Hai.. aku balik nulis lagi setelah menghilang hampir 4 tahun. semoga kalian bisa menemukan serta bisa menerima kehadiran karya ini ya...
Rania dan Miko, bukan pasangan masalalu. Mereka saling membenci. Rania memiliki sifat jahat di masa lalu. Namanya di blacklist hingga jatuh sejatuh-jatuhnya, dibuang ke tempat asing, lahirkan anak kembar hingga menikah dengan orang yang salah, siksaan mental dan fisik ia terima selama 4 tahun. Menganggap semua itu Karma, akhirnya memilih bercerai dan hidup baru dengan putra-putrinya. Putranya direbut ibu Miko tanpa mengetahui keberadaan cucu perempuan, hingga berpisah bertahun-tahun. Si kembar, Alan-Chesna tak sengaja bertemu di SMA yang sama.
Gimana kisah lengkapnya?
Selamat membaca yaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Malam makin larut. Setelah percakapan dengan Miko. Alan kembali ke kamarnya, merapikan buku-bukunya, sementara itu, pintunya terbuka seiring suara ketukan.
“Kak Alan…” suara Lila pelan, nyaris seperti bisikan.
Alan menoleh. “Hm?”
“Lila mau tanya sesuatu… tapi jangan marah ya.”
Alan tersenyum samar. “Aku nggak akan marah. Tanya aja.”
Lila menunduk sebentar, jemarinya memainkan ujung kuku. “Mama kandung kakak,… dia…orangnya gimana?”
Pertanyaan itu membuat Alan tercekat, wajahnya seketika muram. Ia menatap ke lantai seolah mencari jawaban yang tepat. “Dia… baik banget,” jawab Alan akhirnya, suaranya bergetar halus. “Mama selalu mikirin anaknya. nggak pernah capek kerja keras. Dia hangat, penyayang… dan… dia kuat banget. Bahkan kalau lagi sedih, Mama nggak pernah nunjukin di depan kita.”
Lila terdiam, matanya terlihat berbinar mendengar cerita itu. Ada rasa iri, tapi juga kagum. “Aku… jadi pengen kenal Mama kamu, kak Alan.”
Alan menoleh cepat, menatap adiknya. “Kenapa?”
Lila menarik napas panjang, suaranya tulus dan jujur. “Aku juga pengen punya Mama. Kadang… aku iri lihat teman-temanku yang bisa cerita ke mamanya, dipeluk, atau diajarin masak. Kalau Mama kamu sebaik itu, gimana kalau… Mama kamu aja yang jadi Mama kita?”
Alan menatap dengan alis berkerut. Ia tahu Lila polos, belum mengerti rumitnya kenyataan.
Alan berusaha tersenyum, meski senyum itu lebih mirip luka yang disembunyikan. “Lila… itu nggak semudah yang kamu pikir. Tapi… aku ngerti kenapa kamu ngomong gitu.”
Lila menatap wajah Alan, lalu tanpa sadar memeluk kakaknya. “Ga tau kenapa, rasanya Aku pengen keluarga kita lengkap, kak.”
Alan membalas pelukan itu. Dalam hatinya, ia berbisik lirih. Andai semua sesederhana itu.
___
Sore itu, setelah bel pulang sekolah berbunyi, Shenia langsung meraih lengan Chesna. “Hei, jangan pulang dulu. Aku butuh kamu, sekarang juga.”
Chesna sedikit bingung. “Butuh aku? Buat apa?”
Shenia tersenyum lebar. “Besok kan Kita mau ke pesta ulang tahun sepupu aku. Aku nggak bisa milih gaun sendirian. Jadi, ayo temenin aku ke butik.”
Chesna sempat ragu. “Eh… tapi aku kan…” ia menyadari dirinya bukan tipe anak yang suka pesta, apalagi soal gaun.
Shenia menggandeng tangannya lebih erat. “Jangan banyak alasan. Aku nggak mau ke sana sendirian. Lagian kamu juga harus punya penampilan yang oke. Masa iya datang ke pesta keluarga besarku cuma pakai seragam sekolah?”
Akhirnya Chesna ikut. Mereka berdua menuju sebuah butik yang cukup besar di pusat kota. Begitu masuk, Chesna sempat kikuk, tapi Shenia terlihat begitu luwes. “Coba yang ini, warna pastel cocok buat kamu,” ujar Shenia sambil menempelkan gaun biru muda ke tubuh Chesna.
Chesna menggeleng. “Kayaknya terlalu mencolok.”
Shenia menghela napas, dramatis. “Kamu ini ya… jangan minder. Kamu cantik, tau nggak? Pede aja kali.”
Chesna hanya tersenyum canggung, lalu menurut saat Shenia mendorongnya masuk ke ruang ganti. Beberapa menit kemudian, Chesna keluar dengan gaun sederhana berwarna krem.
Tanpa disangka, cahayanya justru muncul dengan sendirinya. Shenia sampai ternganga.
“Oh my God, Chesna… kamu kelihatan beda banget.”
Chesna langsung menunduk, pura-pura sibuk dengan penampilannya. “Jangan lebay, Shen.”
“Lebay apanya! Aku yakin semua orang bakal kaget lihat kamu di pesta nanti. Bahkan—” Shenia menahan kalimatnya, matanya berbinar nakal. “ bahkan Gideon sekalipun kalau sampai lihat.”
Chesna tercekat, cepat-cepat kembali masuk ke ruang ganti. “Apaan sih, Kamu,”
Shenia terkekeh puas. “Ga sabar untuk pesta besok.”
___
Pagi itu, koridor sekolah masih dipenuhi siswa yang bergegas menuju kelas masing-masing.
Alan baru keluar dari ruang guru, menenteng beberapa berkas. Matanya tanpa sadar menangkap sosok yang sangat ia rindukan, Chesna.
Gadis itu berjalan tak jauh darinya, rambutnya sedikit berantakan tertiup angin. Alan terdiam, rasa hangat sekaligus perih kembali menyeruak. Ia hampir memanggil nama itu… hampir.
Namun langkah Chesna justru makin cepat. Seolah menyadari keberadaan Alan, ia menunduk, pura-pura sibuk dengan buku di tangannya. Saat Alan melewati sisi yang sama, tak ada tatapan balik, tak ada senyum, hanya bayangan punggung yang menjauh.
“Chesna…” suara lirih Alan nyaris tak terdengar, tercekat. Ia mencoba memanggil, tapi tubuhnya membeku.
Chesna menggigit bibirnya kuat-kuat. Dalam hatinya, ada getar halus yang ingin menoleh, ingin menatap wajah saudara kembarnya itu. Tapi ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, tidak lagi berharap, tidak lagi menunggu pengakuan.
Alan berdiri kaku, memandang langkah itu hilang di ujung koridor. Ia tersenyum tipis, “Tak apa, begini saja dulu, Ches.”
___
Ruang musik siang itu, saat jam istirahat. Lampu neon redup menyorot deretan instrumen yang berjejer rapi. Alan mendorong pintu perlahan, memastikan tak ada siapa pun. Begitu yakin ruangan kosong, ia melangkah masuk dengan wajah tegang.
Jari-jarinya bergetar saat menyentuh tut piano. Ia duduk, menarik napas panjang, lalu mulai menekan tuts satu per satu. Nada rendah, berat, terdengar di awal, seperti menyalurkan sesak yang menumpuk di dadanya.
Kian lama, permainan pianonya berubah jadi ledakan emosi. Jemari Alan berlari cepat, tak teratur, menciptakan harmoni yang terdengar kacau tapi jujur. Setiap nada bagaikan teriakan yang tak bisa keluar dari mulutnya.
Air mata jatuh di punggung tangannya, bercampur dengan getaran musik. “Kenapa aku nggak bisa bilang kalau aku kenal dia? Kenapa aku harus berpura-pura asing di depan kembaranku sendiri?” gumam Alan parau.
Ia berhenti sejenak, memeluk dirinya sendiri, lalu kembali menghantam tuts lebih keras. Nada-nada itu berbaur dengan isakan tertahan, seperti potret luka yang tidak terlihat oleh siapa pun.
Tanpa ia sadari, pintu ruang musik terbuka sedikit. Seseorang berdiri di sana, diam-diam mendengarkan. Suara piano yang penuh amarah bercampur sedih itu membuat sosok di balik pintu menahan napas, bingung sekaligus tersentuh.
Alan tidak tahu ia sedang diperhatikan. Baginya, hanya ada dirinya, piano, dan luka besar yang terus menghantuinya.
Disana, Gideon berdiri terpaku di ambang pintu ruang musik yang setengah terbuka. Awalnya, ia hanya lewat tanpa niat. Tapi dentuman piano yang keras, kacau, penuh amarah itu menarik langkahnya.
Ia mengintip, dan matanya terbelalak. Alan, sahabat dekatnya, anak yang selalu terlihat tenang, sempurna, tak tersentuh, duduk di depan piano dengan wajah berantakan. Air matanya bahkan jatuh, pipinya basah, tubuhnya berguncang.
Gideon hampir tak percaya dengan yang dilihatnya. Alan, yang biasanya dingin dan sulit ditembus, kini terlihat benar-benar hancur.
“Kenapa harus sejauh ini…? Kenapa harus aku…? Kenapa aku nggak bisa ngomong jujur…” suara Alan pecah di antara deretan nada yang makin kacau.
Gideon mengepalkan tangan di balik pintu. Satu nama langsung terlintas di kepalanya. Chesna.
Ia ingat jelas bagaimana gadis itu berlari mengejar Alan beberapa waktu lalu, juga bagaimana wajahnya memerah ketika ditolak.
Gideon semakin yakin, penderitaan Alan ada hubungannya dengan cewek itu.
Dadanya terasa panas. Ada bara yang sulit dijelaskan. Gideon benci mengakui, tapi sejak hari pertama tabrakan fatal dengan Chesna, ia tahu hatinya goyah. Cewek itu berbeda. Tegas, kadang menyebalkan, tapi selalu berani berdiri tegak. Dan kini, melihat Alan terpuruk karena sesuatu yang diduga terkait Chesna, Gideon merasakan sesuatu yang menusuk lebih dalam.
“Jadi kamu juga…” gumamnya, lirih, penuh getir.
Alan tiba-tiba berhenti bermain, lalu menunduk di depan piano. Bahunya naik turun, menahan tangis yang belum reda.
Gideon mundur selangkah, menempelkan punggungnya ke dinding koridor. Kepalanya dipenuhi pertanyaan dan rasa cemburu.
Ia menggertakkan gigi. “Kalau benar semua ini karena Chesna… aku nggak akan tinggal diam, Al. Aku nggak tahu apa hubungan kalian, tapi aku juga nggak bisa pura-pura nggak peduli sama dia.”
Kali ini, Gideon merasa terjebak dalam lingkaran yang rumit. Persahabatannya dengan Alan dan perasaannya yang tumbuh pada Chesna.
___
Lanjut besok yaaa…