kehilangan bukan lah kesalahan ku, tetapi alasan kehilangan aku membutuhkan itu, apa alasan mu membunuh ayah ku? kenapa begitu banyak konspirasi dan rahasia di dalam dirimu?, hidup ku hampa karena semua masalah yang datang pada ku, sampai aku memutuskan untuk balas dendam atas kematian ayah ku, tetapi semua rahasia mu terbongkar, tujuan ku hanya satu, yaitu balas dendam, bukan jatuh cinta.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nurliana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
khawatir
Taman Rumah Sakit – Sore Hari
Angin sore meniup lembut dedaunan taman yang terletak di samping rumah sakit. Suasana sedikit sepi, hanya terdengar suara burung dan langkah kaki orang-orang yang lewat sesekali.
Zelena duduk di bangku taman, menatap tajam ke arah Leon yang berdiri di hadapannya. Wajahnya terlihat kesal sekaligus khawatir.
“Kenapa kakak datang ke rumah sakit tapi gak bilang sama aku?” tanyanya pelan, tapi tajam. Matanya menatap Leon penuh tanda tanya.
Leon menunduk sejenak, lalu menatap Zelena dalam-dalam. “Kamu sama dia pacaran? Kakak denger semua yang kalian bicarakan. Bahkan dia sempat ngajak kamu nikah, kan?”
Nada suara Leon terdengar lebih serius, bahkan sedikit panas. Seolah ini jauh lebih penting dari alasan dia datang ke rumah sakit tadi.
Zelena menghela napas dalam, menahan emosi. Ia menatap Leon dengan ekspresi cemas. “Aku nggak pacaran sama dia, Kak. Percakapan tadi itu gak seperti yang kakak pikirin,. Nggak usah disimpan di hati.”
Leon menggenggam jemarinya, lalu duduk di sebelah Zelena. “Zel, kalau memang kamu punya perasaan sama orang lain... masih ada waktu. Kakak bisa bilang ke Ayah kamu soal pertunangan ini.”
Zelena menggeleng pelan. Pandangannya mengarah ke rerumputan di bawah kakinya, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh.
“Gak, Kak. Aku udah milih jalan ini. Kalau Ayah yang minta, aku harus nurut... walau disiram air es pun.”
Leon tersenyum pahit, lalu meraih tangan Zelena. Ia perlahan menarik cincin pertunangan dari jari manisnya.
“Biar Kakak yang simpan ini. Kalau cincinnya sama Kakak, kamu aman di sekolah, gak ada yang curiga.”
Zelena refleks menarik tangannya kembali. “Biar aja, Kak... aku nyaman pakai ini. Gak ada masalah juga.”
Tiba-tiba...
Di balik pepohonan taman, seorang pria berpakaian serba hitam sedang mengintai mereka. Ia merakit alat suntik bius yang dipasang di ujung senjata kecil. Matanya tajam, seolah tak ingin ada yang tahu kehadirannya. Targetnya jelas: Zelena.
Saat waktu yang ditentukan tiba, ia menarik pelatuk.
DOR!
Sebuah jarum kecil mengenai punggung Zelena.
Zelena mengernyit, menoleh sedikit ke belakang sambil mencoba menyentuh bagian punggungnya. Tapi belum sempat dia sadar apa yang terjadi, efek bius lebih dulu bekerja.
Tubuhnya limbung.
“Zelena?!” Leon langsung berdiri, refleks menangkap tubuh Zelena yang jatuh tiba-tiba. Panik menghiasi wajahnya. “Zel...?! Hei, bangun!”
Zelena tak merespons. Matanya terpejam, napasnya lemah. Leon kebingungan. Jika ia membawa Zelena ke rumah sakit, identitas aslinya bisa terbongkar.
Tanpa pikir panjang, Leon menggendong tubuh Zelena dengan hati-hati dan berlari menuju mobilnya.
Rumah Leon, Malam Hari
Sebuah rumah kecil dan sederhana, tanpa banyak perabotan. Hanya cahaya lampu remang-remang yang menyala di dalam kamar.
Leon membaringkan Zelena di atas ranjangnya. Wajahnya cemas, tangannya gemetar saat menyentuh kening Zelena yang mulai hangat.
“Paman! Tolong siapkan air hangat! Sepertinya ini cuma bius, tapi suntikannya terlalu dalam... dia demam.”
Alex, pria paruh baya berambut perak, masuk dengan tergesa. Matanya sempat menatap sosok Zelena dengan heran. “Siapa dia?”
Leon menghela napas, lalu menatap pamannya. “Dia Zelena... bagian dari rencana kita. Paman gak kenal wajahnya? Dia sudah berubah.”
Alex menatap lebih lama, lalu mengangguk pelan. “Baik. Paman ambilkan air. Setelah ini kasih dia obat. Paman akan pindah ke tempat lain malam ini.”
“Terima kasih, Paman... Maaf, aku bingung harus bawa dia ke mana.”
Alex mengangguk lalu beranjak pergi. Tapi sebelum keluar, ia sempat menoleh dan berkata, “Kalian hanya berdua di sini malam ini. Kalau bisa... buat keturunan dengannya. Itu akan lebih baik.”
Leon terdiam. Wajahnya memucat. Setelah pamannya pergi, ia hanya bisa bergumam pelan, “Mana mungkin... dia bahkan tidak sadar.”
Malam semakin larut. Setelah memberikan obat dan menurunkan demam Zelena, Leon merebahkan diri di sebelah gadis itu. Ia menatap langit-langit dengan mata lelah.
“Gak apa-apa kalau cuma tidur di sebelahnya, aku gak akan menyentuh dia,” ucapnya lirih sebelum akhirnya tertidur.
*
*
*
Pagi Hari Rumah Leon
Cahaya matahari pagi menembus jendela kamar, menyinari wajah Zelena yang masih terbaring. Ia mengerjapkan mata, sedikit silau. Saat menoleh, ia mendapati Leon tidur di sebelahnya.
Ekspresi Zelena berubah gugup.
“Apakah sebelum menikah kita boleh tidur satu ranjang?” bisiknya pelan.
Leon membuka mata perlahan, mendengar pertanyaan itu. Ia bangkit dengan wajah tenang. “Hanya satu ranjang. Aku gak sentuh kamu sama sekali.”
Zelena tersipu. Ia segera duduk, menarik selimut menutupi tubuhnya. “Aku harus sekolah, Kak... nanti Ayah marah kalau tahu aku bolos.”
Leon berdiri sambil menunjuk ke arah lemari. “Mandi aja dulu. Ada bajuku, kamu bisa pakai. Soal sekolah, aku sudah kirim surat izin.”
Ruang Makan, Beberapa Menit Kemudian
Leon menyiapkan dua potong roti panggang dan susu hangat. Di meja, ia menunggu Zelena keluar.
Zelena muncul dari kamar, memakai kemeja Leon yang jelas terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Rambutnya masih agak basah, wajahnya polos tanpa riasan.
Leon tersenyum melihatnya. “Makan dulu. Setelah ini kita pulang. Ada hal penting yang harus Ayahmu tahu.”
Zelena duduk, mengambil sepotong roti. “Kita kayak bulan madu ya, Kak,” gumamnya sambil tertawa kecil.
Leon ikut tertawa. “Kalau kamu mau bulan madu sekarang, aku gak keberatan... tapi aku juga mau bulan madu setelah menikah.”
Zelena terdiam. Wajahnya memerah.
Di dalam hatinya, ia merasa aneh. Bersama Leon, detak jantungnya selalu tak tenang. Ia mengira ini efek samping dari obat penenangnya—selama ini ia memang rutin meminumnya karena sering pingsan saat berada di keramaian.
Zelena melirik sekeliling rumah.
Tak ada satu pun foto, tak ada perabotan pribadi. Hanya perabotan fungsional.
“Ini rumah singgah, ya? Aku gak mau tinggal di rumah kayak gini nanti,” gumamnya pelan.
Leon muncul dari dapur, membawa kunci mobil. “Ayo masuk ke mobil. Ayahmu khawatir. Dan ini bukan rumah kita... ini cuma rumah sewaan.”
*
*
*
Rumah Ahmad Siang Hari
Mobil Leon tiba di halaman rumah Ahmad. Arman langsung membuka pintu mobil begitu melihat Zelena keluar.
“Zelena! Kamu baik-baik aja?” tanyanya, tangannya refleks memegang bahu Zelena.
Zelena tersenyum. “Aku baik, Mas. Gak ada luka.”
Leon langsung menarik tangan Zelena. Ekspresinya kaku. “Ayo masuk. Ayahmu mau bicara.”
Arman menatap Leon dengan sinis. “Kau pikir dengan jadi tunangannya Zelena, kau sudah menang? Lihat saja apa yang akan terjadi.”
*
*
*
Di Ruang Ahmad
Ahmad berdiri menatap putrinya dengan wajah cemas. “Zelena, mulai sekarang jangan jauh-jauh dari Leon. Ayah khawatir.”
“Ayah... kapan pulang dari rumah sakit?” tanya Zelena bingung.
“Baru saja. Dan ayah langsung tahu dari pesan Leon kalau kamu gak pulang semalam.”
Zelena tersenyum lega. “Syukurlah Ayah sudah sehat.”
Tiba-tiba, Kenzo masuk tergesa dan langsung memeluk adiknya. “Zelena! Kamu nggak apa-apa, kan?”
“Gak apa-apa, Kak... aku baik,” jawab Zelena.
Kenzo menatap Ahmad. “Saya udah cek CCTV, sayangnya nggak ada kamera yang mengarah ke taman. Tapi... untungnya mobil yang parkir di dekat lokasi merekam semuanya dari dashcam.”
Ahmad mengepalkan tangan. “Jadi ini memang serangan? Terhadap anakku?!”
Leon maju satu langkah. “Saya akan urus semuanya, Tuan.”
Hai teman-teman, selamat membaca karya aku ya, semoga kalian suka dan enjoy, jangan lupa like kalau kalian suka sama cerita nya, share juga ke teman-teman kalian yang suka membaca novel, dan nantikan setiap bab yang bakal terus update,
salam hangat author, Untuk lebih lanjut lagi, kalian bisa ke Ig viola.13.22.26