Pernikahan sudah di depan mata. Gaun, cincin, dan undangan sudah dipersiapkan. Namun, Carla Aurora malah membatalkan pernikahan secara sepihak. Tanpa alasan yang jelas, dia meninggalkan tunangannya—Esson Barnard.
Setelah lima tahun kehilangan jejak Carla, Esson pun menikah dengan wanita lain. Akan tetapi, tak lama setelah itu dia kembali bertemu Carla dan dihadapkan dengan fakta yang mencengangkan. Fakta yang berhubungan dengan adik kesayangannya—Alvero Barnard.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gresya Salsabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berbagi Luka
Melihat kedatangan Tessa, pun dengan tatapannya yang terkejut, Carla mengulum senyum tipis. Lantas, mempersilakan sahabatnya itu untuk masuk dan duduk di kursi yang tersedia.
"Apa yang membawamu kemari?" tanya Carla, seolah tak menyadari tatapan bingung yang dilayangkan Tessa.
"Apa yang kamu lakukan, Carla? Kamu mau ke mana?"
Tessa balik bertanya. Ekor matanya memindai koper dan tas besar di samping tempat duduk Carla, juga meja yang kini lebih kosong karena hampir tak ada barang-barang di atasnya.
"Kamu mau pergi?" lanjut Tessa. Ia langsung teringat dengan ucapan Esson semalam, yang katanya Carla akan segera kembali ke luar negeri. Mungkinkah secepat ini?
"Aku akan ke Jepang lagi. Pekerjaanku di sini sudah selesai," jawab Carla. Dia tak menyembunyikan di mana negara tujuannya. Karena dengan bekerja pada Zayn, orang juga akan langsung menebak negara mana itu.
"Sekarang?"
Carla mengangguk. Lantas memberitahukan bahwa penerbangannya tinggal dua setengah jam lagi.
"Kamu ... kenapa tiba-tiba ke sini? Apa ada masalah lagi?" tanya Carla.
Tessa menarik napas panjang. Lalu menatap Carla dan bicara dengan sedikit bimbang. "Sebenarnya, aku ingin mundur."
"Mundur?" Carla mengulang ucapan Tessa, pasalnya kurang mengerti dengan maksud sahabatnya itu.
"Sebelumnya aku minta maaf, kemarin sangat salah menilaimu, Carla. Aku sampai menuduhmu yang macam-macam karena kecemburuanku sendiri. Padahal ...."
Bibir Tessa mendadak bungkam, kelu lidahnya untuk mengungkit apa yang telah Carla alami. Ikut sakit hatinya membayangkan betapa terluka dan hancurnya Carla saat itu.
"Kamu sudah tahu?" tanya Carla, yang kemudian ditanggapi dengan anggukan.
"Semua sudah berlalu, Sa. Itu hanya kenangan lama yang nggak perlu dibahas lagi. Sekarang aku akan fokus kerja, dan kamu juga fokuslah dengan kehamilanmu. Kita nggak perlu bahas ini lagi. Nggak perlu merasa gimana-gimana karena dulu aku juga yang memilih diam dan nggak cerita apa-apa ke kamu."
"Kamu nggak boleh pergi, Carla!" sahut Tessa dengan cepat. "Aku tahu kamu dan Esson masih saling mencintai. Kamu kembalilah padanya, Carla, hanya kamu yang dia cintai."
Carla tertawa kecil. "Kamu ngomong apa sih? Dia itu suamimu, aku nggak akan kembali ke dia. Selamanya, nggak akan pernah."
"Carla ...."
Carla menarik napas panjang, lantas mengembuskannya dengan berat. "Aku dan dia sudah selesai, Sa. Semua yang berkaitan dengannya itu tinggal kenangan, nggak akan pernah terulang."
"Kamu jangan membohongi diri sendiri, Carla! Aku tahu kamu masih mencintainya, dan aku juga tahu dia masih mencintaimu. Terus terang, aku udah menyerah. Dari awal pernikahan kami, hanya aku yang punya cinta. Hanya saja aku naif dan menganggap hatinya akan mudah berbelok arah. Tapi, sekarang aku sadar, nggak mudah membuat orang jatuh cinta. Aku capek pura-pura bahagia terus, Carla. Bersikap seolah semuanya baik-baik saja, padahal sepenuhnya sadar kalau yang dicintai Esson itu bukan aku."
Mendengar kalimat panjang Tessa, Carla mendadak diam dan gusar. Bukan karena keinginannya untuk kembali kepada Esson, melainkan karena tak enak hati dengan Tessa.
"Apa salahnya sekarang kalian kembali, mengulang semuanya lagi dari awal. Aku pun nanti akan mencari lelaki lain yang bisa mencintaiku. Udah cukup aku punya cinta sendiri, rasanya nggak enak banget."
"Kamu hanya perlu sedikit bersabar, Sa. Esson sudah memilih kamu sebagai istrinya, pasti karena dia juga mencintaimu. Hanya perasaanmu saja yang menganggap dia masih mencintaiku. Sebenarnya dia penasaran saja dengan masalah lama yang bisa dibilang belum kelar, makanya akhir-akhir ini kayak peduli banget. Tapi, setelah semuanya terjawab, aku yakin dia nggak akan gitu lagi kok," jawab Carla, mencoba memberi pengertian pada Tessa.
"Kamu nggak mengerti, Carla, dia itu masih mencintaimu. Dia masih ingin kamu kembali, dia—"
"Tessa, aku sudah nggak ada perasaan apa pun padanya. Dan aku juga nggak akan kembali padanya. Entah kamu mau mundur atau gimana, aku tetap nggak akan kembali lagi dengannya," pungkas Carla dengan suara yang sedikit tertahan, karena sesak di dadanya kembali menyeruak.
"Kenapa? Kamu jangan membohongi perasaanmu sendiri, Carla. Kalau memang masih cinta, perjuangkan lagi. Jangan hiraukan aku, dalam hal ini aku sendiri yang menyerah. Dan soal anak ini, Esson masih bisa menjadi ayahnya meski kami nggak menjadi suami istri lagi."
"Aku tetap nggak bisa. Tessa, cukup ya! Aku nggak mau lagi membahas masalah ini!" Nada suara Carla mulai meninggi, bukti emosi yang mulai tak terkendali.
Sialnya, Tessa bisa melihat semuanya. Dan seperti biasa, ia mendesak Carla untuk berterus terang. Sejak dulu, Tessa memang paling pintar menggiring lawan bicaranya untuk berbagi cerita. Tak terkecuali Carla saat ini, pada akhirnya ia pun mengakui rahasia yang selama ini disimpan rapat untuk diri sendiri.
"Rahimku sudah diangkat, aku nggak bisa punya anak lagi. Jangankan kembali pada Esson, menjalin hubungan dengan lelaki lain yang nggak sesempurna Esson pun aku nggak berani lagi, Sa," ungkap Carla di sela tangis yang tiba-tiba pecah dengan sendirinya.
Sontak jawaban tersebut membuat Tessa syok, sampai menganga dan kehilangan kata-kata, sekadar tangannya yang kemudian sigap memeluk Carla.
"Selama hamil pikiranku terus kacau. Emosiku nggak pernah stabil. Sampai akhirnya bayiku meninggal di dalam kandungan. Aku mengalami pendarahan dan infeksi parah, sampai nyawaku yang hampir dipertaruhkan. Sudah nggak ada pilihan lain, selain mengangkat rahim. Karena jika tidak, infeksi itu akan membuatku mati," lanjut Carla.
Tanpa bisa ditahan, air mata Tessa berderai. Sesak dadanya mendengar penuturan Carla, begitu besar badai yang harus dilalui sahabatnya sendirian. Sementara waktu itu, dirinya di sini justru sibuk menjalin hubungan baik dengan Esson.
"Maafin aku, Carla," bisik Tessa di sela isak tangisnya. Meski banyak kalimat yang malang melintang di kepala, tetapi hanya 'maaf' itulah yang mampu dia ucap.
"Nggak perlu minta maaf, semua ini bukan salahmu. Aku sendiri yang terlalu takut dan memilih menyendiri, menjauh dari orang-orang yang kukenal."
"Carla ...."
"Tolong simpan ini untuk dirimu sendiri, Sa, jangan katakan pada orang lain, termasuk Esson."
"Tapi, Carla." Tessa mengurai pelukan, ada gurat keraguan di balik tatapan lekatnya.
"Aku nggak mau dia semakin merasa bersalah karena ini berhubungan dengan adiknya. Lagi pula aku sudah damai dengan hidupku yang sekarang."
Tessa tak menyahut. Namun, tatapannya sedikit pun tak beralih dari wajah Carla.
"Jangan berpikir untuk mundur lagi. Esson adalah suamimu, lelaki milikmu. Jaga dia baik-baik. Aku yakin dia juga nggak mau kok pisah darimu," sambung Carla sambil tersenyum—meski matanya masih memerah.
"Tapi ...."
"Sudah, pulanglah! Aku mau berangkat ke bandara. Ingat ya, jangan katakan hal ini pada siapapun."
Usai berucap demikian, Carla meraih tas dan koper yang akan dia bawa pergi. Sedangkan Tessa, mau tidak mau ikut keluar juga dari ruangan itu.
Bersambung...
Carla kenapa? beres2 barang?
Penderitaan Carla sungguh sungguh menyakitkan 🥲🥲🤗🤗
Jadi untuk apa memperdalam kisah yng sdh lewat ikhlas kan aja Son , cerita mu dngn Carla sdh selesai 😠😠🤣