Jadi dayang? Ya.
Mencari cinta? Tidak.
Masuk istana hanyalah cara Yu Zhen menyelamatkan harga diri keluarga—yang terlalu miskin untuk dihormati, dan terlalu jujur untuk didengar.
Tapi istana tidak memberi ruang bagi ketulusan.
Hingga ia bertemu Pangeran Keempat—sosok yang tenang, adil, dan berdiri di sisi yang jarang dibela.
Rasa itu tumbuh samar seperti kabut, mengaburkan tekad yang semula teguh.
Dan ketika Yu Zhen bicara lebih dulu soal hatinya…
Gerbang istana tak lagi sunyi.
Sang pangeran tidak pernah membiarkannya pergi sejak saat itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon souzouzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemana Arus Kas Dengan Pemasukan Sebesar Ini Hilang?
Pagi itu, udara di Lembah Utara terasa dingin.
Kabut tipis menyelimuti tanah keras yang retak karena musim kering.
Namun di bawah langit abu-abu itu, sesuatu yang baru mulai berdenyut: harapan.
Di depan balai bekas penyimpanan hasil bumi,
sebuah meja panjang sederhana didirikan.
Bendera kecil bertuliskan "Perekrutan Resmi Proyek Logistik Pangeran Keempat" berkibar pelan ditiup angin.
Ratusan rakyat berkumpul—mereka datang dari segala penjuru lembah:
petani renta, ibu-ibu kurus menggendong bayi, pemuda dengan pakaian robek,
bahkan anak-anak kecil yang matanya berbinar penuh keingintahuan.
Pangeran Keempat—Rong Jing Rui—berdiri di depan meja itu.
Bajunya abu-abu polos, tanpa lambang kerajaan mencolok.
Hanya sabuk kulit sederhana dan sebuah gulungan daftar di tangannya.
"Hari ini," suaranya tidak keras, tapi menembus kabut,
"kami membuka perekrutan untuk pembangunan pusat logistik."
"Siapa pun yang mampu bekerja akan diterima.
Pekerjaan disesuaikan kekuatan masing-masing.
Dan semua pekerja akan diberi upah dan makanan...
Tanpa pungutan. Tanpa tipu muslihat."
Sunyi sejenak.
Seolah lembah ini tak berani mempercayai apa yang baru saja didengar.
Lalu, di antara kerumunan, seorang pria tua bertongkat berlutut tiba-tiba.
"Tuanku..." suaranya serak, seolah tak percaya,
"Benarkah...? Kami... yang biasa hanya membayar pajak...
...boleh bekerja...?
...dan diberi makan...?"
Jing Rui melangkah pelan mendekatinya.
Ia sendiri, tanpa pengawal.
Membungkuk sedikit.
Dan membantu pria itu berdiri dengan kedua tangannya.
"Bukan 'boleh'.
Ini hak kalian."
Suara terisak mulai terdengar.
Seorang ibu muda menggenggam erat tangan anak kecil di sampingnya,
menangis diam-diam di balik selendang compang-camping.
"Aku... aku tidak perlu menggadaikan satu-satunya tanahku lagi..."
"Anakku bisa makan tiga kali sehari..."
"Suamiku bisa kerja tanpa harus meninggalkan desa ini..."
Bisik-bisik itu mengalir seperti arus air di tanah kering.
Lalu, satu per satu, orang-orang mulai berlutut.
Bukan karena protokol.
Bukan karena ketakutan.
Tapi karena rasa syukur yang terlalu berat untuk ditahan.
Jing Rui berdiri diam.
Matanya menyapu barisan wajah penuh luka.
Wajah penuh kelaparan.
Wajah penuh harap kecil yang dipendam bertahun-tahun.
Dadanya terasa sesak.
Sebuah perasaan bersalah menyesak di tenggorokannya.
“Seandainya pusat tak lalai...
seandainya aku diutus datang lebih awal...
seandainya kami benar-benar memperhatikan dari dulu...”
Ia mengepalkan tangan di balik lengan bajunya.
Menahan rasa sakit yang lebih berat dari luka apapun.
“Mereka... bukan angka di laporan pajak.
Mereka adalah manusia.”
Tak jauh dari balai perekrutan,
di sudut pasar kecil yang biasa sepi seperti tanah kuburan,
pagi itu terasa berbeda.
Panci besar mulai dipoles.
Keranjang-keranjang jagung tua ditata.
Dan aroma singkong panggang memenuhi udara.
Beberapa pedagang, yang biasanya hanya duduk lesu di balik lapak kosong,
sekarang sibuk menyusun beras, membersihkan ikan asin,
dan menumpuk lobak yang hampir layu.
Keramaian yang jarang sekali muncul.
Di sela-sela lapak,
seorang anak kecil berlari-lari, menarik lengan ibunya.
"Ibu! Kenapa pasar hari ini rame sekali?"
tanyanya polos, matanya membulat heran.
Si ibu tersenyum, tapi juga menghela napas panjang sambil tetap menakar tepung di timbangan karatan.
"Karena ada pangeran yang datang, Nak.
Dia membuka banyak pekerjaan,
dan semua pekerja butuh makan.
Makanan itu beli dari warung-warung kita."
Anak itu tampak bingung.
Ia melihat karung beras bertumpuk, roti kering disusun tinggi-tinggi, bahkan potongan daging—
sesuatu yang jarang dilihat dalam jumlah sebanyak ini.
"Sebanyak ini...?
Kenapa biasanya nggak ada?"
Ibunya tersenyum getir.
Tangannya berhenti sejenak menakar.
Matanya memandang kosong ke arah kabut tipis di kejauhan.
"Karena dulu...
orang-orang di sini terlalu miskin, Nak."
"Kalaupun kami punya sayur untuk dijual...
siapa yang mau beli?
Tidak ada yang punya uang."
"Di pasar ini...
bukan karena tak ada barang.
Tapi karena tidak ada daya beli."
Suara ibu itu lirih, hampir seperti membisikkan pelajaran hidup.
"Kalau orang lapar... tapi tidak punya uang...
maka pasar pun akan mati.
Sehebat apapun hasil panen...
kalau rakyat miskin, semuanya tetap kosong."
Anak itu mendengarkan, mengangguk kecil, meski tidak sepenuhnya mengerti.
Tapi itulah realita ekonomi yang sederhana:
Tanpa kesejahteraan,
tidak ada perdagangan.
Tanpa perdagangan,
tidak ada kemakmuran.
Di sudut lain,
seorang lelaki tua pemilik warung teh,
mengelap gelas-gelas tuanya dengan tangan gemetar.
"Sudah hampir tiga tahun," gumamnya pada sahabatnya yang membawa daun bawang,
"aku tak pernah lagi menjual dua keranjang penuh dalam sehari."
"Tapi hari ini... baru setengah pagi, aku sudah kehabisan."
Mereka saling berpandangan.
Tidak berkata apa-apa lagi.
Karena air mata sudah cukup mewakili rasa syukur mereka.
Pihak kediaman pangeran yang mengatur dapur umum,
membeli semua bahan pangan tanpa menawar,
dan mencatat semuanya di kuitansi resmi.
"Serahkan saja kuitansi ini ke kediaman cadangan," kata kasir muda dari pihak P4.
"Semua akan dibayar penuh."
Para pedagang, yang terbiasa hidup dalam curiga dan ketakutan, menatap kuitansi itu dengan ragu-ragu.
Tapi ketika mereka melihat stempel resmi, dan mendengar kata-kata 'dibayar penuh',
bibir mereka mulai bergetar.
Salah satu nenek tua bahkan berlutut di depan kasir muda itu—
bukan karena paksaan,
tapi karena syukur.
Namun tak jauh dari kerumunan yang merayakan dapur umum baru,
seorang pria bertopi rendah berdiri di antara bayang-bayang.
Tubuhnya setengah tersembunyi di balik gerobak kosong.
Wajahnya keras.
Matanya menyipit dingin saat menatap para pekerja yang riang,
anak-anak yang tertawa sambil menggenggam roti hangat.
Dia mengatupkan rahangnya,
lalu perlahan memutar tubuhnya,
dan melangkah pergi tanpa suara,
menghilang di antara kabut yang mulai menebal.
Langkahnya cepat, terlatih,
menuju tempat di mana rencana lama...
yang nyaris hancur karena satu malaikat abu-abu...
masih bisa disulut kembali menjadi bara.
Di sisi lain, di ruang kerja pribadi pangeran keempat. Lian He memegang gulungan kertas tagihan.
Berat.
Bukan karena tinta atau kainnya.
Tapi karena angka-angka di atasnya.
Ia menunduk sedikit, menghela napas panjang.
"Yang Mulia..."
"Tagihan logistik harian... sangat membengkak.
Makanan, bahan bangunan, obat-obatan, gaji pekerja...
Kalau ini terus berlanjut sebulan saja..."
"...apakah kita mampu membayar semuanya?"
Suara itu tidak bernada mengeluh.
Tapi lebih pada peringatan setia.
Jing Rui tidak langsung menjawab.
Ia mengambil gulungan itu dari tangan Lian He, menatap angka-angka besar yang tertulis di sana.
Lalu menurunkannya perlahan.
Matanya menatap jauh ke lembah yang mulai penuh dengan asap dapur dan suara riang pekerja.
Suara angin berdesir pelan.
Burung kecil melintas di atas mereka.
"Sangat bisa, Lian He," katanya akhirnya, suaranya dalam dan tenang.
"Negara ini... sangat kaya."
Ia mengangkat wajahnya, seolah berbicara pada langit kelabu.
"Di negeri ini ada tambang emas, tambang perak, tambang batu giok.
Ada hutan kayu terbaik.
Ada sawah terluas di selatan, ladang teh di barat, dan jalur rempah yang menghubungkan kita ke dunia.
Tapi entah kenapa... rakyat tetap lapar."
"Pajak mereka tinggi.
Barang dagangan mereka dibeli murah.
Dan emas ini pun...
tak pernah kembali menjadi rumah bagi mereka."
Tangannya mengepal di balik lengan jubahnya.
"Entah karena kesalahan Ayah...
...yang terlalu sibuk mempercayai laporan kasim dan menteri..."
"...atau karena aku...
...yang baru bisa melihat semua ini setelah datang sendiri ke tempat ini."
Lian He menunduk dalam-dalam.
Mendengarkan. Menyerap.
Karena ia tahu, kata-kata ini... bukan hanya keluhan.
Ini sumpah.
"Tapi sekarang," lanjut Jing Rui, suaranya tajam perlahan,
"Ayah sudah memberiku hak.
Hak untuk mengambil alih proyek di Utara.
Hak untuk menyelidiki.
Hak untuk membongkar."
Ia menoleh ke Lian He, matanya setenang dan setajam es musim dingin.
"Dan aku bersumpah, sebelum proyek ini selesai...
aku akan tahu ke mana arus kas sebesar ini menghilang.
Aku akan tahu...
...siapa saja tikus yang selama ini memakan emas rakyat."
Angin bertiup sedikit lebih kencang, masuk melalui celah jendela, mengibaskan tirainya.
Seolah merespon sumpah itu.
Masih trauma dengan kesalahan diri
Sudah pencet bintang 5 untuk seorang author
Begitu muncul hanya 3.
Dan akhirnya kena block.
Berasa berdosa sama sang author
Vote terimakasih untukmu
Sekalipun cara yg di tempuh salah.
Orang tak bersalahpun menjadi korban
Hingga menjatuhkan menjadi keharusan
Riwayat sebuah propinsi kaya yg rakyatnya menderita
Kesenjangan yg di sengaja
yang memaksakan kehendak lewat cara tetcela.
Demi keamanan dan kenyamanan Yu zhen
Semoga Yu Zhen tetap baik baik
Tolong jangan bermain dengan perasaan dulu..
Sebelum semua baik baik saja
Kalem tapi tegas
Tetaplah tumbuh dengan karaktermu
cerita bagus begini kenapa sedikit sekali peminatnya
Semoga rasa yg ada,tak berbuah petaka kedepannya