NovelToon NovelToon
Perfect Life System

Perfect Life System

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Anak Genius / Teen School/College / Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir
Popularitas:184.4k
Nilai: 5
Nama Author: BlueFlame

Christian Edward, seorang yatim piatu yang baru saja menginjak usia 18 tahun, dia harus keluar dari panti asuhan tempat ia di besarkan dengan bekal Rp 10 juta. Dia bukan anak biasa; di balik sikapnya yang pendiam, tersimpan kejeniusan, kemandirian, dan hati yang tulus. Saat harapannya mulai tampak menipis, sebuah sistem misterius bernama 'Hidup Sempurna' terbangun, dan menawarkannya kekuatan untuk melipatgandakan setiap uang yang dibelanjakan.

‎Namun, Edward tidak terbuai oleh kekayaan instan. Baginya, sistem adalah alat, bukan tujuan. Dengan integritas yang tinggi dan kecerdasan di atas rata-rata, dia menggunakan kemampuan barunya secara strategis untuk membangun fondasi hidup yang kokoh, bukan hanya pamer kekayaan. Di tengah kehidupan barunya di SMA elit, dia harus menavigasi persahabatan dan persaingan.sambil tetap setia pada prinsipnya bahwa kehidupan sempurna bukanlah tentang seberapa banyak yang kamu miliki, tetapi tentang siapa kamu di balik semua itu.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BlueFlame, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21. Melawan 18 Preman

1 hari berlalu dalam hiruk pikuk yang konstruktif. Edward membagi waktunya antara sekolah, di mana ia terus membuktikan kejeniusannya tanpa kata-kata,

Dan ruko di Jalan Merdeka nomor 88. Ruko itu kini berubah total. Bau cat baru yang menyengat sudah tergantikan dengan aroma kayu yang bersih. Lantai keramiknya mengkilap, dindingnya putih dan cerah, dan plafon baru memberikan kesan luas pada ruangan seluas 50 meter persegi itu. Bagi Edward, ruangan kosong ini adalah kanvas, sebuah kesederhanaan yang ia rancang sendiri, sebuah benteng logika di dunia yang kacau. Pak Jono dan anak buahnya bekerja dengan efisien, tergoda oleh uang muka yang besar dan janji bonus jika selesai tepat waktu.

Edward mengawasi mereka seperti seorang insinyur yang memeriksa proyeknya. Dia tidak hanya melihat, tapi juga merasakan. Dia menyentuh dinding yang sudah dicat, memastikan tidak ada guratan yang tidak rata. Dia mengecek kualitas keramik, memastikan tidak ada yang goyang. Baginya, kantor ini adalah cerminan dari Catalyst AI: harus solid, fungsional, dan efisien.

Setelah para pekerja pulang, Edward mulai melengkapi "senjata"nya. Dia pergi ke toko alat tulis dan membeli papan spidol berwarna-warni, post-it notes dalam berbagai ukuran, dan sebuah projector mini. Lalu, ke toko elektronik untuk membeli sebuah server rack sederhana dan beberapa kabel jaringan.

Setiap pembelian adalah sebuah ritual.

[Transaksi terdeteksi: Rp 8.500.000]

[Penggandaan acak: x2.0]

[Total pengembalian: Rp 17.000.000]

[Saldo saat ini: Rp 450.980.000]

Saldo rekeningnya terus bertambah, sebuah konfirmasi terus-menerus bahwa setiap langkah yang dia ambil untuk membangun masa depannya justru memperkuat fondasi finansialnya. Dia merasa seperti sedang bermain game dengan cheat code yang sangat adil.

Malam itu, sekitar pukul sembilan, Edward selesai. Semua peralatan sudah ada di tempatnya. Meja kerja sudah tersusun rapi, server rack menunggu untuk diisi oleh Hendra besok, dan papan whiteboard besar yang bersih menantang di dinding. Kantor itu sudah siap untuk diisi oleh otak-otak terbaik.

Perutnya terasa keroncongan. Dia memutuskan untuk makan malam di warteg langganannya sebelum kembali ke apartemen. Dia berjalan kaki, menikmati udara malam yang sejuk. Ruko barunya berada di area yang cukup tenang, dan dia harus melewati sebuah gang pintas untuk menuju jalan utama.

Gang itu biasanya sepi, diterangi oleh beberapa lampu jalan yang redup. Saat Edward melangkah masuk, skill Intuisi Sosial-nya yang sudah level 2 tiba-tiba memberinya peringatan. Ada sesuatu yang tidak beres. Denyut nadinya yang biasanya stabil melonjak sedikit. Dia merasakan niat jahat yang kental, bukan dari satu arah, tapi dari beberapa arah sekaligus.

Edward melambatkan langkahnya, matanya mengamati sekeliling. Dari balik sebuah mobil yang diparkir sembarangan, beberapa sosok muncul. Dari ujung gang, muncul lebih banyak lagi. Mereka berbadan tegap, mengenakan kaos oblong dan celana jeans, beberapa di antaranya memegang balok kayu dan pipa paralon.

Totalnya, ada sekitar delapan belas orang. Mereka membentuk barisan, memblokade jalan keluar dari gang itu.

Seorang pria yang paling besar dan bertato di lengan maju selangkah. Dia tersenyum sinis, menunjukkan gigi yang kuning. "Anak SMA yang bisa beli ruko di sini. Pasti punya uang, ya? Cukup untuk jajan kita semua."

Edward berhenti, berdiri dengan tenang di tengah gang. Di dalam kepalanya, sebuah analisis dingin berjalan. Waktu yang terlalu cepat. Sasaran yang terlalu spesifik. Ini bukan kejahatan acak. Ini terorganisir. Hanya ada satu pihak yang punya motif dan sumber daya untuk ini sekarang. Dia meletakkan tas ranselnya dengan pelan di tanah. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya datar, seolah-olah sedang bertanya pada petugas parkir.

Pria itu tertawa. "Bantuan? Iya, kau bisa bantu kita. Di sini jalur kita. Siapa pun yang lewat harus bayar 'tol'. Kalau nggak... Ya, sudah tahu sendiri lah."

"Tol berapa?" tanya Edward, tetap tenang.

Pria itu menyeringai. "Kau lihat sendiri kan, kita banyak. Ya... Rp 5 juta aja deh. Buat jajan kita semua."

"Rp 5 juta," ulang Edward. "Itu harga yang mahal untuk lewat di gang kotor ini."

"Eh, lo ngomong apa?!" geram salah satu preman di belakang.

Tapi pemimpin itu mengangkat tangannya, menenangkan anak buahnya. Matanya menatap Edward tajam. "Berani sekali. Lihat badan lo kecil gitu. Satu pukulan dari gue saja pasti sudah langsung muntah darah."

Edward tidak menjawab. Dia hanya menatap mereka, menghitung posisi mereka, jarak antara satu sama lain, dan siapa yang tampak sebagai ancaman terbesar. Dia tidak ingin berkelahi. Tapi jika dia harus melakukannya, dia akan melakukannya dengan cara yang paling cepat dan efisien.

"Baik," kata Edward perlahan. "Aku tidak punya uang sebanyak itu."

"Kalau begitu, kita yang ambil paksa!" seru pemimpin itu, lalu memberi isyarat dengan tangannya. "HABISIN DIA!"

Dua preman paling depan langsung menerjang dari arah kiri dan kanan. Yang di kiri mengayunkan balok kayu, yang di kanan mencoba mendorongnya.

Edward bergerak. Dia tidak mundur. Dia melangkah selangkah ke depan, tepat ke arah preman di kirinya. Saat balok kayu itu berayun kearahnya, dia membungkuk dengan cepat, membuat kayu itu meleset di atas kepalanya. Tangan kirinya yang sudah bergerak lebih dulu menangkap pergelangan tangan si preman, lalu dengan satu gerakan putar yang halus, dia menekan sendi di siku lawannya.

KREK!

Preman itu berteriak kesakitan, lengannya yang patah tergantung lemas. Tanpa ampun, Edward menggunakan momentumnya untuk menendang tubuh si preman ke arah temannya yang datang dari kanan. Keduanya jatuh bertabrakan.

Semua itu terjadi dalam waktu kurang dari tiga detik.

Para preman lainnya terkejut. Mereka tidak menyangka anak lemah ini bisa bergerak secepat itu.

Pemimpin mereka mengerutkan kening. "Kurang ajar! Serang semua!"

Sekarang, mereka datang bersamaan. Edward tidak tinggal diam. Dia bergerak seperti bayangan. Dia tidak menggunakan gerakan kungfu yang indah. Gerakannya pragmatis, brutal, dan efektif.

Seorang preman meninju dari depan. Edward menangkis tinju itu dengan telapak tangannya, lalu meninju ulu hati si preman dengan kekuatan terukur. Napas si preman tercekat, dia jatuh berlutut.

Dua preman datang dengan pisau cutter. Edward mengambil tas ranselnya, mengayunkannya keras ke kepala mereka seperti cambuk. Tas yang berisi laptop dan buku itu terasa seperti batu. Keduanya roboh.

Dia berputar, menghindari tendangan dari samping, lalu menjatuhkan dirinya ke lantai, menjatuhkan satu preman dengan sapuan kaki, lalu langsung berdiri dan meninju tenggorokan preman lainnya.

Kekacauan total. Para preman itu saling bentrok karena Edward terus bergerak, menggunakan mereka sebagai perisai satu sama lain. Dia tidak pernah berada di satu tempat lebih dari dua detik. Dia memukul, menendang, melucuti, dan melumpuhkan. Setiap gerakannya punya tujuan: menetralisir ancaman dengan cepat.

Dalam waktu kurang dari 3 menit, dari delapan belas orang, hanya tersisa lima yang masih berdiri, termasuk pemimpinnya. Mereka menatap pemandangan mengerikan di depan mata: teman-teman mereka bergelimpangan dan meringis kesakitan, beberapa bahkan pingsan.

Mereka sadar. Mereka tidak sedang menyerang anak SMA. Mereka baru saja mencoba membentengi seekor harimau.

Pemimpin itu, yang wajahnya sudah pucat, melangkah mundur.

Edward berdiri di tengah-tengah para preman yang jatuh. Pakaiannya sedikit kusut, tapi tidak ada luka serius di wajahnya. ‎Napasnya terengah sedikit, bukan karena kelelahan, tapi karena pelepasan adrenalin yang mulai mereda. Dia menatap pemimpin itu dengan mata yang sangat dingin.

"Katakan pada bos kalian," kata Edward, suaranya rendah dan berbahaya. "Bilang, cara ini sudah tidak efektif."

Pemimpin itu tertegun. Dia tahu siapa "bos" yang dimaksud. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia membawa sisa anak buahnya yang masih berdiri dan lari terbirit-birit keluar dari gang, meninggalkan teman-teman mereka yang terluka.

Edward menatap mereka pergi, lalu menghela napas panjang. Rasa marah mulai menghilang, digantikan oleh perasaan tidak nyaman. Dia mengambil tas ranselnya, memastikan laptopnya masih aman, lalu melanjutkan jalan keluar dari gang, melewati tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tanah.

Dia tidak merasa menang. Dia hanya merasa terganggu. Malamnya sudah terbuang.

Di luar gang, dia melihat sebuah mobil sedan hitam yang sedang melaju perlahan di kejauhan sebelum akhirnya hilang di tikungan. Edward tahu itu mobil pengintai. Mereka memantau hasil kerja mereka.

Edward tersenyum tipis, senyum yang tidak membawa kegembiraan. "Menyebalkan." bisiknya.

Dia melanjutkan langkahnya menuju warteg, seolah-olah tadi dia hanya mengusir beberapa ekor tikus. Tapi di dalam kepalanya, sebuah keputusan sudah bulat.

Permainan sudah berubah. Ini bukan lagi perang bisnis atau perang psikologis.

Ini adalah perang total.

1
Night Watcher
lah... bukannya semua fiktif thorr??? 😆😆🤭
Fel N: Iya, betul lagi.🤭🤭😭😭
total 1 replies
kenzo
dikit bgt kata nya, rasa penasaran semakin tinggi nih Thor
Fel N: Sabar yah 🤭🤭🤭
total 1 replies
theo patria
salah cerita yg gw suka...sayang lama updatenya
Fel N: Terimakasih kak. Biasanya aku update tiap hari, tapi karena sekarang lagi sibuk banget. jadi aku nggak bisa update rutin.
maaf yah kak.😭
total 1 replies
AL
lnjt thor
Fel N: iya, sedang di usahakan.😌
total 1 replies
kenzo
crazy up Thor
Fel N: Sorry bang, nggak bisa janji.🙏🙏🙏
total 1 replies
Choky Ritonga
ko ga kasih dana Thor
Fel N: Di kasih kok... Di baca aja yah...☺️
total 1 replies
Aisyah Suyuti
menarik
AL
lanjut
theo patria
mantap nih ceritanya....gaazzzzz
Fel N: Makasih 😌
total 1 replies
Mahlubin Ali
Di bab 1 kan udah lulus SMA, kenapa sekarang mau daftar SMA lagi????
Fel N: Terima kasih atas pertanyaannya, Kak. Izinkan saya menjelaskan dengan lebih jelas.

Di chapter 1 sebenarnya sudah dijelaskan bahwa MC menghabiskan banyak waktu di jenjang SMA karena mengalami beberapa masalah pribadi. Intinya, setelah duduk di kelas 12, MC tidak pernah benar-benar menyelesaikan pendidikannya di tingkat tersebut. Mungkin penjelasan yang saya tulis sebelumnya kurang tepat sehingga membuat Kakak kurang memahami maksudnya.

Saya akan menganggap hal ini sebagai kritik dan saran yang membangun. Ke depannya saya akan menuliskan penjelasan dengan lebih baik lagi.
total 1 replies
AL
lanjut thor
AL
lnjut
Andi Putra Tunggul
terlalu dibesar2kan.... pdhl hanya permasalahan HP saja.... kemudian masalah cerdas cermat menjadi masalah orangtua dan hacker. kamu pinter tapi novelnya kurang realistis. terlalu wah teknologi. harusnya di bangun dengan alur ringan dulu. masa semua sekolah isinya BSJINGAN?? kn ga boleh begitu
Fel N: Terima kasih atas saran dan kritiknya. 😌
Sebenarnya masalahnya bukan hanya soal HP, tapi Bara memang tidak suka dengan orang miskin. Jadi, ia suka mencari-cari gara-gara begitu. Awalnya sih cuma untuk main-main, supaya MC merasa tidak nyaman—alias cuma menakut-nakuti. Eh, malah Bara sendiri jadi kesal sungguhan.

Dia juga berniat mempermalukan MC di kompetisi agar rasa malu yang ia rasakan di kelas dan kantin terbayarkan. Tapi ternyata, justru dia yang semakin malu. Jadi, akhirnya ceritanya berkembang seperti itu.

Maaf ya kak, kalau menurut kakak ceritanya terasa dibesar-besarkan. Lain kali akan saya perbaiki. 🙏🙏🙏

kalau masih ada kritik dan saran mohon jangan sungkan untuk di sampaikan yah ☺️.
total 1 replies
Mohd Harmizi
badass!!!
Fel N: 🤭🤭🤭🤭🤭
total 1 replies
Dhea¹⁹
jangan banyak drama cinta Thor. tentang Eleanor aja dlu
Fel N: Sabar yah, kak😌. Kalau cuman fokus ke konflik terus, nanti malah perkembangan karakter utama nggak kelihatan. Jadi Sabar dulu yah🙏🙏.
total 1 replies
Alipjs Joko
🤣🤣🤣🤣🤣
AL
crazy up lah thor
Fel N: makasih
total 3 replies
Night Watcher
outhornya sgt jeli & teliti🤭, sebelum readers bingung udah ngasih penjelasan, bahkan menggingatkan bab sebelumnya.. kereeen.. 😊👍
Fel N: makacih 😌
total 1 replies
Night Watcher
nyoba mampir.. siapa tau cucok dgn selera..
Fel N: Semoga cocok yah, kak.
total 1 replies
ANONYMOUS
nanggu bet dah🤣
Fel N: emang🤭
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!