NovelToon NovelToon
Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Gadis Kecil Milik Sang Juragan

Status: sedang berlangsung
Genre:Duda / Selingkuh / Obsesi / Beda Usia / Romansa
Popularitas:5.3k
Nilai: 5
Nama Author: PenulisGaje

Armand bukanlah tipe pria pemilih. Namun di umurnya yang sudah menginjak 40 tahun, Armand yang berstatus duda tak ingin lagi gegabah dalam memilih pasangan hidup. Tidak ingin kembali gagal dalam mengarungi bahtera rumah tangga untuk yang kedua kalinya, Armand hingga kini masih betah menjomblo.

Kriteria Armand dalam memilih pasangan tidaklah muluk-muluk. Perempuan berpenampilan seksi dan sangat cantik sekali pun tak lagi menarik di matanya. Bahkan tidak seperti salah seorang temannya yang kerap kali memamerkan bisa menaklukkan berbagai jenis wanita, Armand tetap tak bergeming dengan kesendiriannya.

Lalu, apakah Armand tetap menyandang status duda usai perceraiannya 6 tahun silam? Ataukah Armand akhirnya bisa menemukan pelabuhan terakhir, yang bisa mencintai Armand sepenuh hati serta mengobati trauma masa lalu akibat perceraiannya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PenulisGaje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

26. Tak Sabar Ingin Memeluk

Kabar pernikahan Lilis dan Bowo ramai dibicarakan setelah dua hari pernikahan secara siri itu dilangsungkan.

Warung mak Ipah tak lagi dipenuhi pembeli melainkan oleh orang-orang yang terus membicarakan kabar mengejutkan tersebut. Mereka semua memiliki pertanyaan yang sama yaitu, kenapa pak Somad merahasiakan pernikahan Lilis bahkan para tetangga di sekitar rumahnya pun tidak mengetahuinya.

Kalau begitu, bagaimana bisa kabar pernikahan tersebut bisa sampai ke telinga mereka?

Jawabannya adalah dari pembantu yang bekerja di rumah juragan tanah dari desa sebelah itu. Berawal dari satu mulut ke mulut yang lain, maka sampai lah berita menghebohkan itu ke telinga mereka.

Hingga di pagi yang seharusnya digunakan oleh ibu-ibu itu untuk berbelanja bahan masakan untuk keluarga yang sedang menunggu di rumah, malah digunakan oleh ibu-ibu berdaster itu membicarakan hal yang sebenarnya bukan ranah mereka.

Namun apa mau dikata. Sudah bukan hal asing lagi bila gosip jauh lebih menarik daripada belanja bahan-bahan untuk dimasak di rumah.

"Nggak nyangka ya, Lilis ngejilat lud4hnya sendiri. Dulu dia pernah sesumbar bilang kalau dia jijik punya suami tukang kaw1n kayak si Bowo itu."

"Ho'oh, munafik namanya itu, kan?"

"Ya apa mau dikata. Dia udah bekas pakai begitu, emangnya masih ada laki-laki yang mau menikahinya. Masih untung ada yang bersedia menutupi aibnya. Ya walaupun Bowo itu bukan pilihan yang baik sih."

Suara-suara percakapan itu terdengar santai. Seolah tak merasa bersalah membicarakan keburukan orang lain, ibu-ibu yang nongkrong sambil sesekali memasukkan gorengan ke dalam mulutnya itu tak henti-hentinya menjadikan Lilis sebagai topik utama mereka pagi ini.

"Ada yang tau nggak, Lilis jadi istri yang ke berapa? Kira-kira gimana ya perasaan istri pertamanya Bowo ngeliat suaminya lagi-lagi pulang bawa istri baru?"

"Kalau aku jadi si Lasmi, aku pasti minta cerai. Trus nuntut harta gono gininya jangan nanggung-nanggung. Biar tau rasa itu si lelaki yang pikirannya cuma ada di selangk4ng4n aja."

"Tapi ngomong-ngomong, katanya si Bowo itu punya kebiasaan buruk. Dia suka nyiksa istrinya pas lagi begituan."

"Masak?" mata ibu berdaster cokelat membeliak lebar. Tangannya yang baru saja hendak memasukkan potongan bakwan ke dalam mulut langsung terhenti setelah mendengar apa yang teman gosipnya itu katakan.

Ibu berdaster pink yang berbicara tadi mengangguk. "Benar loh itu. Soalnya aku sendiri dengar sendiri dari pembantu yang kerja di rumahnya si Bowo. Katanya, Satu-satunya yang nggak pernah dilukai Bowo pas lagi 'nganu' itu cuma istri sah'nya aja. Buat istri-istrinya lain, beuh... kasian nasibnya katanya. Ada banyak bekas lebam di badannya. Bahkan pembantu itu juga pernah ngeliat ada bekas gigitan di leher salah satu dari istri majikannya itu.

"Wah... parah itu." ibu yang berdiri di pojok tak tahan untuk ikut menimpali. "Kebiasaan buruk begitu, suatu saat bisa ngebuat ada nyawa yang melayang."

Ibu-ibu yang tadinya heboh membahas soal pernikahan Lilis itu seketika terdiam.

Mendengar ada yang mengatakan bisa saja ada korban dari kebiasaan buruk yang dimiliki oleh juragan tanah dari desa sebelah itu membuat mereka semua tiba-tiba merasa kasihan akan nasib Lilis, yang entah menjadi istri yang ke berapa.

Meski gadis yang mereka bicarakan itu mempunyai perilaku yang juga tidak terlalu mereka sukai, tetap saja sebagai sesaka wanita, mereka tidak ingin ada wanita lainnya kehilangan nyaw4 karena dianiay4 oleh suaminya.

Mulut ibu-ibu terkunci. Tak ada lagi yang berani mengatakan apapun.

Sampai kemudian kedatangan Lala bersama mbok Nah yang melangkah masuk ke dalam warung seakan bisa mencairkan suasana. Sikap gadis tomboy yang selalu acuh dan tak pernah mau mencampuri urusan orang lain itu malah membuat ibu-ibu penggosip itu bisa kembali bernapas lega.

"Wuihhh... adeknya Juragan Armand pagi ini cerah banget keliatannya." mak Ipah tersenyum ramah menyambut Lala yang seperti biasa langsung memilih beberapa jajanan yang menjadi kesukaannya. "Oh iya, La, pernikahan Juragan Armand dua hari lagi, kan?" tanya mak Ipah seraya mengambil kantong plastik yang akan digunakan Lala sebagai wadah untuk jajanan yang dipilihnya.

Lala mengangguk. Tanpa menoleh dan tetap fokus memiliki beberapa jenis jajanan yang ia sukai, Lala menjawab, "Iya, Mak. Pernikahan abang memang bakalan dilangsungkan dua hari lagi."

"Trus, nggak dibikin pesta besar kah, La?"

"Nggak, Mak." Lala menggeleng sambil mendongak ke arah wanita paruh baya yang berdiri di depannya. "Abang sih pengen bikin yang besar, soalnya 'kan ini pernikahan yang pertama buat Nissa. Abang juga udah niat mau bikin pesta resepsi di balai desa. Tapi Nissa-nya yang nggak mau. Ribet katanya. Maunya Nissa yang penting sah, sakral, dan nggak ngerepotin banyak orang."

"Dewasa kali ya, pemikirannya Nissa." Mak Ipah tersenyum simpul. Merasa kagum dengan keputusan yang gadis belia itu ambil. "Dia udah nggak diizinkan keluar lagi 'kan, ya? Soalnya udah beberapa hari terakhir, mak nggak pernah ngeliat dia datang ke sini buat bantuin kamu dan mbok Nah belanja." tanya mak Ipah, penasaran karena sudah beberapa hari tak melihat gadis cantik itu.

Lala kembali memberikan anggukkan.

Sadar jika di sana banyak orang, banyak telinga yang pastinya bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, Lala tak ingin sampai asal bicara.

Pasalnya, mengenai Nissa yang hampir saja masuk ke dalam jebakan yang dirancang oleh anaknya pak Lurah dan Ika, mereka semua kompak untuk tidak membicarakannya.

Biarlah kejahatan yang sudah oleh kedua orang itu rencanakan dibalas langsung oleh Tuhan.

Bukan pula mereka tidak ingin memperkarakan masalah tersebut melalui jalur hukum. Hanya saja, mengingat betapa buruknya karma yang langsung diterima oleh anak pak Lurah atas rencana jahatnya itu, setidaknya mereka merasa kasihan.

Siapa tahu masalah ini bisa menjadi pembelajaran agar Lilis bisa berubah.

*****

Armand memandang puas pelaminan yang telah dipasang dipasang di hadapannya. Dekorasi yang sederhana namun terlihat elegan dengan adanya hiasan bunga, sesuai dengan yang gadis mungilnya inginkan membuatnya merasa lega.

Sesuai dengan kemauan Nissa yang tidak ingin diadakan pesta mewah untuk pernikahan mereka, maka Armand tidak mungkin untuk tak menurutinya.

Bagi Armand, apapun yang Nissa inginkan, sebisa mungkin akan ia penuhi.

Pernah satu kali Armand bertanya, apakah calon istrinya itu tidak ingin mengadakan resepsi yang mewah? Bukannya apa, pernikahannya yang terdahulu saja resepsinya diadakan di hotel berbintang lima. Jadi, Armand tak nantinya Nissa malah merasa diperlakukan tidak adil.

Tapi jawaban yang Nisa berikan membuat Armand semakin kagum dengan si gadis belia yang pemikirannya sangat dewasa itu.

"Saya nggak ingin pesta yang mewah, Mas. Asalkan sah, sakral, dan nggak menyusahkan orang lain aja sudah cukup buat saya. Keinginan saya nggak muluk-muluk, saya hanya ingin pernikahan kita nggak menyusahkan siapa pun."

Maka seperti inilah Armand mewujudkan keinginan gadisnya itu.

Pernikahan mereka akan dilakukan secara sederhana. Hanya membuat pelaminan di halaman rumah ibunya untuk menyambut tamu yang mereka undang.

Tinggal dua hari lagi, maka Armand bisa memeluk si mungil dengan bebas. Hanya dengan membayangkannya saja sudah membuat Armand sangat tidak sabar ingin merengkuh tubuh mungil itu dalam rengkuhan kedua lengannya yang kokoh.

"Waduh... yang dari tadi cengar-cengir ngeliat pelaminan. Berbunga-bunga nih ye hatinya, karena bentar lagi bisa unboxing 'gawang' yang diselimuti semak belukar yang masih peraw4n. Harus yang sabar loh ya, Man, masih belum pengalaman. Jadi genj*tnya pelan-pelan aja."

Armand mendengus.

Tanpa berbalik, Armand sudah menghafal betul siapa pemilik suara yang baru saja mengucapkan kata-kata menyebalkan tersebut. Armand kira sahabatnya itu sudah benar-benar tobat, namun rupanya ia keliru. Pikiran Fandy masih saja seperti itu.

"Jangan kesal gitu dong, Man, mukanya." Fandy menepuk bahu Armand begitu dirinya telah berdiri di samping pria yang sedang berdiri di tengah-tengah halaman yang telah didekor dengan indah itu. "Sebagai orang yang lebih berpengalaman dari kalian semua, udah kewajiban bagiku untuk membagi pengalaman itu sama kalian. Khususnya buatmu yang bentar lagi mau menanggalkan status duda karatanmu itu."

"Berisik, Fan." Armand menimpali kesal. "Bisa nggak otakmu itu dibersihkan sebentar aja?"

"Oh... nggak bisa dong." Fandy menjawab dengan nada dramatis. "Kau sendiri yang bilang kalau mantan istrimu udah nggak peraw4n waktu kau berbagi keringat dengannya dulu. Sekarang, calon istrimu itu masih polos, suci bagaikan kertas putih yang belum pernah kena coretan pensil atau pun pulpen. Jadi, kau harus belajar dariku. Biar pun aku disebut lelaki bajingan, aku dengan bangga bilang kalau aku udah beberapa kali nidur1n perawa4n. Soal pengalaman, nggak usah diragukan lagi." imbuhnya penuh percaya diri, bahkan membusungkan dadanya bangga atas pengalaman yang dibanggakannya itu.

Armand mendesah kesal. Pria itu merotasikan matanya saat mendengar kesombongan Fandy dalam menaklukkan wanita.

Ingin sekali rasanya menempeleng kepala sahabatnya itu. Siapa tahu saja setelah digetok, bisa membuat otak Fandy tak lagi bergeser.

"Sumpah deh, Man, aku tuh sebenarnya iri. Ngeliat kau bahagia karena akhirnya bisa kembali menemukan belahan jiwamu, aku jadinya pengen ikutan nikah juga."

"Memangnya ada perempuan yang mau nikah sama laki-laki pencinta 'apem' sepertimu?" pertanyaan yang bikin nyes itu Armand ucapkan tanpa repot-repot menatap wajah Fandy yang sekarang sedang memonyongkan bibirnya. "Kalau pun ada, cuma perempuan bodoh pencinta uangmu aja yang bakalan mau nikah denganku." tambahnya lagi dengan nada tak berperasaan.

Tentu saja perkataan Armand tersebut bikin bibir Fandy mengerucut layaknya anak kecil yang sedang merajuk.

"Coba gitu, Man, jangan sadis-sadis gitu, ngomongnya. Gini-gini juga aku punya gebetan yang aku suka." bibir Fandy masih mencebik, kesal tapi tak bisa sepenuhnya menyuarakan kekesalannya itu.

"Siapa?" Armand menoleh ke arah pria yang tak sadar usia itu. Sudah tua masih saja bertingkah seperti anak kecil. Mana pakai mencebik segala. "Lala?" tebak Armand yang langsung menggelengkan kepala begitu melihat mata Fandy yang membuka lebar.

Reaksi Fandy atas pertanyaannya barusan membuat Armand merasa tak perlu lagi mendengar jawaban langsung dari mulut sahabatnya itu.

Pantas saja, selama tinggal di rumah ibunya ini, Fandy yang biasanya cerewet, yang omongannya tidak bisa jauh-jauh dari wanita, sahabatnya itu selalu menjaga setiap kata yang diucapkannya. Khususnya bila ada ibunya di dekat mereka.

"Gini ya, Fan," Armand menghela napas panjang karena melihat Fandy yang masih belum mampu berbicara. "Urusan percintaan orang lain, aku nggak pernah mau ikut campur. Tapi ini Lala, meski kami nggak terikat hubungan darah, tapi dia sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh ibuku. Dia dirawat dari kecil dan sangat disayangi oleh beliau. Jadi, pikirkan lagi jika memang kau berniat mendekatinya."

"Tapi, Man... "

"Aku bukannya melarang." Armand sengaja tak membiarkan Fandy menyelesaikan perkataannya. "Tapi, jika emang kau serius dengan perasaanmu itu, coba lah untuk merubah kebiasaanmu dulu. Jangan sampai begitu kembali ke kota nanti, kau akan menekuni lagi 'kesenanganmu' itu. Jangan melangkah maju kalau kau belum benar-benar yakin. Kalau nggak, kau akan berhadapan denganku jika sampai kau menyakitinya."

Fandy akhirnya tak bisa mengatakan apapun lagi bahkan setelah Armand menyelesaikan apa yang ingin disampaikan padanya.

Dalam diamnya Fandy bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, mampukah dirinya meninggalkan semua kesenangan yang selama ini selalu menemani hari-harinya?

1
Ana Umi N
lanjut kak
y0urdr3amb0y
Wuih, penulisnya hebat banget dalam menggambarkan emosi.
Alucard
love your story, thor! Keep it up ❤️
PenulisGaje: makasih udah mau mampir dan baca cerita saya 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!