua tangannya menggenggam tasbih kecil berwarna putih gading hadiah dari almarhum ayahnya sebelum berangkat ke Jakarta beberapa bulan yang lalu.
Udara malam terasa dingin, namun hatinya jauh lebih dingin.
Sudah berbulan-bulan ia mencoba melupakan masa lalunya, tetapi nama Tuan Muda Atharva masih saja hadir di setiap doa dan denyut rindu yang tak diinginkan.
“Ya Allah…” ucapnya lirih, suaranya bergetar.
“Entah mengapa aku begitu sulit melupakan Tuan Muda Atharva. Apa karena saat ini aku sedang mengandung anaknya?” tanyanya yang kebingungan dengan pikiran dan hatinya akhir-akhir ini.
Naia menghela nafasnya dengan panjang, matanya berkaca-kaca. Ia menatap perutnya yang mulai membesar, menyentuhnya lembut seolah berbicara pada buah hati yang belum lahir.
“Anakku,” bisiknya dengan suara serak, “semoga ayahmu diberi hidayah oleh Allah. Semoga ia bertaubat, memperbaiki dirinya, dan tidak lagi mengulang kesalahan yang sama.” lirihnya.
Butiran air mata jatuh perlahan ke atas sajadah. Naia tersenyum getir di sela isaknya. Dalam hati kecilnya, ia masih menyimpan harapan yang tak berani ia sebut sebagai cinta hanya secuil doa untuk seorang lelaki yang pernah menghancurkannya, namun juga memberinya kehidupan baru melalui janin di rahimnya.