Tak ada angin, tak ada hujan tiba-tiba, dari balik kerumunan jemaah masjid yang baru saja menyimak tausiyah dzuhur, muncullah seorang gadis berwajah bening dengan sorot mata sekuat badai.
Di hadapan ratusan pasang mata, ia berdiri tepat di depan sang ustadz muda yang dikenal seantero negeri karena ceramahnya yang menyentuh hati.
"Aku ingin menikah denganmu, Ustadz Yassir," ucap Zamara Nurayn Altun, dokter magang berusia dua puluh satu tahun, anak dari keluarga terpandang berdarah Turki-Indonesia.
Seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Para jemaah terdiam. Para santri tertegun. Dan sang ustadz hanya terpaku, tak sanggup berkata-kata. Bagaimana bisa, seorang gadis yang tak pernah ia kenal, datang tiba-tiba dengan keyakinan setegas itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 26
Jakarta rumah dua lantai itu menyimpan letih dan cinta dalam diam. Tapi ribuan kilometer dari sana, di sebuah mansion mewah bergaya neoklasik di kawasan elit Berlin, suasana sangat berbeda.
Langit musim panas Eropa menyinari halaman belakang mansion keluarga Steinbach yang dipenuhi tawa para kolega bisnis dan kerabat berdarah campuran Asia-Eropa.
Di sana berdiri seorang pria paruh baya yang karismatik, dengan rambut perak dan sorot mata tajam dia adalah Emir Steinbach, taipan minyak dan kesehatan, ayah kandung Zamara.
“Ladies and Gentlemen, today is not just another celebration,” ucap Emir dalam bahasa Inggris yang kaku namun penuh wibawa. “Today, I introduce to you the heirs of the Steinbach Legacy my grandsons, Thaimur and Zhamir.”
Tepuk tangan menggema.
Kamera para jurnalis undangan dari media bisnis dan gaya hidup elit berlomba menangkap momen. Di pelataran marmer yang luas, berdiri Zamara dalam balutan gaun elegan biru gelap, menggendong kedua bayi laki-lakinya yang tampak tenang, seolah belum tahu betapa rumit dunia mereka nanti.
Wajah Zamara tenang, tapi bola matanya redup. Sorotnya tak sama seperti saat ia menimang Miera. Tak ada nyanyian Prancis yang lirih, tak ada peluk lembut penuh makna. Hanya rutinitas, formalitas dan topeng sosial.
“Zamara, kau akan memimpin cabang medis Steinbach Group mulai bulan depan,” kata Emir mendekat. “Aku sudah siapkan kantor dan tim terbaik.”
Zamara menoleh pelan. “Aku belum tahu, Papi. Aku belum bisa pikirkan kerja sekarang.”
Emir menatap tajam. “Kau punya dua anak lelaki yang akan mewarisi kekuatan kita. Kau tidak bisa hidup seperti perempuan kampung yang menikah dengan guru ngaji dan tinggal di rumah kecil. Kau sudah kembali ke tempat yang seharusnya.”
Zamara menelan ludah. Ingin rasanya berteriak. Tapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya mengusap kepala bayi kembarnya dan membisikkan:
“Maafkan Ummi, sayang Miera... Ayah…” batinnya Zamara.
Sementara itu, di dalam ruangan perpustakaan mansion, Nyonya Sofia, istri kedua Emir yang berdarah Kazakh, menyaksikan acara itu dari balik tirai.
“Dia terlihat lelah. Lebih dari biasanya,” gumamnya pada Lucia, sekretaris pribadi.
Lucia menjawab pelan, “Dia seperti hidup tapi tidak benar-benar hadir, Bu. Sejak kembali dari Indonesia dia sangat berubah.”
Sofia menghela napas. “Karena dia tahu, pulang ke rumah ini tidak selalu berarti kembali ke pelukan. Terkadang, itu hanya jebakan dalam sangkar emas.”
Malamnya, saat pesta usai dan para tamu mulai meninggalkan mansion, Zamara berdiri sendirian di balkon lantai atas, menatap langit yang berbeda.
Ia memeluk erat kedua bayinya. Tangannya gemetar. Di sisi ranjang ada sebuah kotak kecil berisi surat-surat termasuk satu dari pengacara keluarga yang berisi hak asuh, dan satu lagi tiket pulang ke Jakarta.
Ia menatapnya lama.
Kemudian membuka ponselnya, membuka folder bernama “Miera”, dan memutar voice note miliknya sendiri.rekaman saat menyanyikan lagu Prancis yang dulu membuat Miera tertidur.
Tangisnya pecah pelan.
"Ya Allah... kalau Engkau izinkan aku pulang. Meskipun tidak ke rumah tapi ke hati yang masih percaya padaku."
Dan pada saat yang hampir bersamaan di Jakarta, Yassir berdiri sendiri di kamar Miera, menggenggam kain kecil yang masih mengandung wangi Zamara. Hati mereka saling memanggil, walau dipisahkan benua.
Pagi di Berlin, cahaya mentari menelusup lembut lewat tirai tebal kamar bergaya klasik Eropa. Suara burung-burung kecil dari taman belakang terdengar samar, menyatu dengan derik jam dinding yang berdetak pelan.
Pintu kamar Zamara terbuka perlahan. Dua perempuan muda masuk, langkah mereka tenang namun penuh kehati-hatian.
Laira dan Aqila keduanya mengenakan setelan kerja elegan dengan blazer hitam dan rok pensil, rambut ditata rapi. Meski darah campuran, wajah mereka lebih mencerminkan sisi Asia, dengan sorot mata lembut dan senyum sopan.
“Assalamualaikum, Mbak Zam,” sapa Laira pelan, berjalan mendekat ke sisi tempat tidur. “Maaf kami masuk tapi kita harus ambil keputusan hari ini.”
Zamara masih duduk di pinggir tempat tidur, mengenakan jubah tidur biru pucat. Di pelukannya, Thaimur dan Zhamir tertidur nyenyak.
Rambutnya terurai, matanya sembab, tapi tetap cantik seperti biasa cantik yang menyimpan terlalu banyak letih.
Aqila meletakkan tablet elektronik di meja kecil dekat cermin. “Ada dua jadwal penting pagi ini,” ucapnya. “Yang pertama, pertemuan direksi cabang medis Steinbach di Frankfurt. Yang kedua, jadwal operasi di rumah sakit pribadi kita. Tiga pasien salah satunya ibu hamil dengan risiko tinggi. Dokter lain tidak berani tangani kecuali Mbak Zam sendiri.”
Zamara tak langsung menjawab. Ia menatap kedua bayinya dengan lirih, lalu mengalihkan pandang ke jendela. Hening sejenak, hanya terdengar suara napas bayi-bayi itu yang teratur.
Laira duduk di kursi dekat tempat tidur, suaranya lebih lembut, seolah ingin menyentuh hati yang beku. “Kami bisa bilang pada perusahaan kalau Mbak Zam sedang cuti. Tapi untuk rumah sakit semua orang sudah nunggu. Dan nama Mbak Zam bukan cuma jadi simbol. Mereka percaya nyawa itu bisa tertolong kalau Mbak Zam yang turun tangan.”
Zamara mengusap dahi Zhamir yang mulai menggerakkan bibir mungilnya seolah mencari susu. Ia tersenyum tipis, lalu menatap Laira dan Aqila bergantian.
“Aku lelah,” katanya lirih. “Bukan hanya fisik tapi hati dan pikiranku juga.”
Aqila menatapnya, lalu bicara pelan. “Mbak Zam... semua orang di sini hormat sama Mbak. Tapi mereka juga tahu sejak Mbak balik dari Indonesia, Mbak bukan lagi orang yang sama.”
Zamara tersenyum kecil, kecut. “Karena aku memang nggak pernah benar-benar balik,” gumamnya. “Tubuhku di sini, tapi jiwaku masih di rumah kecil itu. Di tempat yang penuh suara adzan, suara tawa Miera dan peluk lelaki yang nggak pernah nuntut apa-apa kecuali keikhlasan.”
Laira tampak menahan napas. Suara jam dinding kembali terdengar. Zamara berdiri pelan, meletakkan bayi-bayinya di atas tempat tidur dengan hati-hati. Ia berjalan ke arah jendela, membuka tirai lebar-lebar. Cahaya mentari menyapu wajahnya yang pucat.
“Kalau hari ini aku ke rumah sakit itu bukan karena aku kuat. Tapi karena aku ingin menyelamatkan satu nyawa lagi,” ujarnya sambil memejam mata.
“Mungkin kalau aku bisa menolong satu ibu... Allah akan lunakkan jalan pulangku juga.”
Aqila berdiri dan memegang bahu Zamara lembut. “Kalau Mbak butuh bantuan, kami siap. Bukan cuma sebagai staf tapi sebagai teman yang tahu Mbak nggak baik-baik saja.”
Zamara mengangguk. “Siapkan mobil. Aku butuh satu jam. Biar aku siapin anak-anak dulu,” ucapnya.
Laira dan Aqila saling pandang, lalu mengangguk. “Baik, Mbak. Kami tunggu di bawah,” sahut mereka hampir bersamaan, sebelum keluar dari kamar dengan langkah pelan.
Zamara menatap dirinya di cermin. Ia menyentuh wajahnya sendiri, mencoba tersenyum tapi tak berhasil.
“Zamara Nurayn Altun kamu perempuan yang Allah pilih untuk ujian ini. Bertahan sebentar lagi semoga Allah bukakan jalan pulang.”
Ia membuka laci meja rias, mengambil selembar foto Miera dan Yassir yang diselipkan di balik parfum kecil. Ia mengecup gambar itu.
“Sabar ya, sayang... Ummi belum bisa pulang. Tapi doa kita pasti bertemu di tengah.”
**
Di Jakarta, pagi yang sama...
Yassir berdiri di halaman belakang sambil menggendong Miera. Ia tak pernah tahu kalau di belahan bumi lain, perempuan yang ia cintai sedang menatap langit yang sama dengan doa yang sama.
“Yassir Qayyim, kamu harus tetap hidup baik karena Zamara nggak pernah benar-benar pergi,” bisiknya dalam hati.
“Kadang yang ingin pulang bukan tubuh, tapi jiwa. Dan pulang yang sesungguhnya adalah ketika doa dua hati bertemu di langit yang sama.”
Semoga saja kamu tidak membuat ustadz Yassir kecewa , kamu harus hati" dgn Aisyah