Nathaniel Alvaro, pewaris muda salah satu perusahaan terbesar di negeri ini, hidup dalam bayang-bayang ekspektasi sang ibu yang keras: menikah sebelum usia 30, atau kehilangan posisinya. Saat tekanan datang dari segala arah, ia justru menemukan ketenangan di tempat yang tak terduga, seorang gadis pendiam yang bekerja di rumahnya, Clarissa.
Clarissa tampak sederhana, pemalu, dan penuh syukur. Diam-diam, Nathan membiayai kuliahnya, dan perlahan tumbuh perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Tapi hidup Nathan tak pernah semudah itu. Ibunya memiliki rencana sendiri: menjodohkannya dengan Celestine Aurellia, anak dari sahabat lamanya sekaligus putri orang terkaya di Asia.
Celeste, seorang wanita muda yang berisik dan suka ikut campur tinggal bersama mereka. Kepribadiannya yang suka ikut campur membuat Nathan merasa muak... hingga Celeste justru menjadi alasan Clarissa dan Nathan bisa bersama.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nitzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Gaun dan Api Kecil
Dua hari lagi ulang tahun Madeline, dan rumah keluarga Alvaro mulai terasa hiruk-pikuknya. Madeline sendiri tampak lebih ceria dari biasanya, bahkan pagi itu ia mengumumkan sebuah kejutan kecil.
"Semua pelayan wanita yang masih muda, ikut aku ke butik nanti sore," katanya saat sarapan. "Kita beli gaun untuk pesta nanti malam. Aku mau semuanya tampil cantik."
Clarissa yang Beridiri di sebelah Nathan yang sedang duduk, langsung berseri. "Aku juga ikut, Nyonya?"
Madeline tersenyum sekilas. "Tentu. Kamu bagian dari rumah ini."
Nathan sempat menatap ibunya, mencoba membaca ekspresinya. Tapi Madeline sudah mengalihkan pandangannya ke Celeste, yang sedang menuangkan teh.
"Kamu wajib ikut, Celeste. Aku sudah lihat gaun warna sage di butik langganan. Warnanya pasti cocok di kulit kamu."
Celeste tersenyum sopan. "Terima kasih, Tante. Saya senang sekali."
Sore harinya, mereka berangkat. Ada Lima orang pelayan muda yang diajak termasuk Clarissa dan Celeste. Mobil besar keluarga Alvaro meluncur ke pusat kota, menuju butik mahal langganan Madeline.
Begitu masuk, butik itu langsung dipenuhi suara kagum para pelayan. Gaun-gaun berkilau digantung rapi, dan para staf butik menyambut dengan ramah.
Clarissa langsung berjalan ke rak gaun paling mencolok. Ia memilih gaun dengan potongan pinggang rendah, penuh payet emas.
"Ini cantik banget, ya?" katanya lantang, sambil memutar tubuhnya di depan cermin.
Beberapa pelayan lain tampak tidak nyaman. Clarissa, yang dulu lebih banyak diam, kini mulai menunjukkan sikap berbeda. Sejak dekat dengan Nathan, kepercayaan dirinya berubah menjadi aura angkuh yang makin terasa. Celeste memperhatikan dari kejauhan, lalu kembali fokus mencari gaun untuk dirinya sendiri.
Saat Celeste sedang mencoba gaun sederhana warna sage seperti yang disarankan Madeline, Clarissa berjalan mendekat dan berdiri di belakangnya.
"Warnanya... agak pucat, ya? Kamu jadi kelihatan makin datar."
Celeste menoleh pelan. "Mungkin memang nggak semua orang cocok dengan warna-warna mewah."
"Ya, memang. Tapi kalau aku sih, untungnya cocok pakai warna apa pun." Clarissa tertawa kecil, tapi terdengar menyengat.
Pelayan lain yang mendengar itu saling melirik. Mereka sudah lama memperhatikan perubahan sikap Clarissa. Dulu, ia ramah dan santun seperti pelayan lainnya. Tapi sekarang, ia sering mengatur, bicara semaunya, bahkan terkadang menyuruh orang seenaknya.
"Coba kamu yang ini aja deh, Celeste," ucap seorang pelayan lain bernama Liana, sambil menyodorkan gaun biru lembut. "Menurutku lebih cocok sama kamu." ya semua pelayan, Celeste meminta sebagai temannya hingga tak perlu memanggilnya nona.
"Iya, bener. Kamu tuh lebih cantik kalau pakai warna-warna adem," tambah yang lain.
Clarissa menyipitkan mata. "Kalian serius? Gaun biru itu model lama. Celeste bisa kelihatan kayak ibu-ibu."
"Yang penting sopan dan anggun, kan? Bukan kayak mau pergi ke klub malam," gumam Liana pelan.
Clarissa mendengarnya, wajahnya memerah. Tapi sebelum ia sempat membalas, Madeline muncul dari balik tirai fitting room.
"Sudah siap semua? Coba keluar dan perlihatkan padaku."
Mereka semua keluar bergiliran. Saat Celeste melangkah, Madeline tersenyum puas. "Nah, ini baru calon nyonya Alvaro. Anggun, kalem, dan tahu diri."
Clarissa menahan napas. Komentar itu menusuk. Tapi ia hanya tertawa kecil dan melenggang sambil memamerkan gaun emasnya.
"Saya suka yang ini, Bu. Pas banget untuk wanita muda yang percaya diri."
Madeline tersenyum tipis. "Kalau kamu yakin, pakai saja. Tapi ingat, percaya diri itu beda dengan mencolok. Jangan sampai jadi bahan bisik-bisik."
Clarissa nyaris tak bisa menutupi kekesalannya. Namun ia tetap tersenyum manis, pura-pura tidak terganggu. Setelah semuanya membayar dan keluar dari butik, suasana di dalam mobil jadi canggung.
Beberapa pelayan mulai membicarakan sikap Clarissa di belakang, pelan-pelan. Celeste mendengarnya, tapi ia tidak ikut campur. Ia hanya menatap jendela, membiarkan pikiran melayang.
Di satu sisi, ia kasihan pada Clarissa. Tapi di sisi lain, ia tahu... orang yang terlalu tinggi mengangkat dirinya sendiri, biasanya akan lebih keras jatuhnya.
Dan malam ulang tahun Madeline hanya tinggal dua hari lagi. Panggung untuk sandiwara dan kenyataan, akan segera dibuka.