*** Menjadi pemuas nafsu suami sendiri tetapi mendapat bayaran yang sangat besar. Itulah yang keseharian dilakukan Jesica Lie dan suaminya yang bernama Gavin Alexander. Status pernikahan yang di sembunyikan oleh Gavin, membuat Gavin lebih mudah menaklukan hati wanita manapun yang dia mau sampai tak sadar, jika dirinya sudah menyakiti hati istrinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gustikhafida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Blade masuk kedalam ruangan Gavin dan dia tidak menemukan siapapun di ruangan tersebut.
"Dia pergi. Pasti dia belum jauh dari sini. Sebaiknya, aku menyusulnya." gumam Blade yang berlari keluar ruangan.
Drt … Drt ….
Jesica mengambil ponselnya dengan malas, matanya membulat sempurna saat melihat pihak rumah sakit menghubungi dirinya. Tanpa basa basi, Jesica mengangkat telfon tersebut.
"Hallo? Apa ibu baik-baik saja?" tanya Jesica dengan panik.
Tania dan Boy yang baru saja datang pun mendengar pembicaraan Jesica.
"Apa!" teriak Jesica.
"Okeh, aku akan ke rumah sakit sekarang!" ucap Jesica lagi yang kemudian mematikan telfonnya.
"Ada apa?" tanya Tania menghampiri sahabatnya. "Ibumu kenapa, Jes?" tanyanya lagi.
"A-aku harus ke rumah sakit sekarang, Tan! I-ibuku … ibuku tiba-tiba kritis." jawab Jesica, matanya berkaca-kaca. Dia berlari kedalam kamar untuk mengambil tas dan kunci mobil.
"Biar aku antar!" teriak Boy yang diabaikan Jesica.
Jesica keluar rumah dan masuk kedalam mobil. Mobil pun mulai melaju kencang meninggalkan halaman rumah yang tidak terlalu luas.
Tania menarik tubuh Boy keluar rumah.
"Apa yang kau lakukan?" teriak Boy saat tubuhnya di tarik paksa keluar rumah.
"Diam! Sekarang, antarkan aku ke rumah sakit! Aku harus menemani sahabatku!" pinta Tania membuat Boy mengangguk. Boy meminta Tania masuk kedalam mobil dan mobil pun berjalan di belakang mobil Jesica.
Jesica menambah kecepatannya, "Ibu, bertahanlah! Aku mau ibu sembuh. Aku sudah mengorbankan semuanya. Tolong jangan pergi! Aku mohon, hiks … hiks …" Jesica sesekali menghapus air matanya.
"Cepat! Kita tertinggal jauh dengan mobil Jesica!" pinta Tania kepada Boy.
Boy menambah kecepatannya lagi. "Kecepatannya sudah maksimal."
"Ya Tuhan, Jesica! Kamu ngebut kencang sekali!" gumam Tania, kedua matanya terus menatap jalan raya.
Boy melirik sekilas kearah Tania. "Memangnya, ibu Jesica sakit apa? Kenapa bisa koma?" tanya Boy lirih.
"Aku juga tidak tahu. Tiba-tiba saat aku pulang dari rantauan. Aku mendengar kabar kalau ibunya Jesica koma dan butuh banyak uang untuk pengobatannya. Maka dari itu, Jesica di jual oleh Tantenya ke club malam." jawab Tania tanpa sadar membuka rahasia yang selama ini Jesica sembunyikan.
'Club malam? Jadi, selama ini dugaanku benar? Tapi tunggu dulu, dia bilang kalau Jesica di jual oleh Tantenya ke Club malam?' gumam Boy dalam hati.
Tania seketika menutup mulutnya setelah sadar dengan perkataannya.
"Astaga, aku lupa!" ucapnya yang menatap Boy. "Aduh, kenapa aku harus keceplosan sih? Jesica sudah memintaku untuk merahasiakan semua ini kepada siapapun."
"Aku bisa jaga rahasia. Kamu tenang saja." jawab Boy yang memberi senyuman tipis kepada Tania.
Tania terpaku melihat senyuman Boy yang tulus. "Argkh!" geram Tania.
"Kamu yakin, kamu bisa menjaga rahasia ini? Aku tidak mau hubungan Jesica dengan su—" Tania menghentikan ucapannya, dia menampar mulutnya yang hampir saja keceplosan lagi.
"Hubungan Jesica dengan siapa?" tanya Boy penasaran.
"Apa dia sudah punya kekasih?" tanyanya lagi.
"Aku tidak tahu! Dan aku mau diam saja!" jawab Tania, matanya memandang pepohonan di pinggir jalan. "Ayo cepat, dong! Pasti Jesica sudah sampai di rumah sakit." pinta Tania mengalihkan pembicaraan.
Sedangkan di sisi lain.
Jesica memarkirkan mobilnya di halaman rumah sakit. Dia berlari menuju kamar ibunya, tetapi dia mendapat kabar dari suster rumah sakit kalau ibunya masuk kedalam ruang ICU.
"Sebenarnya, apa yang terjadi dengan ibuku? Kenapa dia tiba-tiba kritis?" tanya Jesica kepada suster.
"Jantung pasien sempat berhenti berdetak. Dan kami sedang menanganinya. Sebaiknya, anda berdoa untuk kebaikan pasien." jawab suster.
Jesica berjalan mondar mandir di depan ruangan ICU sembari menunggu kabar dari dokter yang menangani ibunya.
Drt … Drt ….
Jesica mengambil ponselnya dan melihat suaminya menelfon dirinya.
"Ha-hallo, Mas?" ucap Jesica setelah mengangkat telfon dari Gavin.
"Kita perlu bertemu. Aku akan kirim lokasinya." ucap Gavin di sebrang sana.
Jesica menghembuskan napasnya panjang. Dia mengusap wajahnya dengan tangan satunya yang kosong. "A-aku tidak bisa, Mas, hiks … hiks …"
Gavin yang sedang mengendarai mobilnya pun terkejut saat mendengar istrinya menangis.
"Maafkan aku, Mas. Ta-tapi untuk kali ini saja, aku meminta keringanan padamu, hiks … hiks … a-aku harus menamani ibuku." kedua lutut kaki Jesica tertekuk, air matanya mengalir semakin deras, punggungnya bergetar hebat menandakan jika dirinya sangat sedih dan rapuh.
"Ada apa dengan Ibumu?" tanya Gavin sembari memutar balik mobilnya ke rumah sakit.
"Ibu … jantung ibu tiba-tiba berhenti berdetak, dan dokter sedang menanganinya. Sekarang, aku sudah di rumah sakit." jawab Jesica menangis histeris.
Gavin menutup telfonnya sepihak, dia menambahkan kecepatan mobilnya.
Jesica memasukkan ponselnya kedalam tas, "Hiks … hiks …."
"Itu Jesica!" ucap Tania kepada Boy dan mereka segera berlari menghampiri Jesica.
"Jesica, tenanglah!" pinta Tania memeluk erat tubuh sahabatnya. "Percayalah, ibumu akan baik-baik saja. Dokter pasti berhasil menyelamatkan ibumu."
Jesica membalas pelukan Tania erat. "Hiks … Hiks … a-aku takut, Tan! Aku takut, ibuku tidak selamat. A-aku takut kehilangan ibuku."
"Jangan bicara seperti itu, ibumu pasti selamat." timpal Boy yang berdiri tak jauh dari Jesica.
"Hiks … hiks …"
Sudah 15 menit, Jesica dan lainnya menunggu di depan ruang ICU.
Terdengar suara pintu terbuka dan dokter keluar dari ruangan.
Jesica berlari menghampiri dokter tersebut. "Bagaimana keadaan ibuku? Dia baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan panik.
"Jantungnya berhenti berdetak. Kami coba melakukan penanganan pertama dan kami langsung menindak lanjuti pasien. Pasien sempat sadar setelah mendapat penanganan dari kami dan—"
"Dan apa dok?" tanya Jesica.
"Jelaskan yang jelas!" pintanya.
"Dan tiba-tiba detak jantungnya melemah lagi. Bukan jantungnya saja tetapi semua syaraf-syaratnya melemah." dokter menatap wajah Jesica dan Tania bergantian. "Maafkan kami, kami tidak bisa bertindak lebih jauh lagi. Dan menurut medis, sudah tidak ada harapan lagi."
"Tidak mungkin! Ibuku kuat, dok!" teriak Jesica.
"Aku harus menemui ibuku!" ucapnya lagi yang di halangi oleh dokter.
"Mohon bersabar, saya belum selesai menjelaskan." pinta dokter.
"Kamu yang tenang, Jes. Aku tahu, apa yang kamu rasakan, tapi kita juga tidak boleh melewatkan penjelasan dari dokter." ucap Tania yang di setujui oleh Boy.
"Apa yang dikatakan Tania ada benarnya juga. Kita harus mendengar semua penjelasan dokter." pinta Boy.
Jesica menghapus air matanya.
"Kita tidak bisa memaksakan pasien. Sebaiknya, alat yang menempel di tubuh pasien, di lepas saja." pinta dokter.
"Apa maksud dokter, ha? Kalau alat itu di lepas, apa ibuku bisa sembuh, ha?" bentak Jesica.
"Alat itu hanya alat pembantu dan sudah kami ucapkan kalau—" ucapan dokter terhenti saat melihat suster keluar ruang ICU.
"Gawat, dok! Jantung pasien sudah tidak berdetak dan pasien sudah tidak bernapas." ucap suster membuat Jesica histeris memaksa masuk kedalam ruang ICU.