Teruntuk semua perempuan di luar sana yang masih berjuang untuk bahagia dengan caranya masing-masing.
Ini tentang Bara Wirya. Seorang wartawan kriminalitas yang sedang mengulik kehidupan Dijah yang mengganggu pikirannya.
***
"Kamu ini tau apa sih? Memangnya sudah pernah beli beras yang hampir seperempatnya berisi batu dan padi? Pernah mulung gelas air mineral cuma untuk beli permen anak? Kalo nggak pernah, nggak usah ngeributin pekerjaan aku. Yang penting aku nggak pernah gedor pintu tetangga sambil bawa piring buat minta nasi."
Bara melepaskan cengkeraman tangannya di lengan Dijah dan melepaskan wanita itu untuk kembali masuk ke sebuah cafe remang-remang yang memutar musik remix.
Bara menghela nafas keras. Mau marah pun ia tak bisa. Dijah bukan siapa-siapanya. Cuma seorang janda beranak satu yang ditemuinya di Kantor Polisi usai menerima kekerasan dari seorang mantan suami.
Originally Story By : juskelapa
Instagram : @juskelapaofficial
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Berburu Berita
Selamat Hari Pendidikan,
Jangan lupa tombol like-nya ditekan.
Selamat membaca,
************
"Kemarin kamu nginep di mana?" tanya Bu Yanti pada anak sulungnya.
"Di rumah temen," jawab Bara.
"Siapa?"
"Mesti dibilang? Bara udah dewasa lho Bu," sahut Bara sambil menambahkan gula ke dalam cangkir tehnya.
"Ibu cuma mau ngingetin soal kuliahmu. Jangan kebanyakan main. Kamu juga bisa ngajar di kampus."
"Aku suka di kantor Eyang. Darah jurnalisnya Eyang mengalir dalam diriku dan Mas Heru."
"Semoga Heru bisa bimbing kamu bener-bener ya. Ngomong-ngomong Joana apa kabar?" tanya Bu Yanti.
"Terakhir kali ketemu baik-baik aja," sahut Bara. Ia langsung meneguk tehnya sampai tuntas.
"Nggak kamu ajak ke rumah lagi?"
"Ajak? Kemarin Joana yang dateng sendiri. Bukan karena kuajak. Kapan aku pernah ngajak cewe ke rumah?" Bara balik bertanya menatap ibunya.
"Anak adik kamu aja udah dua. Selesai kuliahnya udah cocok nikah. Ibu suka Joana," ujar Bu Yanti.
"Ibu yang suka, aku sih suka sebagai temen aja. Nggak ada feel Bu. Rasanya datar-datar aja," balas Bara.
"Feel itu perlu Bu, kalau nggak ada feel Ibu juga nggak akan mau sama Ayah." Pak Wirya datang menuju meja makan dengan sebuah koran di tangannya.
"Ya terserah, ibu kan cuma ngingetin Bara soal berumahtangga. Ketimbang ke sana kemari pecicilan nggak tentu. Mending di rumah main sama anaknya. Itu kemarin ibu juga masih curiga nginep di mana. Asal kamu yang bener-bener aja Ra..." Bu Yanti tampaknya sudah sedikit pasrah terhadap anak sulungnya yang sejak dulu memang banyak bermain ketimbang menyikapi hidupnya dengan serius.
"Aku suka sama narasumberku," gumam Bara.
"Yang kamu bilang kasihan karena perlakuan mantan suaminya?" tanya Pak Wirya sedikit serius.
"Hati-hati kamu. Dia sudah terluka karena orang lain dan stigma yang melekat dengannya itu berat. Sedikit saja perlakuan kamu salah jadinya bakal lebih melukai. Psikologisnya bakal kena. Sekarang aja mungkin kalau konsultasi ke ayah, dia pasti ada trauma. Kamu jangan main-main. Kalau kasihan, kamu harus bisa profesional. Kalau lebih dari kasihan, kamu sudah dewasa." Pak Wirya menepuk lengan anaknya.
Bara mengangguk-angguk mendengar perkataan ayahnya.
"Jangan lupa kuliahnya Ra, selesaikan cepat. Kalau udah berumahtangga, nanti makin males. Urusan kamu juga udah bukan cuma kuliah aja." Bu Yanti kembali memperingatkan anaknya.
"Iya... Amanlah kuliah. Ibu tenang aja. Tesis udah mau kelar, paling lama awal tahun depan udah wisuda. Bara berangkat dulu ya, mau ke nyari hape baru." Bara menggeser kursinya dan berdiri.
"Hape kamu rusak?" tanya Bu Yanti menoleh ke arah Bara yang sedang melintasi ruang keluarga.
"Bukan untukku. Untuk Dijah. Narasumberku namanya Dijah!" seru Bara seraya menyambar ranselnya tanpa menoleh.
"Si Joana masih sering nelfon nanyain kabar kita dan Bara?" tanya Pak Wirya saat Bara telah lenyap dari pandangannya.
"Masih, gimana ya..." Bu Yanti tampak berpikir-pikir.
"Ibu juga harus bisa profesional. Setiap anak punya hak yang sama. Kita wajib membimbing, selanjutnya hak menjalani kehidupan tetap berada di tangan mereka. Hakekatnya kehidupan itu untuk bahagia. Ibu juga pasti mengajarkan hal seperti itu pada mahasiswa di kelas." Pak Wirya mulai menyantap roti panggangnya.
"Iya--iya, ayah benar lagi. Yang penting sudah diingatkan. Asal Bara nggak berubah jadi aneh-aneh aja," sahut Bu Yanti.
*****
Bara baru saja tiba di kantornya lewat jam makan siang sambil menenteng sebuah paperbag bertuliskan nama toko ponsel.
Ia mendatangi mesin absen untuk meletakkan ibu jarinya di sana kemudian berjalan ke balik mejanya dan menghempaskan tubuhnya di sebuah kursi hitam.
Hari Jumat, biasanya kalau dia bertugas meliput berita politik atau ekonomi, hari Jumat cukup santai. Tapi lain halnya dengan dunia kriminal yang tak mengenal waktu.
Pada hari apa saja, setiap waktu, kriminalitas bisa saja terjadi. Senin sampai sabtu, hari kerja ataupun hari libur nasional. Kantor polisi nyaris tak pernah sepi. Hari Jumat itu Bara berniat mengedit tesisnya di Kantor.
Bara mulai menyalakan komputernya dan membuka file tempat ia di mana menyimpan lembaran tesis yang sudah nyaris selesai. Ia mencari bab di mana ia mencantumkan nama narasumber. Isi kepalanya langsung menyuguhkan ingatan soal Dijah dan waktu yang dihabiskannya mencumbui perempuan itu hampir semalaman.
Bara menyentak keyboard komputer dan mendengus kasar. Kapan selesainya tesis ini kalau pikirannya terus menerus membayangkan narasumbernya, pikir Bara. Apa ia yang telah salah memilih narasumber?
Sore nanti Dijah akan ke politeknik negeri untuk tugas pertamanya jadi SPG Rokok. Bara sudah bisa membayangkan di mana Dijah akan mulai menjajakan rokoknya mengingat lokasi belakang kampus itu dipenuhi jajaran warung kopi dan angkringan kaki lima yang selalu dipadati mahasiswa.
Setelah menghembuskan nafas kasar, Bara meraih ponselnya dari saku dan mencari nama Bayu pada daftar panggilan.
"Lo di mana?" tanya Bara langsung saat Bayi menjawab teleponnya.
"Ada di belakang kantor lagi makan. Kenapa?" tanya Bayu di seberang.
"Temenin gue entar sore. Ke kampus Poltek," pinta Bara langsung.
"Ngeliput ya? Ke kampus? Ada apa? Demo mahasiswa?" Bayu yang junior memang masih polos. Dan soal senior yang masih bebas memerintah dan meminta bantuan yang sulit ditolak junior, masih berlaku di banyak lingkungan.
"Iya, demo mahasiswa. Makanya temenin gue, entar gue boncengin aja. Enggak usah bawa-bawa mobil kantor yang ada pemancarnya itu." Bara menutup mulutnya karena khawatir akan tertawa.
"Siap Mas! Ada yang lain lagi?" tanya Bayu.
"Enggak, itu aja. Jam 6 gue cari Lo, jangan kelayapan."
"Siap Mas!" sahut Bayu sigap. Padahal kalau dipikir-pikir pun, Bara masih tergolong baru di kantor itu. Tapi karena berhubung direksinya adalah sepupunya dan perusahaan itu milik Eyangnya, Bara menerima banyak keseganan dari karyawan yang berada di sana.
*****
"Kalo ngeliput demo, apa nggak sebaiknya kita bawa mobil aja. Motor Mas Bara terlalu bagus, malah bikin repot nanti. Jadi perhatian. Bisa hancur kalo ada aksi lempar-lemparan." Bayu menatap ragu saat Bara telah duduk di atas motornya dan menyerahkan sebuah helm pink milik Dijah.
"Udah ah! Naik! Berisik banget! Pake tu helm," pinta Bara menyalakan mesin motornya.
"Helm pink Mas?" tanya Bayu.
"Iya! Rambut Lo udah dicucikan? Jangan pake helm itu kalo rambut Lo kotor," sahut Bara.
"Wangi kok, baru mandi wajib tadi pagi," sahut Bayu kalem.
"Mandi wajib abis ngapain Lo?"
"Abis nonton film," jawab Bayu polos.
"Jangan kebanyakan, kasian bini Lo entar cuma dapet ampasnya." Bara terkekeh seraya menjalankan motornya meninggalkan tempat parkir kantor.
"Lagi pengen Mas, belum ada lawannya."
"Iya, sama. Aku juga pengen." Bara mengerucutkan bibirnya. Sepotong curahan hati Bayu malah berhasil mengungkapkan isi hatinya.
Ingin mencari partner dan teman hidup tapi harus lulus S2. Padahal KUA tak pernah meminta ijazah sebagai syarat menikah. Bara pun resah, padahal ingin segera menghalalkan Dijah.
Motor yang dikendarainya menuju ke sisi barat kota mereka. Melewati jalan antar lintas dan masuk ke kawasan di mana berjajar warung internet, toko alat tulis dan cafe-cafe.
Sudah hampir pukul 7 malam saat Bara memutari jajaran warung kopi untuk mencari tanda-tanda di mana gerombolan SPG rokok biasanya diturunkan dari mobil vannya.
"Demonya di mana Mas?" pertanyaan Bayu menyadarkan Bara kalau ada seseorang yang sedang menumpangi boncengan motornya.
"Iya, di mana ya? Kata Mas Heru di kampus ini. Apa udah kelar?" Bara yang sedikit geli menyahuti Bayu dengan serius.
Saat matanya sedang mencari-cari wanita berpakaian merah, Bara akhirnya menemukan beberapa orang wanita berseragam merah di sebuah warung kopi. Bara melajukan motornya memilih salah satu warung yang kemungkinan besar akan dilewati oleh para SPG itu.
Dijah belum terlihat, tapi menemukan beberapa orang yang sepertinya satu perusahaan dengan wanita itu membuat semangat Bara timbul.
"Kita duduk di sini aja ya, gue mau nunggu sesuatu." Bara memarkirkan motornya dan membuka helm. Bayu turun dengan wajah bingung tapi tetap menurut. Pria muda berusia 24 tahun itu langsung mencari meja kosong dan meletakkan ranselnya di sana.
Bara masih berdiri di depan warung kopi, memandangi jalanan dan semua perempuan yang memakai pakaian merah. Langit telah gelap, tapi cahaya lampu terang benderang yang dipancarkan dari deretan warung tak menyulitkan Bara.
Sekelompok wanita berpakaian merah terlihat mendekat dari arah kanan. Bara menyipitkan matanya. Ia mengenali salah satu dari wanita itu. Tini. Rambutnya yang berwarna merah terkibar bagai kilatan api di kejauhan. Tapi mana Dijah?
"Maaf Mbak, saya nggak ngerokok. Tapi kalau untuk membantu penjualan Mbak, saya mau beli deh. Tukeran sama nomor hapenya boleh?" Suara Bayu terdengar dari arah belakang Bara yang masih sibuk melongok ke jalan.
"Kok gitu? Nggak usah kalau nggak ngerokok. Saya ke meja lain aja. Nggak apa-apa. Makasi..."
"Eh tunggu, sini dulu deh. Itu temen saya belum ditanyain. Kamu udah punya pacar belum?" tanya Bayu lagi. Bara yang kemudian mencerna percakapan yang sedang terjadi di belakangnya langsung menoleh.
Dijah sedang berdiri di dekat Bayu memegang satu slop rokok berkotak merah dengan tampilan yang nyaris tak dikenalinya.
"Kok di sini? Ngapain?" tanya Dijah seketika saat memandang Bara yang juga sedang menatapnya.
Bara terhenyak masih memandang penampilan Dijah malam itu. Sebuah atasan berwarna merah ketat dengan strip putih di kedua sisi lengannya, membalut tubuh Dijah dan menonjolkan sepasang benda yang membuat Bara gagal mengerjakan tesisnya pagi tadi.
Kaki Dijah dibalut stocking hitam tipis menerawang dengan rok pendek yang juga ketat. Sepatu hak tinggi yang dikenakan wanita itu membuat bokongnya terangkat dan memperlihatkan lekuk tubuh nyaris sempurna Dijah yang selama ini tersembunyi di balik pakaian usangnya.
"Ngapain di sini? Berburu Berita?" tanya Dijah lagi.
"Iya..." sahut Bara.
Bara menelan ludahnya. Iya, Dijah benar. Ia sedang berburu. Tapi bukan berburu berita. Tapi berburu wanita yang tak sadar akan pesonanya ini.
Siapa pula yang telah memoles wajah Dijah sampai wanita itu sangat berbeda malam ini. Dia ingin memberi orang itu sebuah tepukan di jidatnya. Bara tak suka Dijah jadi pusat perhatian laki-laki di tempat itu.
"Mbak, kenal Mas Bara ya? Aku boleh minta nomor hapenya kalo gitu?" tanya Bayu lagi.
Bayu yang polos itu tak sadar kalau saat ia sedang menatap Dijah, Bara sedang menonjoknya di dalam pikiran. Bayu pulang naik angkutan atau ojek saja, pikirnya.
Malam itu ia akan menunggui Dijah sampai menghabiskan sisa slop rokok di tangannya dan membawa wanita itu pulang. Kalau perlu ia akan mengunci Dijah di dalam kamarnya.
To Be Continued.....