Salahkah jika Anyelir mencintai Devan tunangan kakaknya? Mungkin iya, tapi mungkin juga tidak.
Devan adalah masa lalu Anye yang selama ini dengan susah payah ia lupakan, tapi sepertinya takdir memang tidak berpihak padanya. Setelah tiga tahun dan Anye sudah berhasil menghapus semua kenangan akan Devan, laki-laki itu muncul kembali. Tapi kali ini dia datang sebagai tunangan kakaknya!
****
Season 2
Axel putra kedua dari pasangan Anye dan Devan, baru pertama kalinya jatuh cinta pada seorang gadis berparas cantik.
Dia tak percaya dengan cinta pada pandangan pertama. Tapi semua yang di rasakan dalam hatinya membuat dia mengalah dan harus percaya akan hal itu. Dia ingin merebut perhatian Renata, seorang gadis pelayan kafe yang tak menyukai anak orang kaya.
Demi meraih cintanya, Axel bersedia mengikuti jejak sang pujaan hati. Mendekati dia dengan menyamar sebagai pelayan kafe.
Hingga akhirnya, Axel berhasil mendapatkan jawaban atas perasaannya. Namun apa yang terjadi jika kemudian dia tahu tentang sesuatu. Sebuah misteri yang selama ini dia cari kebenarannya.
Apakah benar Renata mencintainya?
Atau hanya mencintai jantung kakaknya yang ada pada dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon trias wardani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
part 25
Aku mulai kesal dengan perlakuan Devan. Walaupun dia tidak ada bersamaku, tapi salah satu ajudannya selalu mengikuti kemana aku pergi. Devan benar-benar posesif. Dasar!
Aku tahu itu. Seorang laki-laki berbadan besar dan tegap, memakai setelah jas hitam, rambut seperti tentara, dengan headset bluetooth di telinganya, tak lupa kacamata hitam selalu terpasang menutupi matanya. Beberapa kali aku melihat dia dimanapun aku berada, dan beberapa kali pula Devan mengirim pesan mengatakan kalau dia tahu sedang dimana aku.
Hari ini kami memutuskan untuk pergi ke kolam renang yang baru saja di buka. Selain karena masih ada diskon tiket masuk, juga tempat itu masih tidak terlalu ramai dari pengunjung. Hingga kami bebas untuk berlarian atau melakukan apapun tanpa harus malu. Maklum kalau kami berempat, tahulah bagaimana...hehe. Riweuh!
Kami berenang sudah hampir dua jam, tapi kami belum lelah sama sekali.
"Sof, Sana yuk!" Nanda menunjuk ke salah satu wahana permainan, perosotan tinggi entah berapa meter tingginya.
"Gak mau ah, takut!" Sofia bergidik ngeri. "Sama si Nay aja sono. Gue mah mau disini aja!"
"Nye, ikut kan?" tanya Nanda memohon. Nayara juga takut naik ke atas.
"Eh, oke deh! Tapi gue pengen ke toilet dulu!" ucapku.
"Oke deh gue tunggu disana ya."
Aku mengangguk dan berlalu dari sana. Bukan ingin ke toilet, tapi ingin memastikan sesuatu.
Seorang pria dengan hanya menggunakan celana pendek, perutnya kotak-kotak, dengan rambut cepak. Rasanya aku ingin marah padanya! Aku jadi tidak bebas karena dia selalu saja melaporkan apapun pada Devan.
"Hei, mas ajudan!" panggilku. Pria itu menoleh padaku dan dia menunjuk dirinya sendiri.
"Iya kamu! Gak usah ngikutin deh. Kurang kerjaan ngikutin yang lagi senang-senang."
"Siapa yang ngikutin nona?" kilahnya. Cih dasar! dia kira aku tidak tahu apa?
"Saya juga lagi berenang, mungkin kebetulan kita ketemu disini. saya juga lagi senang-senang! Lihat?" ucapnya menunjuk pada dirinya lagi dengan tersenyum.
"Jangan ge-er, nona!" senyumnya manis, tapi tetap saja terasa menyebalkan.
"Halaaah, aku juga tahu Devan yang suruh kamu. Awas saja kalau kamu berani ganggu kami." Aku mendorong perut kotaknya hingga dia jatuh ke dalam kolam renang. Semua orang terkejut melihat kejadian itu dan menatap kami heran.
Terdengar suara teriakannya dan memintaku untuk hati-hati.
Aku tidak peduli. Aku hanya kesal. Aku bukan anak presiden, bukan anak menteri, tapi dapat pengawalan seperti itu. Awas kamu Devan!
Sampai di tempat Nanda. Kami mulai naik tangga menuju ke atas.
"Itu siapa, Nye?"
"Siapa?"
"Yang tadi kamu dorong?!" tanya Nanda.
"Ohh, itu, biasalah. Lalat ijo!"
"Kamu ini. Omongannya gak di jaga!" peringat Nanda. Aku hanya menyengir mendengarnya.
"Ajudan Devan ya?" Aku mengangguk.
"Cinta kalian rumit ya sedari dulu." ucap Nanda lagi.
"Ya, begitulah!" ucapku lalu mendahului duduk di atas perosotan.
"Aku duluan ya, Nan!"
"Oke." ucap Nanda, lalu seorang penjaga pria memberi instruksi dan mendorong bahuku.
Aku berteriak keras saat meluncur ke bawah, rasanya menyenangkan bahkan aku sempat mengumpati Noval dan Devan bergantian! Haha, biarlah, kapan lagi aku bisa berteriak sekencang ini?
Byurrr!!!
Sampai di bawah, aku tenggelam di kolam, belum sempat aku keluar dari air sudah ada seseorang yang menarikku ke atas.
Aku terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutku. Hidungku panas!
"Sudah aku bilang kan, jangan macam-macam! Jangan melakukan hal yang berbahaya! Aku tidak mau anak kita kenapa-napa!" Aku menoleh, Devan! Dia masih memegangi lenganku dan membawaku ke tepi kolam, mendudukan aku disana.
"Apa maksud kamu?" Devan menatapku tajam, aura marah terpancar di wajahnya. Aku menepuk pipinya dengan keras.
"Jangan mimpi di siang bolong! Hanya ada cacing kelaparan dalam perut aku! Gak ada yang lain!" geramku tidak suka.
Byurrr!!! Terdengar suara seseorang yang baru masuk ke air lalu di susul dengan suara batuk. Nanda baru saja sampai di bawah.
"Kak Devan?" tanya Nanda bingung setelah sampai di dekat kami. "Sejak kapan ada disini?" Dia menatapku bergantian pada Devan. Aku mengangkat bahuku.
"Sejak kalian semua sampai disini!" ucapnya santai.
Dasar penguntit!
Kami kembali menemui yang lain. Sofia terbelalak saat melihat Devan, perut kotaknya seperti roti sobek, sempurna. Dan Nayara... dia tidak berkedip.
"Kalian sudah makan?" tanya Devan membuyarkan lamunan keduanya.
"Kak Devan kan?" tanya Sofia. Devan mengangguk dengan senyuman di bibirnya. "Lagi apa disini?"
"Lagi survei tempat!" ucap Devan santai.
"Kalian pasti lapar, ayo aku traktir!" ucap Devan.
Setelah kami makan dan membersihkan diri kami pulang. Terbalik bukan? Biasanya membersihkan diri terlebih dahulu baru makan, tapi kami... hehe, kami lebih mementingkan perut kami terlebih dahulu! Adakah yang sama?
Aku pulang bersama Devan sedangkan yang lain diantar ajudan yang tadi aku dorong ke kolam.
"Bisa gak sih kalau gak ngikutin aku, aku bukan anak presiden, tidak perlu di kawal!" ucapku kesal sambil memasang seatbelt.
"Tapi kamu calon istri aku!" ucapnya pede lalu menjalankan mobilnya.
"Kalau aku hamil!" tegasku.
"Itu sudah pasti! Akan ada calon anak kita disini" ucapnya sambil mengelus perutku.
"Gak usah ngayal!" aku menepis tangan Devan.
"Kamu gak mau gitu hamil anak aku?" Aku hanya mengangkat kedua bahuku. Tidak bisa membayangkan bagaimana nantinya. Banyak yang akan kecewa dan terluka jika hal itu terjadi.
"Kita cuma melakukannya sekali, gak mungkin juga akan ada yang tumbuh di perutku. Bahkan banyak yang sudah menikah bertahun-tahun belum di karuniai anak!" Devan hanya terkekeh.
"Kamu yakin cuma sekali?" Aku menoleh padanya. Devan mengangkat tiga jarinya.
"Hahh? Tidak mungkin!" ucapku dengan mata melotot.
"Kemarin kamu belum lihat rekaman itu sampai akhir kan? Kalau begitu...ayo kita ke apartemen ku dan menontonnya sekali lagi. Dari awal sampai akhir. Hahhh...sayang sekali rekaman itu tidak ada suaranya. Kalau saja ada, mungkin sudah terdengar... Aahhh. uuhhh. Ooh Devaaannn!" dia membuat suara horor dan memasang raut muka menikmati.
"DEVAN STOP! Jijik dengernya!" teriak ku dengan memukul lengannya keras. Devan tertawa lepas. "DASAR MESUM!!"
"Hei bahaya! haha." dia masih tergelak. Dan aku kesal!
"Mau nonton?" tanyanya sekali lagi.
"Enggak! Aku mau pulang, capek!"
"Yaaa. Kirain mau ke apartemen ku dulu."
"Mau apa juga?!" tanyaku ketus.
"Mau mengenang masa lalu!"
"Ih enggak ya, jangan berfikir yang aneh-aneh deh, aku gak akan kasih lagi. Enak aja mentang-mentang udah dapet, seenaknya..."
"Emang kamu fikir aku mau apa? Aku cuma mau masakin kamu ceker pedas!" ucapnya memotong perkataanku.
Aku terdiam. Aku kira dia...
"Dasar fiktor!" ejeknya sambil mengusap wajahku. Aku malu, mudah-mudahan wajahku tidak berubah merah.
"Mau?" tanyanya sekali lagi.
"Enggak. Pulang aja."
Mobil terus berajalan, lalu berhenti saat lampu berubah merah.
"Kamu ngapain disana?" tanyaku.
"Aku lagi memeriksa aja. Mungkin karena kurang iklan, jadi tempat itu masih sepi." ucapnya lalu kembali fokus ke jalan, lampu sudah berubah hijau.
"Maksud kamu, itu tadi punya kamu?" tanyaku.
"Iya."
"Serius?!"
"Kenapa?" Devan menoleh sebentar, penasaran.
"Aahh kalau tahu tempat kamu, kita gak akan keluarin uang buat renang disana!" ucapku. Devan terkekeh dia selalu seperti itu saat melihat wajahku kesal!
"Lain kali aku akan berikan akses buat kalian. Bahkan kalau kalian mau menikmati buat kalian berempat juga boleh, tidak ada pengunjung lain, satu hari spesial untuk kalian gak akan buat aku rugi!" ucapnya.
"Dasar sombong!"