Terjebak Malam Yang Salah

Nicho menghela napas panjang, apa iya dia harus memberikan cincin itu pada Ganesa? Nicho tak berpikir sejauh itu. Rencananya dulu, memberikan cincin itu pada wanita yang dia cintai. Ganesa? Tak ada cinta untuknya, lalu apa harus dia memberikannya?

"Kenapa diam saja? Apa kau mau aku membatalkan acara ini?" ucapnya seakan mengancam Nicho. Nicho menghela napas panjang, dia mencoba menahan emosi.

"Ambil cincin di laci kamarku sekarang juga, Rangga," ucap Nicho pada akhirnya. Ancaman Ganesa mampu membuatnya tunduk, walau kesal merajai hatinya. Dia pikir Ganesa perempuan lemah, tapi nyatanya dia tak bisa doremehkan.

Rangga membelalakan matanya, dia tau cincin itu dari mama Nicho. Senyum tipis muncul dari sudut bibirnya, mungkin Ganesa wanita yang tepat. Pikirnya, Rangga tak banyak protes. Lelaki itu segera melangkah pergi.

Ganesa menautkan alisnya, ada cincin di laci? Kenapa tidak memberikan sebelumnya? Sangat memuakkan.

"Ambil semua yang akan kau jadikan mahar, hanya cincin dan alat shalat saja yang aku mau," ucap wanita itu dengan santainya.

"Itu hakmu," ucap Nicho.

"Aku bukan wanita matre seperti yang kau pikirkan, aku punya semuanya," ucap Ganesa tampak sombong di hadapan Nicho.

Nicho mengepalkan tangannya, wanita di depannya sangat menguji kesabaran.

"Apapun maharnya, itu urusanku, yang terpenting apa yang menjadi maumu ada. Jangan banyak protes," ketusnya.

"Apa sudah bisa dimulai? Apa sudah selesai bercengkramanya?" tanya seorang petugas KUA kepada Nicho dan Ganesa.

Keduanya menoleh menatap ke arah pak penghulu yang baru datang. Keduanya tersenyum. Ganesa tampak terkejut, tadi dia sudah tidak gugup. Tapi kenapa mendadak gugup?

"Mari, Ayah mempelai, juga saksi, bisa segera mendekat," ucap petugas KUA yang biasanya disebut penghulu itu.

Rangga yang baru saja mengambil cincin segera meletakan cincin itu di atas meja, kemudian duduk bersama dengan keluarga lainya.

Ayah Hendra, Dani dan juga kakek tampak mendekat. Ayah Hendra duduk di depan Nicho, pak penghulu ada di sampingnya. Sedang kakek dan juga Dani berada di samping mempelai.

"Mas Fernando Nicholas Sanjaya?" tanya pak penghulu. Nicho mengangguk pelan.

"Mbak Ganesa Nova Wijaya? Benar?" tanya pak penghulu memastikan data di dalam buku nikahnya.

Ganesa menganggukan kepalanya. Pak penghulu tersenyum dan menatap ke arah Papa Hendra.

"Baik, kita bisa mulai karna wali, saksi, dan mempelai sudah lengkap. Bapak Hendra mau mewakilkan pada penghulu, atau menikahkan putrinya sendiri?" tanya pak penghulu.

"Saya akan menikahkan putri saya sendiri, Pak," jawabnya.

Deg

Jantung Ganesa beedetak hebat, Nicho juga sama. Dia dinikahkan papanya sendiri? Disaksikan kakek dan kakaknya? Bahkan, Sang Pencipta, dan para malaikat juga menyaksikan. Lalu, apa dia masih mempertahankan niat yang salah dalam hatinya atas peenikahan ini?

Ganesa meneteskan air mata, dia menunduk. Papa Hendra mengulurkan tangannya pada Nicho.

Nicho tampak gugup, segera dia membalas uluran tangan papa mertuanya dengan mantab, tangan Nicho terasa begitu dingin dan sedikit bergetar.

Menikah? Nicho memejamkan matanya. Tanggung jawab setelahnya bukan lagi urusan dunia, tapi juga akhirat. Sanggupkah dia merubah niatnya? Berbagai rasa berkecamuk dalam benaknya.

Ganesa menahan sesak di dadanya, rasanya seperti mimpi yang nyata.

Menikah dengannya? Apa ini nyata? Pertanyaan yang mengganggu di fikirannya.

"Bismilahirohmanirohim," ucap Papa Hendra sedikit menghilangkan kegugupan. Tak dipungkiri, beliau juga gugup.

Mendengar ucapan papa Hendra malah semakin membuat Nicho gugup.

"Saudara Fernando Nicholas Sanjaya bin Alm. Mahesa Sanjaya, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan anak perempuan saya Ganesa Nova Wijaya dengan mas kawin uang lima puluh juta, seperangkat alat shalat, perhiasan lima puluh gram, tanah seluas satu hektar dibayar tunai," ucap Papa Hendra sambil menyentak tangannya pada Nicho.

Nicho tampak diam, diam dia juga begitu gugup, lidahnya bergetar seakan kelu dan tak sanggup berkata. Bayangan papa dan mamanya seakan menari di otaknya.

Nyatanya, julukan mafia yang melekat padanya tak berpengaruh apapun dalam ijab qobul yang memang baru pertama kali dia lakukan. Dia seakan tak bisa bicara. Ingatan kejadian malam yang mengharuskan menikah dengan Ganesa seakan mengganggu pikirannya.

Ganesa mengangkat kepalanya, dia menatap Nicho yang tampak sangat gugup dan tak segera mengucapkan qobul pernikahan.

Air mata Ganesa mendesak keluar. Jantungnya berdetak hebat. Kenapa? Apa Nicho ragu? Atau juga gugup seperti dirinya? Atau sengaja dia ingin mengacaukan semuanya?

"Saudara Nicho," ucap papa Hendra.

Nicho tersentak karna gerakan tangan papa Hendra. Dia tersadar, ia mengangkat wajahnya dan menatap papa Hendra. Papa Hendra juga menatap ke arahnya. Pertemuan dua bola mata itu membuatnya semakin gugup.

...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...