Islana Anurandha mendapati dirinya terbangun di sebuah mansion besar dan cincin di jemarinya.
Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan untuk keluar dari rumah istana terkutuk ini. “Apa yang sebenarnya kamu mau dari aku?”
“Sederhana. Pernikahan.”
Matanya berbinar bahagia saat mengatakannya. Seolah-olah dia sudah lama mengenalku. Seakan-akan dia menunggu ini sejak lama.
“Kalau aku menolak?” Aku bertanya dengan jantung berdebar kencang.
Mata Kai tidak berkedip sama sekali. Dia mencari-cari jawaban dari mataku. “Orang-orang terdekatmu akan mendapat hukuman jika kamu menolak pernikahan ini.”
Islana berada di persimpangan jalan, apakah dia akan melakukan pernikahan dgn iblis yg menculiknya demi hidup keluarganya atau dia melindungi harga dirinya dgn lari dari cengkraman pria bernama Kai Itu?
CHAPTER 10
Chapter 10
POV – Kairav Arumbay
Aku melihat foto itu. Foto yang diberikan oleh ayahku tepat hari ini di hari ulang tahunku yang ke delapan belas. Ayah datang ke kamarku di pagi hari dan memberikan hadiah terbaik yang pernah aku impikan. Sebuah mobil porche berwarna merah yang sudah menjadi impianku sejak beberapa tahun yang lalu.
Tapi selain memberikan mobil itu, ayah juga memberikan sebuah kejutan lainnya. Setelah memastikan hanya kami berdua di dalam kamar, ayah menarikku untuk duduk di sofa. Matahari yang begitu terik, menyinari wajah ayahku yang begitu sumringah.
“Apa ada hadiah lain lagi? Delapan puluh persen saham Arumbay Korporasi?” Mataku sudah tidak merasa mengantuk lagi. Porsche merah memang menyenangkan tapi saham ArumKorp lebih penting daripada hal apapun di dunia ini.
Ayahku menyeruput teh dengan tenang. Sepertinya dia tahu kalau aku akan mengatakan hal itu. Aku memang anak paling ambisius di rumah ini. Matanya menatapku lekat-lekat dan memberikan foto.
Foto seorang anak perempuan mungil dan seorang pria di sebelahnya. Apa mungkin dia ayahnya?
Aku mengangkat foto ini. “Siapa mereka?”
Ayahku tersenyum. “Calon mertuamu dan calon istrimu.”
“Calon istri? Dia punya anak perempuan lain seumur aku?” Dahiku mengernyit.
“Anak yang ada di foto itu calon istri kamu.”
“Apa? Ayah jangan bercanda.” Aku tertawa sambil melempar foto itu di meja.
Ayah sama sekali tidak terlihat bercanda. Wajahnya serius dan sambil menungguku dia kembali menyeruput the lagi dan kemudian melanjutkan. “Sederhana, kalau kamu menolak menikah dengan anak itu, kamu bisa melambaikan tangan dengan delapan puluh persen saham ArumKorp.”
Pernyataan itu membuat darahku mendidih. Tidak ada yang bisa menghalangi aku memiliki mayoritas saham ArumKorp. Tidak ada yang boleh menghalanginya. Tapi pernikahan dengan seorang anak…
Aku menahan emosiku keluar dengan tetap duduk dan mengontrol napasku. “Kenapa harus anak perempuan itu. Nggak ada perempuan yang usianya sama seperti aku? Nggak ada pilihan lain?”
“Dia adalah bagian dari janji ayah pada sahabat ayah, dia sudah mempertaruhkan nyawanya untuk Klan ini dan ayah. Ayah ingin membawa keluarga itu menjadi bagian dari diri kita. Dan salah satu kelebihan dari keluarga Anurandha adalah mereka tidak memiliki ambisi apapun soal kekuasaan.”
“Lalu aku jadi korban dari semua ini?” ucapku dengan kesal dan amarahnya begitu terlihat.
“Kamu akan memiliki segalanya, Kai.” Ayah mengatakan seakan-akan ini hal yang begitu mudah dan sederhana.
Seorang pelayan mengetuk pintu dan masuk dengan wajah menunduk.
“Tuan muda, Nona Yasmin ingin masuk ke sini dan bertemu anda.” kata pelayan itu dengan ragu-ragu dan penuh kebimbangan.
Siapa dia berani masuk kemari?!!!
“Bawa dia masuk kembali ke kamar princess-nya itu.” ketusku. Pagi hari yang harusnya penuh dengan rasa suka cita tapi pagi ini ada dua hal yang membuatku berang seketika. Pernikahan yang aku tidak inginkan dan seorang adik tiri yang selalu mencari perhatian.
“Kai,” tegur ayah. “dia tetap adik kamu. Kamu yang akan membimbing dia saat ayah nanti tidak ada.”
Siapa yang mau membimbing dia?
Setelah ayah mengijinkan pelayan membawa Yasmin masuk, aku hanya bisa melipat tangan di dada dan membawa pandanganku ke arah manapun selain adik tiriku itu.
“Kakak,” Yasmin memanggilku dengan suara manisnya yang menjadi kesukaan ayah. “ini ha…diah.” Kata-katanya masih belum tertata dengan baik.
Aku hanya mengangguk dan tetap tidak melihat ke arahnya. Ternyata dia menghampiriku dan menaruh sesuatu di pangkuanku. Tidak lama ayah memanggilnya karena mendengar dia mulai menangis kecil ketika aku tidak mengacuhkannya. Ayah menenangkannya dan membawanya keluar.
Tanganku mengepal. Anak itu seharusnya tidak ada di sini. Dia dan Ibunya adalah penghancur rumah tangga orang lain. Begitu marahnya aku merasa air mata di ujung mataku keluar sedikit demi sedikit. Mataku melirik ke hadiah yang dia berikan. Sebuah kertas tebal dengan gambar sebuah keluarga dari goresan pensil warna.
Aku segera merobeknya dengan cepat dan membuangnya ke lantai dan mengambil salah satu gelas di meja dan melemparnya ke dinding hingga jatuh berkeping-keping.
***
Masa Kini
POV – Islana
Aku menutup mataku dengan tangan. Sekelilingku sekarang menjadi medan perang. Tembakan terdengar di seluruh penjuru ruangan, jeritan para pelayan yang meronta-ronta juga menambah kengerian malam ini. Aku hanya bisa melihat dari balik jari-jariku, bagaimana semua kaca dan jendela sudah habis dipecahkan dan pecahan mereka berkeping-keping ada di lantai.
Kai ikut turun tangan, dia dan semua penjaga yang tadinya ada di rumah itu sekarang saling baku hantam dengan orang-orang bertopeng tengkorak hitam yang berhasil mengacaukan ruangan ini.
Dari arah belakang Kai, seorang pria membuka topengnya. Wajahnya seperti iblis yang siap melumat siapapun yang ada di depannya. Wajahnya memiliki bekas luka di bagian pelipisnya. Seperti bekas tusukan. Pria itu membawa pistol di tangannya tepat ke belakang kepala Kai.
“Kai, Awas!” Aku berteriak sekencang mungkin.
Kai yang sigap langsung berbalik arah dan memukul tangan pria itu.
Pria itu terdorong ke belakang tapi dia tidak gentar. “Apa kabar, Kai? Sudah lama kita gak bertemu,” suaranya seperti menyindir dengan kasar. “sepertinya pernikahan picisanmu sudah berubah jadi mimpi buruk.”
Tawanya membahana ke seluruh ruangan.
“Oza, kamu pikir aku menang hari ini?” Kai menyeringai dan memukul Oza hingga mereka bergulat. Tidak tahu berapa lama mereka berkelahi satu sama lain hingga beberapa pengawal dari dua pihak datang ke dekat mereka dan semuanya menjadi tambah kacau balau.
Seorang pelayan menarik aku untuk pergi ke pinggir aula. Kakiku yang lagi-lagi menjadi korban karena pecahan cawan sebelumnya, sekarang menjadi batu sandungan untuk jalan dengan normal. Aku harus menarik kakiku sekuat tenaga untuk bisa terhindar dari ‘adegan baku hantam’ yang brutal itu.
Aku melihat dari kejauhan, Kai sedang memukul para penjahat itu dengan tangan dan kakinya yang lincah. Dia dengan mudahnya memukul wajah, tangan, perut hingga menjungkalkan kaki para penjahat itu.
Suara tulang-tulang patah, dan semburan darah dari mulut para penjahat itu membuat aku menutup wajahku lagi. Semua orang yang ada di ruangan ini seperti siap untuk membunuh satu sama lain.
Tapi tiba-tiba aku punya firasat yang aneh. Aku membuka mataku dan ternyata firasatku benar, karena pria bernama Oza itu siap menghantamku.
Dan dia hanya berjarak beberapa meter saja dari aku!
Aku berteriak dan meminta tolong dengan sekuat tenaga dan berdoa seseorang akan menghantam Oza.
Dalam keadaan masih dengan mata tertutup, bunyi rahang patah dan suara teriakan rintihan terdengar. Terakhir, suara orang terjatuh ke lantai, lebih tepatnya suara orang dibanting ke lantai terdengar dengan jelas.
Seseorang menggendongku dalam sekejap. Dengan tangan bergetar aku memegang dia dengan kuat. Aku mencium aroma familiar itu. Kai. Dia yang menggendongku. Aku tidak mungkin salah.
“Shhh….semuanya sudah selesai.”
Aku berteriak di dalam dekapannya yang anehnya terasa sangat tidak asing dan begitu membuatku merasa aman untuk pertama kali di rumah ini.