jhos pria sukses yang di kenal sebagai seorang mafia, mempunya kebiasaan buruk setelah di selingkuhi kekasih hatinya, perubahan demi perubahan terjadi dia berubah menjadi lebih kejam dan dingin, sampai akhirnya dia tanpa sengaja membantu seorang gadis mungil yang akan menjadi penerang hidupnya. seperti apakah kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7
“Roman, kita ke kantor Jonson sekarang,” perintah Jhos segera setelah sambungan telepon terputus.
“Baik, Tuan. Sepertinya Tuan Jonson ingin bermain dengan Anda,” kata Roman dengan nada tenang. Sepuluh tahun bekerja untuk Jhos membuatnya hafal betul bagaimana sifat Jonson yang licik dan penuh dendam. Ia juga tahu bahwa Jonson tidak pernah menyukai sepupunya itu.
“Kamu benar. Tapi bagaimanapun juga, dia tetap sepupuku. Kita harus bermain halus dulu. Kalau dia mulai kasar, baru kita balas,” ujar Jhos mantap. Roman tersenyum puas mendengar jawaban itu. Ia selalu kagum pada cara berpikir Jhos yang cerdas dan tenang, berbeda jauh dengan Jonson yang sempit dan impulsif.
Di kantor Anjasmara, Jonson sedang duduk santai di kursi kebesarannya, menikmati waktu bersama seorang wanita dewasa di pangkuannya. Wajahnya dipenuhi senyum puas.
“Tuan, Tuan Jhos sudah di lobi. Dia datang sendirian, tanpa membawa seorang gadis pun,” lapor seorang bawahan yang masuk terburu-buru.
“Bagus. Sekarang cari tahu di mana Nisa berada dan segera laporkan padaku,” perintah Jonson sambil menepuk-nepuk lengan wanita di pangkuannya, menyuruhnya pergi. Ia ingin menyambut kedatangan Jhos secara langsung.
Tak lama, pintu ruangan terbuka. Jhos melangkah masuk bersama Roman.
“Hai, Jhos. Aku kira kamu tak akan datang. Silakan duduk,” sapa Jonson dengan senyum basa-basi.
“Kau pasti tahu alasan kedatanganku. Sekarang jawab, di mana Anita?” tanya Jhos tanpa basa-basi.
“Hehe, tenanglah dulu. Tidak bisakah kita bicara santai dulu? Aku tak akan menyakiti Anita. Dia baik-baik saja,” jawab Jonson santai, seolah menikmati permainan ini.
“Jangan buang waktuku, Jonson! Katakan!” bentak Jhos, emosinya mulai naik.
Jonson tersenyum puas. Ia suka melihat Jhos terpancing. Dengan tenang, ia menyerahkan ponselnya, memperlihatkan foto Anita yang terikat di sebuah kursi di gedung kosong.
“Jonson! Di mana itu?!” Jhos mendongak, nadanya naik setingkat lebih tajam.
Namun sebelum menjawab, ponsel Jonson berdering. Ia mengangkatnya santai.
“Ya, katakan.”
“Tuan, Nisa sekarang berada di rumah. Dia sedang menemani ayahnya,” lapor Niji di seberang.
“Bagus. Terus awasi dia,” balas Jonson sebelum memutus panggilan dan kembali menatap Jhos.
“Baiklah, Jhos. Anita ada di Pantai Anka. Silakan ke sana. Aku kagum, kau masih setia padanya hingga datang menemuiku sendiri,” ucap Jonson, penuh kemenangan. Dalam benaknya, Jhos adalah bidak yang sedang ia arahkan ke perangkap. Sementara itu, ia sendiri akan menemui Nisa dan menebar racun di antara mereka.
Tanpa membalas sepatah kata pun, Jhos berbalik dan keluar. Jonson tertawa puas melihat punggung sepupunya menghilang.
Di tempat lain, Anita memegang ponsel dengan ekspresi ketakutan yang dibuat-buat. “Jhos… Tolong aku… Aku takut… Mereka ingin menyiksaku…”
“Tenang, aku dalam perjalanan. Bertahanlah, Anita,” jawab Jhos panik. Ia tidak akan pernah membiarkan Anita terluka. Ia ingat janjinya pada ayah Anita semasa remaja, bahwa ia akan selalu melindunginya.
Begitu telepon ditutup, Anita tersenyum puas.
“Hai, ambilkan aku makanan. Aku lapar,” perintahnya santai. Para anak buah Jonson langsung bergerak, tak berani membantah.
“Ini tawanan atau bos, sih?” gumam mereka. Tapi mereka tahu lebih baik menurut, karena Jonson bisa jadi sangat kejam pada yang membangkang.
Empat jam kemudian, Jhos tiba di gedung kosong di Pantai Anka. Di depan pintu, sekelompok pria bertubuh kekar menghadangnya. Tanpa banyak bicara, Jhos langsung menyerang.
Satu per satu, mereka tumbang. Pukulan dan tendangan Jhos tepat sasaran. Roman yang hendak membantu hanya terpaku melihat betapa tangguhnya pria yang ia layani selama ini.
“Hanya satu orang melawan hampir lima puluh orang? Gila…” gumam Roman terkesima.
Setelah semua lawan terkapar, Jhos menaiki tangga. Suara teriakan dari atas membuatnya berhenti.
“Jhos, aku di sini!” Anita berteriak.
Ia segera bergerak ke arah suara, tapi sebuah pukulan tiba-tiba mengarah ke wajahnya. Dengan cepat ia menghindar dan membalas dengan tendangan keras.
“Buk!”
Tubuh pria besar itu terpental dan jatuh dari atas gedung. Ia tewas seketika.
Sementara itu, Jonson tiba di rumah Nisa. Ia langsung menyapa dengan percaya diri.
“Halo, Tuan. Saya Jonson, calon menantu Anda,” katanya kepada Ferdinan, ayah Nisa.
“Halo? Siapa Anda?” Nisa tampak geram.
“Aku tidak salah orang. Kau Nisa, dan aku pacarmu,” ujar Jonson santai. Ferdinan tersenyum.
“Benar ini pacarmu, Nisa? Kenapa tak pernah dikenalkan ke ayah?” tanya Ferdinan.
“Ya, Tuan. Nisa hanya belum ingin mengenalkan saya sebelum serius menikah. Maka saya datang sendiri,” tambah Jonson meyakinkan.
“Semua itu bohong, Ayah! Aku bahkan tidak mengenalnya!” bentak Nisa, kesal.
“Hei, kamu harus sambut pacarmu. Ayah mau pergi bekerja dulu,” ujar Ferdinan santai.
Setelah Ferdinan pergi, Nisa menatap tajam.
“Apa maksudmu datang ke sini? Aku bukan kekasihmu!”
“Ayolah, sayang. Aku janji akan memperlakukanmu baik. Aku lebih baik dari Jhos, lebih kaya pula,” Jonson mencoba mendekat. Nisa menepis tangannya.
“Singkirkan tanganmu! Aku tidak mau, dan aku minta kamu pergi sekarang!”
Jonson tersenyum licik. “Kalau tak percaya, lihat ini,” katanya sambil menunjukkan foto Jhos yang sedang memeluk Anita saat menolongnya.
Hati Nisa terasa sesak.
“Kau lihat? Jhos sudah memilih Anita. Kau hanya alat baginya.”
Tanpa berkata-kata, Nisa berbalik dan berlari keluar. Ia menahan air mata dan berhasil menghentikan taksi.
Kenapa aku merasa begini? Aku bukan siapa-siapa Jhos. Tapi kenapa hatiku sakit sekali...? pikirnya.
Di gedung tua, Jhos berhasil membebaskan Anita.
“Kau baik-baik saja?” tanya Jhos, khawatir.
“Ya, Jhos. Terima kasih. Kalau bukan karena kamu, mungkin aku sudah diperkosa... Astaga…” ucap Anita dengan air mata palsu.
“Tenang, kau aman sekarang. Ayo kita pergi,” ucap Jhos, tak sadar sedang terjebak dalam sandiwara besar.
Nisa pulang ke rumah dengan perasaan yang kalut. Saat membuka pintu, ia mendapati ayahnya tengah makan bersama Jonson. Mereka tampak sangat menikmati makanan yang tersaji di meja.
“Wah, Jonson. Masakan ini enak sekali. Aku jadi teringat almarhum istriku, ibu Nisa, yang juga pandai memasak makanan Barat,” kata Ferdinan dengan antusias.
“Nisa sayang, kamu sudah pulang? Ke mana saja tadi? Ayo, sini, makan. Pacarmu membawakan makanan yang luar biasa enaknya,” ujar Ferdinan sambil tersenyum lebar.
“Tidak, Ayah. Aku sudah makan di luar. Rasanya badanku juga pegal semua. Aku ingin istirahat lebih awal,” jawab Nisa pelan, menolak tawaran makan bersama mereka.
“Apa maksudmu, sayang? Di sini ada pacarmu, loh. Kamu seharusnya menemaninya, bukan malah ingin pergi tidur,” kata Ferdinan dengan nada tegas.
“Tapi, Ayah, aku benar-benar lelah. Aku butuh istirahat,” sahut Nisa, berusaha tetap tenang.
“Ayolah, Nisa. Istirahatnya nanti saja. Temani dulu pacarmu. Ini kan hari pertama dia datang ke rumah kita,” desak Ferdinan lagi.
“Sudahlah, Paman. Mungkin Nisa memang sedang tidak enak badan. Kita saja yang ngobrol, ya? Benar begitu, sayang?” ujar Jonson, berpura-pura membela Nisa sambil mencoba mengambil hati Ferdinan.
“Kau dengar, Nisa? Pacarmu ini sangat pengertian. Apa kamu tidak malu bersikap seperti ini padanya? Maaf ya, Jonson. Nisa memang begitu. Dia terlalu polos,” ujar Ferdinan sambil tertawa kecil, makin menyukai Jonson.
Nisa hanya diam. Perasaannya makin kesal. Ia berbalik dan berjalan menuju kamarnya dengan langkah berat. Kalau saja Ayah tahu siapa Jonson sebenarnya... pria yang pernah mencoba memperkosaku... Apa Ayah masih bisa tersenyum seperti itu? pikir Nisa, menghentakkan kaki dengan kesal.
Tapi, ia sadar, dirinya pun pernah sebodoh itu. Terbuai oleh rayuan manis Jhos hingga kehilangan segalanya.
Keesokan harinya, seperti biasa, Nisa pergi ke apartemen Jhos. Ia masih bekerja sebagai asisten rumah tangga di sana. Namun kali ini, bukan hanya Jhos yang ada di rumah, melainkan juga Anita, seorang wanita cantik yang tengah duduk santai di ruang tamu.
“Jhos, kamu punya pembantu sekarang? Lumayan cantik, ya. Dari wajahnya sih enggak kelihatan kayak pembantu. Tapi dari cara berpakaiannya… cocok juga,” komentar Anita sinis, berpura-pura tidak tahu siapa Nisa sebenarnya.
“Ya, dia mulai kerja empat hari yang lalu. Sekarang, dia juga bisa jadi temanmu di rumah ini. Kamu bisa suruh dia apa saja yang kamu mau,” balas Jhos santai.
Perkataan itu membuat hati Nisa perih. Semalam Jhos mengaku mencintainya, tapi kini... ia memperlakukannya seperti pelayan di depan wanita lain.
“Oh begitu, aku senang punya teman di rumah sebesar ini. Oya, siapa namanya?” tanya Anita sambil memandangi Nisa dengan tatapan menyelidik.
“Namanya Nisa. Nisa, ini Anita te—”
“Ya, saya Anita. Calon istri Jhos,” potong Anita cepat, dengan senyum puas.
Ucapan itu menghantam perasaan Nisa. Ia menggigit bibir, mencoba menahan amarah dan kecewa.
“Maaf, saya permisi melanjutkan pekerjaan,” ucap Nisa datar, tak ingin melihat kemesraan mereka yang bergandengan tangan layaknya suami istri.
“Silakan. Semoga kamu bisa membuat aku betah di rumah ini,” balas Anita sambil merangkul lengan Jhos.
Jhos melirik Nisa, tahu betul gadis itu cemburu. Tapi karena Anita ada, ia memilih diam dan membiarkan semuanya berjalan sesuai rencananya.
“Oya, Nisa. Nanti siang kamu jemput adik perempuanku di bandara. Pesawatnya tiba empat jam lagi. Aku tak sempat menjemputnya,” perintah Jhos.
“Baik, Tuan. Saya akan bersiap,” sahut Nisa dingin, enggan menatap wajah Jhos yang menurutnya munafik.
Di bandara internasional Hua, seorang gadis cantik baru saja turun dari pesawat. Ia tampak celingak-celinguk, mencari sosok wanita cantik yang disebut kakaknya akan menjemputnya.
Sementara itu, Nisa juga sibuk mencari seseorang bernama Sisi. Sayangnya, ia tak tahu seperti apa wajah gadis itu.
Buk!
Nisa tak sengaja menabrak seorang gadis yang tengah berjalan. Gadis itu terjatuh.
“Maaf, Nona! Aku tidak sengaja! Aku sedang mencari seseorang, jadi tidak fokus,” ujar Nisa panik, membantu gadis itu berdiri dan memunguti barang-barangnya.
Gadis itu menatap Nisa, lalu berkata, “Tunggu, Kak! Kakak cari siapa? Kebetulan aku juga lagi cari seseorang.”
“Aku cari adik dari majikanku. Namanya, hmm… Sisi,” jawab Nisa sambil menoleh ke sekeliling lagi.
Gadis itu tersenyum, lalu melambaikan tangan di depan wajah Nisa.
“Hai, Kak. Aku orangnya. Kakak cari siapa lagi? Aku Sisi,” ucapnya riang.
Nisa terbelalak. “Benar kamu Sisi? Jadi kamu yang aku cari?”
“Iya, Kakak Cantik. Tidak percaya? Nih, lihat kartu identitasku,” sahut Sisi sambil menunjukkan ID-nya.
Nisa mengangguk, merasa bodoh karena tak mengenali wajah Sisi yang ternyata sangat mirip Jhos.
“Hai, kenapa Kakak bengong? Aku jelek ya?” tanya Sisi dengan cemberut lucu.
“Tidak! Kamu cantik banget. Aku cuma kaget kamu mirip kakakmu. Ayo, kita pulang,” sahut Nisa sambil tersenyum.
“Tapi kenapa aku enggak merasa mirip ya? Kakak bohong, ya? Eh, Kakak Cantik banget. Cocok deh sama kakakku yang tampan. Boleh enggak aku kenal lebih dekat? Aku mau tahu Kakak pakai apa sih sampai secantik ini. Aku enggak sabar lihat reaksi Kakakku nanti!”
Sisi terus berceloteh tanpa henti. Nisa hanya tersenyum geli. Gadis ini jujur dan menyenangkan, pikirnya.
Saat mereka sudah di dalam mobil, Sisi berkata, “Kakak Cantik, aku lapar. Boleh enggak kita mampir restoran dulu? Aku belum makan sejak pagi.”
Nisa tertawa kecil. “Boleh sih, tapi nanti kakakmu marah. Dikiranya aku ajak kamu jalan-jalan.”
“Tenang aja. Biar aku yang jelasin ke dia. Kalau dia marah, aku yang marahin balik. Masa Kakak tega lihat aku kelaparan?” rengek Sisi sambil cemberut lagi.
Nisa tertawa, lalu mengangguk. Ia tak bisa menolak wajah imut Sisi yang seperti anak kecil itu.
Akhirnya, mereka mampir ke restoran. Sisi bersorak girang dan memeluk Nisa erat-erat.
Awalnya, Nisa mengira adik Jhos akan galak seperti kakaknya. Tapi ternyata, Sisi sangat ceria dan menggemaskan. Mungkin… kedatangannya akan membawa warna baru dalam hidup Nisa.