Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Topeng cinta
Arjuna membanting pintu mobilnya, mengurung diri dalam kesunyian kabin sedan mewah yang melaju membelah kemacetan Jakarta. Sore ini, kursi penumpang di sebelahnya kosong. Naya tidak ada di sana. Istrinya itu—atau lebih tepatnya, pion dalam permainan bisnisnya—sedang berada di apartemen, mengambil cuti sakit yang Arjuna paksakan tadi pagi.
Biasanya, Arjuna menikmati kesendirian seperti ini. Tapi hari ini, keheningan di dalam mobil terasa bising oleh isi kepalanya sendiri. Kata "Deal" yang dia ketik di grup WhatsApp beberapa jam lalu terus terngiang, berputar-putar seperti kaset rusak.
Dia baru saja menyetujui kesepakatan gila dengan Ferdi dan Bram. Menghamili Naya demi memenangkan taruhan. Menjadikan darah dagingnya sendiri sebagai kunci untuk mendapatkan saham proyek Bali dan mundurnya pesaing tender.
"Demi Tuhan, kau brengsek sekali, Juna," makinya pada pantulan wajahnya sendiri di kaca spion.
Arjuna melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. Namun, di balik rasa jijik pada dirinya sendiri, iblis bernama ambisi berbisik lebih keras. Ini kesempatan emas. Lakukan saja. Buat dia jatuh cinta. Buat dia mengandung. Setelah kau dapat segalanya, kau bisa memikirkan sisanya.
Arjuna menarik napas panjang, mengatur ekspresi wajahnya. Saat dia melangkah keluar dari lift pribadi menuju penthouse-nya nanti, dia bukan lagi Arjuna si bos kejam. Dia harus menjadi Arjuna, suami yang penuh kasih.
Pintu unit apartemen terbuka dengan bunyi bip pelan. Aroma samar masakan rumah tercium, meski tidak sekuat biasanya.
"Mas Juna?"
Suara itu terdengar ragu dari arah ruang tengah. Naya muncul, mengenakan daster rumahan sederhana selutut dengan rambut yang digelung asal. Wajahnya tampak sedikit pucat, sisa kelelahan dan mungkin ketakutan dari kejadian kemarin malam. Langkahnya terhenti beberapa meter dari Arjuna, tangannya meremas ujung pakaiannya gugup.
"Sudah pulang, Mas?" tanyanya pelan, matanya tidak berani menatap langsung ke mata Arjuna. Dia jelas masih trauma dengan bentakan dan sikap dingin Arjuna sebelumnya.
Arjuna menatap wanita mungil itu. Dalam skenario normal, dia akan berjalan melewatinya begitu saja menuju kamar, mengabaikan eksistensi Naya. Tapi tidak hari ini. Permainan sudah dimulai.
Arjuna memaksakan sudut bibirnya untuk naik, membentuk senyum tipis yang tampak lelah tapi hangat.
"Aku pulang, Nay," jawab Arjuna, suaranya sengaja dia rendahkan menjadi bariton yang lembut.
Mata Naya membelalak. Penggunaan kata "Aku" dan nada bicara itu membuat pertahanannya goyah. Dia terbiasa dengan "Saya" yang berjarak dan dingin.
Tanpa memberi waktu Naya untuk memproses kebingungannya, Arjuna melangkah maju. Dia tidak berhenti sampai jarak di antara mereka habis. Dengan gerakan yang terasa asing namun dia usahakan senatural mungkin, Arjuna merengkuh tubuh kecil Naya ke dalam pelukannya.
Naya tersentak kaku. "M-mas?"
"Sebentar," bisik Arjuna, membenamkan wajahnya di ceruk leher Naya. "Biarkan begini sebentar. Aku capek banget di kantor."
Tubuh Naya yang semula tegang perlahan mulai rileks. Tangan wanita itu ragu-ragu terangkat, lalu dengan canggung menepuk punggung Arjuna pelan. "Mas... ada masalah di kantor?"
"Banyak," gumam Arjuna bohong. Masalahnya bukan di kantor, tapi di hatinya yang sedang dia gadaikan. "Tapi sudah baikan pas sampai rumah."
Arjuna melepaskan pelukannya, lalu menangkup wajah Naya dengan kedua tangannya yang besar. Dia mengusap pipi istrinya dengan ibu jari, menatap lurus ke dalam manik mata cokelat yang jernih itu.
"Kamu gimana? Sudah enakan badannya? Seharian di rumah ngapain aja?" tanya Arjuna penuh perhatian.
Wajah Naya merona hebat. Jantungnya berdegup kencang, seolah mau melompat keluar. Perlakuan manis yang tiba-tiba ini seperti hujan di tengah kemarau panjang. Naya yang haus akan kasih sayang, tanpa sadar langsung meminum "racun" manis yang disodorkan Arjuna.
"S-sudah enakan, Mas. Tadi cuma tidur sama beres-beres dikit," jawab Naya gugup.
"Baguslah," Arjuna mengecup kening Naya singkat—sebuah gestur yang membuat lutut Naya lemas. "Malam ini kita pesan makanan aja ya. Kamu nggak usah masak. Kamu harus istirahat penuh biar besok segar."
Malam itu berjalan seperti mimpi bagi Naya. Mereka makan malam di meja yang sama, dengan Arjuna yang sesekali menyendokkan lauk ke piring Naya. Tidak ada bentakan, tidak ada tatapan merendahkan.
Saat tidur pun, Arjuna tidak lagi memunggungi Naya. Pria itu menarik Naya ke dalam dekapannya, menjadikan lengan kekarnya sebagai bantal bagi Naya.
"Mas..." panggil Naya lirih di kegelapan kamar.
"Hm?"
"Kenapa Mas Juna berubah?" tanya Naya polos. "Kemarin Mas marah besar... Mas bilang pernikahan ini cuma..."
"Sstt," potong Arjuna. Dia mengeratkan pelukannya. "Jangan bahas yang kemarin. Aku cuma... sadar kalau aku terlalu keras sama kamu. Maafin aku ya?"
Kata maaf itu terdengar begitu tulus di telinga Naya. Tanpa curiga sedikit pun, Naya mengangguk dalam pelukan suaminya. "Iya, Mas. Naya maafin."
Arjuna tersenyum dalam gelap. Senyum kemenangan, sekaligus senyum getir. Semudah itu. Naya begitu mudah diperdaya. Namun, saat merasakan hembusan napas teratur Naya yang mulai terlelap di dadanya, ada desir aneh yang menyusup di hati Arjuna. Perasaan ingin melindungi yang seharusnya tidak boleh ada.
Pagi menyapa dengan sinar matahari yang menerobos celah tirai.
Arjuna terbangun lebih dulu. Dia mendapati dirinya masih memeluk Naya. Untuk beberapa detik, dia lupa soal taruhan itu. Dia hanya melihat wajah damai seorang istri yang tidur di lengan suaminya.
Namun, realitas kembali menghantam saat Naya mulai menggeliat bangun. Arjuna segera memasang kembali topeng "suami idaman"-nya.
"Pagi," sapa Arjuna saat mata Naya terbuka.
Naya mengerjap, lalu tersenyum malu-malu. "Pagi, Mas."
Setengah jam kemudian, mereka duduk berhadapan di meja makan. Naya sudah menyiapkan nasi goreng sosis sederhana. Mereka sarapan dengan tenang, layaknya pasangan harmonis pada umumnya.
Di tengah makan, Arjuna meletakkan sendoknya. Dia menatap Naya serius.
"Nay, ada yang mau aku omongin."
Naya langsung berhenti mengunyah, wajahnya waspada. "Ada apa, Mas? Masakan Naya nggak enak?"
"Bukan," Arjuna menggeleng. "Soal kerjaan kamu. Aku mau kamu berhenti kerja. Resign hari ini juga."
Mata Naya membulat. "B-berhenti? Maksudnya berhenti jadi Office Girl?"
"Iya. Semuanya. Kamu di rumah aja," kata Arjuna tegas namun tetap bernada lembut. "Aku nggak tega lihat istri aku disuruh-suruh orang lain. Angkat galon, ngepel lantai, buatin kopi buat karyawan cowok... itu nggak pantes buat kamu, Nay."
Ada jeda hening sejenak. Naya menunduk, menatap piring nasinya. Tangannya meremas serbet di pangkuan.
"Nggak bisa, Mas," jawab Naya pelan.
Alis Arjuna bertaut. Dia tidak suka dibantah. "Kenapa nggak bisa? Kalau soal uang, kamu tau aku bisa kasih kamu sepuluh kali lipat gaji kamu tiap bulan. Uang itu hal paling gampang buat aku, Nay. Aku bisa biayain semua kebutuhan kamu, keluarga kamu di kampung, semuanya."
Naya mengangkat wajahnya. Tatapannya lembut, tapi ada keteguhan di sana. "Naya tau Mas Juna kaya. Naya tau Mas Juna punya segalanya. Tapi justru itu..."
"Justru apa?"
Jangan lupa like dan komen 💕
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin