Arwah sekarat Raveena bergentayangan di dalam sebuah novel yang pernah ia kutuk karena baginya memiliki ending yang paling buruk. Di novel itu, menjadi sosok Elira Maeven, tokoh utama yang memiliki sifat lugu dan feminin yang menyukai sosok Arsen Vaelric, si pria manipulatif yang berbahaya.
Sialnya, Raveena memasuki tubuhnya usai Elira mengalami adegan mati konyol akibat bunuh diri di bagian ending cerita. Seolah semesta menuntut pertanggungjawaban dari caciannya, ia dipaksa melanjutkan cerita hidup Elira yang mestinya berakhir setelah mati bunuh diri.
Raveena tak bisa keluar dari dunia itu sebelum menyelesaikan skenario takdir Elira yang tak pernah ditulis dan direncanakan oleh penulis novel itu sendiri.
Sampai tiba hari di mana Arsen mulai menyadari, bahwa sikap membosankan Elira yang selalu ia abaikan, kini bukanlah sosok yang sama lagi.
Namun, Arsen justru sangat menyukainya.
Apakah Raveena mampu kembali ke dunia nyatanya?
Atau justru terkurung selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dandelions_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26
Lusa kemarin, Arsen begitu gagah melakukan kuasanya kepada Elira. Namun hari ini, pria itu tampak terbaring lemah di atas ranjang rawat.
Dokter yang menangani jahitan lukanya mengatakan, tusukan itu hampir merenggut nyawanya. Di bawah tulang rusuk kiri, gunting yang ditancapkan Elira menembus cukup dalam, berjarak sangat tipis dari limpa dan hati--organ vital--yang jika mengenainya bisa membuat Arsen tak akan bangun lagi.
Meski tak berdaya, Arsen yang terlalu arogan masih enggan terima, jika ia berhasil dijatuhkan oleh seorang perempuan yang dulu ia anggap rapuh.
"Merrick," ucapnya serak menahan ngilu di bagian jahitannya yang sakit.
Pria yang ditugaskan menjaga Arsen di dalam kamar rawat itu merespons cepat, "Ada apa, Tuan?"
Arsen merasa kelelahan meski hanya bicara satu kata. "Pantau terus wanita itu," lirihnya sambil menunjuk sebuah tab yang tergeletak di atas meja.
Merrick menurut, lalu membuka sebuah folder yang begitu dijaga kerahasiaannya.
"CCTV tersembunyi yang terpasang di area gerbang kediaman keluarga kecil Maeven memperlihatkan sebuah mobil datang dari arah kiri. Kemudian keluar lagi pada sore hari," jelas Merrick. "Insiden ini terjadi di hari yang sama saat kau terluka, Tuan."
Pria yang seumuran dengan mendiang Vaelric itu kembali mengecek video lain. Arsen mendengarkan serius, meski tak ada respons yang terlihat karena ia berusaha rileks dengan kesakitannya.
"Lalu kemarin pada pukul sembilan pagi," lanjutnya seraya mengezoom hanya untuk memastikan jika kendaraan itu benar-benar mobil dan plat yang sama seperti sebelumnya. "Mobil yang sama datang kembali, keluar dari gerbang dengan rute berlawanan arah dari kedatangannya."
Arsen yang sakit tampak terengah-engah. Sial memang. Bernapas saja rasanya menyakitkan sekali. Ia tak menyangka, jika pancingannya untuk membuat citra Elira memburuk berefek terlalu jauh.
"Cari tahu siapa pemilik mobil itu."
Merrick mengangguk dan lekas menghubungi seseorang.
"Dia benar-benar mencurigakan," gumam Arsen kala mengingat Elira. "Sejak dulu, aku selalu menyerang psikisnya. Kenapa huru-hara yang kubuat lewat media masih tak membuatnya menggertak? Setidaknya melihatnya berlutut padaku untuk membungkam media."
Dalam kurun dua hari setelah video penusukan beredar, nilai saham Maeven Corp anjlok hingga menyentuh batas terendah dalam satu tahun terakhir. Catatan harian bursa menuliskan angka merah berturut-turut. Dari minus 7% pasca insiden tamparan, hingga minus 15% akibat potongan video penusukan kemarin yang cepat merebak.
Beberapa mitra asing dikabarkan menunda kerja sama besar, sementara sebagian investor lokal memilih menarik diri demi mengamankan modal mereka.
Arsen cukup terkesima dengan kerja kerasnya. Namun, kenapa seolah semuanya tak berefek sama sekali?
"Juga ... kenapa berita tak menampilkan respons Cedric tentang hal itu? Apakah mereka benar-benar diam?" Arsen meringis saat tak sengaja menghela kasar. "Benar-benar menjengkelkan."
......................
📍Maeven Corp
Di depan cahaya layar monitor, jemari Cedric saling bertautan di depan dagu. Helaan resahnya keluar beberapa kali. Selain isi kepala yang berantakan, hatinya juga terluka. Ia tak menyangka, jika masalahnya akan meleber ke mana-mana seperti ini.
Tok! Tok!
Cedric menoleh ke arah pintu. "Ya. Masuk."
Seseorang datang dengan raut cemas. "Tuan Cedric, para wartawan masih menunggu di lobi. Mereka mendesak kami, supaya Tuan mau klarifikasi soal berita itu."
Cedric menghela napas panjang. Ini situasi darurat. Namun, perbuatan putrinya seolah memadamkan bara geramnya. Perasaan kelabu justru lebih mendominasi hatinya saat ini.
"Nanti aku akan menemui mereka."
"Baik, Tuan."