Frans tak pernah menunjukkan perasaannya pada Anna, hingga di detik terakhir hidup Anna. Wanita itu baru tahu, kalau orang yang selama ini melindunginya adalah Frans, kakak iparnya, yang bahkan melompat ke dalam api untuk menyelamatkannya.
Anna menitihkan air mata darah, penyesalan yang begitu besar. Ferdi, pria yang dia cintai ternyata hanya memanfaatkannya untuk mendapatkan perusahaan ayahnya dan kekayaan keluarga Anna.
Kedua tak selamat, dari kobaran api kebakaran yang di rancang oleh Ferdi dan Gina, selingkuhannya yang juga sahabat Anna.
Namun, Anna mendapatkan kesempatan kedua. Dia hidup kembali, terbangun tiga tahun sebelum pernikahannya dengan Ferdi. Tepat di hari ulang tahunnya yang ke 20.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon noerazzura, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26. Lukisan Menakjubkan Frans
Di siang hari yang terang, matahari menggantung tinggi di langit biru tanpa awan, sinarnya menembus kaca bening galeri seni Maison de Lumière, galeri elite yang berdiri megah di pusat kota. Di salah satu ruangan lukis khusus, yang hanya dipakai oleh para seniman terpilih, aroma cat minyak, terpentin, dan kayu mahoni tercium samar, menciptakan suasana khas yang elegan sekaligus sarat tekanan. Dinding-dinding ruangan itu dipenuhi lukisan-lukisan bernilai ratusan juta, karya para maestro yang telah lama diakui dunia. Tapi siang itu, ruangan terasa seperti panggung teater, dan Frans adalah tokoh utama dalam ujiannya.
Frans berdiri di depan kanvas kosong yang telah ditegakkan rapi di atas kuda-kuda. Tangannya menggenggam kuas, tubuhnya rileks namun penuh konsentrasi. Ia menatap kanvas itu sejenak, seolah melihat sesuatu yang belum tampak oleh mata siapa pun selain dirinya. Di belakangnya, Anna duduk di sofa putih dengan kain beludru, matanya tak berkedip. Di sampingnya, berdiri tegap Paman Matthew, pemilik galeri sekaligus kurator kenamaan yang dikenal karena standar artistiknya yang sangat tinggi.
"Waktu 15 menit," ujar Matthew dengan suara datar namun penuh tekanan. "Tunjukkan apa yang kamu miliki, Frans."
Anna semakin gugup, dia tadinya ingin berdiri di belakang Frans. Tapi paman Matthew melarangnya.
'Yang benar saja, ya ampun...' Anna membatin.
Tapi, dari sampingnya. Matthew Owen Berth, alias MOB menoleh ke arah Anna.
"Kamu kenapa?" tanya pria dengan rambut sebahu sedikit lagi itu.
"Paman pakai bertanya? paman kan sudah lihat lukisannya, kenapa masih di tes. Aku gugup paman, kenapa hanya lima belas menit. Pertimbangkan aku adalah keponakan kesayanganmu dan..."
"Jadi, kamu tidak percaya pada kemampuannya?" tanya MOB menyela.
Anna segera menutup mulutnya rapat-rapat. Dia harus yakin. Anna segera mengatupkan bibirnya dan menarik garis dari kanan ke arah kiri dengan jari telunjuk dan ibu jari yang bertemu.
Matthew terkekeh pelan melihat Anna. Anna itu tidak punya hubungan darah dengannya. Tapi, karena dia adalah sahabat baik Rio. Temannya saat kuliah, dan memang Anna adalah anak kecil pertama yang tidak takut pada penampilannya yang nyentrik saat kecil, malah cenderung dekat dengannya. Matthew sudah menganggap Anna keponakannya. Satu-satunya anak gadis yang bisa dekat dengannya, dan boleh memanggil paman kapan saja.
Sementara itu kembali lagi pada Frans. Tanpa berkata sepatah kata pun, Frans mulai mengayunkan kuasnya. Gerakannya cepat, namun bukan tergesa, dia tahu betul ke mana warna harus jatuh, bagaimana garis harus hidup. Setiap sentuhan kuasnya terasa seperti denyut nadi, mengalir dengan ritme yang dalam. Dia memilih palet warna dengan insting nyaris liar, merah marun pekat, putih tulang, sedikit hijau zaitun, dan sapuan hitam yang mengalir tipis untuk bayangan. Di bawah tangannya, bunga mawar mulai tumbuh, bukan dalam bentuk yang realistis membosankan, tapi dalam interpretasi yang menggugah, kelopaknya seperti menari dalam badai cahaya, batangnya seolah menjalar keluar dari kanvas, hidup.
Anna mengatupkan mulutnya rapat-rapat, menahan napas tanpa sadar. Tadinya dia sangat yakin, tapi kembali lagi, dia tahu Frans tak punya pendidikan seni formal. Tak pernah belajar teknik, perspektif, atau teori warna. Namun di hadapannya, pria itu melukis dengan gairah yang nyaris mistis, seolah mawar itu tumbuh dari jiwanya sendiri, bukan dari cat dan kanvas. Tapi tetap saja masih ada sedikit kekhawatiran.
Matthew tidak berkata apa-apa. Matanya menyipit, tangannya terlipat, namun tak lepas dari setiap gerakan Frans. Ia tahu bakat saat melihatnya, dan kini dia sedang menyaksikan sesuatu yang bahkan melebihi ekspektasinya.
Menit ke-13, Frans menambahkan kilau cahaya di ujung kelopak dengan campuran putih dan kuning muda. Anna tidak bisa menahannya lagi, dia ingin berdiri dan melihat.
"Anna" tegur Matthew.
"Paman aku akan berdiri dari jauh" kata Anna perlahan.
Dan wanita itu benar-benar berdiri, dia berjalan ke arah belakang Frans. Dan ternyata Matthew yang penasaran juga mengikuti Anna.
Menit ke-14, ia menyempurnakan bayangan di bawah batang. Dan pada detik terakhir menit ke-15, ia meletakkan kuasnya, tak dengan drama, tapi dengan keheningan yang nyaring. Ia mundur satu langkah, menatap lukisannya, lalu memandang Matthew sekilas.
"Tuan, sudah selesai!" kata Frans dengan yakin dengan tangan yang masih memegang kuas.
Ruangan itu sunyi selama beberapa detik yang terasa seperti keabadian.
Anna akhirnya menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca. "Itu... luar biasa," pekiknya.
Matthew masih terdiam. Ia melangkah pelan mendekati lukisan itu, menatapnya lama.
Anna segera mendekati pamannya dan berkata.
"Paman, bagaimana?" tanya Anna penuh harap.
Lalu dengan suara berat namun jujur, ia berkata,
"Frans, selamat. Mulai hari ini, kanvas Maison de Lumière milikmu."
Anna menoleh ke Frans, tak percaya dengan apa yang baru saja disaksikannya. Dia tidak bisa menahan dirinya. Dia begitu senang sampai langsung menghambur ke pelukan Frans.
Di kehidupan lalunya. Frans berusaha mengikuti tes masuk menjadi pelukis galeri ini. Tapi justru karena Ferdi menghasutnya, takut Frans akan menjadi jumawa setelah terkenal. Anna menggagalkan usaha Frans itu. Sampai Frans harus kembali bekerja mati-matian. Sekarang, tidak akan lagi. Anna akan pastikan Frans mendapatkan apa yang pria itu impikan.
Mata Anna berkaca-kaca, dan detik berikutnya dia menangis. Isakan itu terdengar, Frans yang mendengar itu segera menarik dirinya.
"Anna" lirih Frans menyeka air mata Anna.
"Kenapa menangis? aku sudah menerimanya kan?" tanya Matthew pada Anna.
Anna menoleh ke arah Matthew, masih dengan mata merah dan sisa air matanya.
"Paman, bisakah gajinya di bayar di muka?" tanya Anna.
Matthew terkekeh. Dia memalingkan wajahnya sekilas. Lalu menoleh lagi ke arah Anna sambil tersenyum.
"Kapan paman tidak mengabulkan keinginanmu. Ajak dia bertemu Sarah. Minta surat kontrak dan gaji di muka!" kata Matthew.
Anna mengangguk paham.
"Baik paman, terimakasih. Ayo mas!" ajak Anna menggandeng tangan Frans.
"Terimakasih tuan" kata Frans.
Matthew mengangguk, selanjutnya dia mendekat ke arah lukisan yang baru saja di buat oleh Frans itu. Matanya berkaca-kaca.
"Rose, ini benar-benar mirip dengan lukisanmu. Sangat mirip" lirihnya meneteskan air mata.
***
Bersambung...
" hay sayang " 🤣🤣🤣