Rinjani hanya ingin hidup tenang.
Tapi semua hancur saat ia terbangun di kamar hotel bersama pria asing. Dan beberapa jam kemudian mendapati kedua orang tuanya meninggal mendadak.
Dipaksa menikah demi melunasi utang, ia pingsan di hari pernikahan dan dinyatakan hamil. Suaminya murka, tantenya berkhianat, dan satu-satunya yang diam-diam terhubung dengannya ... adalah pria dari malam kelam itu.
Langit, pria yang tidak pernah bisa mengingat wajah perempuan di malam itu, justru makin terseret masuk ke dalam hidup Rinjani. Mereka bertemu lagi dalam keadaan tidak terduga, namun cinta perlahan tumbuh di antara luka dan rahasia.
Ketika kebenaran akhirnya terungkap, bahwa bayi dalam kandungan Rinjani adalah darah daging Langit, semuanya berubah. Tapi apakah cinta cukup untuk menyatukan dua hati yang telah hancur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Keke Utami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
3. Sebuah Harga
Tawa Darren pecah begitu saja saat wajah Rinjani terlihat pucat pasi. Cahaya lampu gantung mewah di kamar hotel itu seolah menyoroti kontras antara wajahnya yang pongah dan sorot mata Rinjani yang tajam menusuk, penuh kebencian dan kegelisahan.
“Saya ke sini hanya ingin membahas utang orang tua saya,” ucap Rinjani dingin.
Darren hanya mengangguk sambil menjatuhkan tubuhnya di sofa berlapis kulit. Lalu, tersenyum menggoda.
“Silakan duduk di mana saja. Atau mau saya pangku juga boleh,”
Rinjani menatapnya tajam, menolak tawaran itu tanpa perlu kata. Tubuhnya tetap tegak berdiri, seolah keberadaannya tidak sudi bersentuhan dengan perabotan pria itu, apalagi orangnya.
“Saya akan lunasi utang itu. Saya hanya meminta waktu,”
Darren menyilangkan kaki dan bersandar santai, wajahnya tenang, tapi nada suaranya menyimpan racun.
“Satu bulan,” katanya, sambil mengangkat satu jari.
Mata Rinjani membesar, “Gila? Itu terlalu cepat.”
“Tapi itu kan tetap waktu,” balas Darren, menanggapi enteng seolah dirinya sedang menawar barang lelang.
Rinjani menghela napas panjang, “Apa tidak bisa diperpanjang jadi satu tahun?”
Alis Darren terangkat, “Kamu menawar saya?” Ia tertawa pelan, seakan permintaan Rinjani adalah lelucon usang.
Rinjani diam, menahan kata-kata yang sebetulnya ingin ia semburkan.
“Satu bulan!” tegas Darren, lalu berdiri. Ia mengeluarkan ponsel dan mulai mengetik sambil berbicara kepada seseorang di seberang.
“Alex, siapkan pernikahan saya. Satu bulan lagi.”
Jantung Rinjani seperti diremas.
“Saya tidak setuju nikah sama kamu! Saya bahkan belum mulai melunasi apa pun!”
“Oh iya?” Darren menatapnya sambil tersenyum menyebalkan, “Saya yakin kamu akan gagal. Kalau kamu lihat nominal yang harus kamu bayar. Kamu sendiri yang akan menyerah nanti.”
Ia menunjuk pintu kamar.
“Waktu dimulai dari sekarang, Sayang. Kita ketemu lagi nanti di tempat ini.”
Wajah Rinjani merah padam. Harga dirinya diremukkan oleh kalimat itu. Ia berbalik tanpa sepatah kata, keluar dari kamar dengan langkah terburu dan hati berkecamuk.
“Papa ...,” bisiknya lirih di lorong hotel, dan air matanya pun jatuh untuk kesekian kalinya.
*******
Pukul 9 malam, Rinjani akhirnya sampai di rumah. Tubuh dan pikirannya lelah, ia butuh istirahat. Namun bukan tempat ternyaman yang ia temukan, melainkan koper dan kardus berisi barang-barangnya, disusun rapi di teras depan.
“Bi, ini apa?” tanyanya panik, saat melihat Sulis berdiri di antara barang-barang itu dengan wajah pilu.
Tak berselang lama, Desi menjadi orang terakhir yang keluar dari rumah itu. Dengan wajah datar dan kaku.
“Tante kenapa barangku dibuang ke luar gini?”
Desi menyilangkan tangan di dada, matanya menatap Rinjani seolah beban yang harus disingkirkan.
“Apa yang sudah kau katakan kepada Tuan Darren? Waktu satu bulan? Kau pikir kau bisa melunasi utang itu?” cerca Desi.
Seolah tidak puas Desi kembali bicara, “Kau lihat, mereka menyita rumah ini, sebagai bentuk cicilan dari utangmu. Apa sulitnya kau menerima pernikahan itu. Ini semua pasti tidak akan terjadi!”
Rinjani menggeleng tak percaya, “Ini pasti salah. Aku udah minta waktu, bukan berarti aku menyetujui rumah ini diambil,”
Desi memijat pelan kepalanya, seolah lelah menghadapi kebodohan.
“Terserah!” dengan kesal Desi menarik kopernya, dan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya pergi.
Semua asisten rumah tangga dengan raut putus asa dan sedih juga berlalu. Hanya Sulis yang masih menemani Rinjani yang sudah terduduk. Rinjani membuang napas dengan sesak, dadanya remuk saat harus merelakan rumah yang penuh kenangan dan tempat ia tumbuh.
“Kenapa dia jahat banget, Bi?” bisiknya lirih.
Sulis menggenggam tangan majikannya itu, hangat dan penuh kasih sayang.
“Udah yuk, Non. Kita pergi dari sini,”.
“Mau ke mana, Bi? Ini sudah malam, aku nggak punya tempat tinggal,”
“Ke kontrakan saudara Bibi aja, ya. Dia pasti mau terima kita.”
Tanpa pilihan lain, Rinjani mengangguk, ia memanggul sisa hidupnya yang terkemas dalam koper dan kardus, lalu meninggalkan rumah yang sudah bukan rumahnya lagi.
******
Rumah kontrakan saudara Sulis ternyata kecil dan sempit. Hanya ada satu kamar untuk mereka bertiga. Tapi Teh Ami, wanita baik hati pemilik rumah itu, menyambut Rinjani dengan hangat.
“Jangan sungkan ya, Neng. Maaf tempatnya seadanya.”
“Nggak apa-apa, Teh. Terima kasih banyak,” jawab Rinjani dengan suara serak.
Malam itu, saat semua sudah terlelap, Rinjani berbaring memandangi langit kamar yang sudah usang. Suara Sulis yang mulai mendengkur membuat suasana terasa makin sepi.
“Bi,” panggilnya.
Sulis membuka matanya pelan.
“Gimana kalau ... aku nikah aja sama Si Darren itu? Aku bisa minta rumah papa sebagai maharnya.”
Sulis terdiam, lalu menghela napas panjang, “Bibi nggak tahu, Non. Semua keputusan ada di tangan Non Arin. Yang bakal jalanin juga Non.”
Rinjani menatap langit-langit yang juga tak punya jawaban.
“Aku merasa semua ini seperti mimpi buruk. Aku nggak tahu, Bi ... setelah nikah, hidupku akan lebih baik atau justru makin kacau. Semua ... abu-abu.”
“Non yang sabar ya. Tuhan kasih cobaan sebesar ini karena Dia tahu, Non kuat.”
************
Seminggu berlalu, Rinjani masih tinggal di kontrakan sempit itu. Sulis sudah dapat pekerjaan, tapi Rinjani masih nihil. Dunia seperti menutup semua pintu untuknya.
Pagi itu, ia berdiri mematung di depan gedung megah tempat perusahaan Darren berada. Dengan tekad yang dihimpun dari semua kepiluan, ia melangkah masuk.
“Permisi, saya mau ketemu Tuan Darren,” ucapnya pada resepsionis.
“Maaf, sudah buat janji sebelumnya?”
“Sudah. Bilang aja saya Rinjani,” dustanya.
Beberapa menit kemudian, ia diarahkan naik ke lantai tempat Darren berada. Jantungnya berdentum dengan cepat.
Satu ketukan. Lalu suara berat dari dalam menjawab, “Masuk.”
Rinjani pun mendorong pintu itu perlahan.
Darren memandangnya dengan senyum menyebalkan, seperti predator yang menunggu mangsanya datang sendiri ke sarang.
“Kenapa, Sayang? Belum satu bulan ‘kan?”