Sudah 12 tahun sejak Chesna Castella Abram tidak lagi pernah bertemu dengan teman dekatnya saat SMA, Gideon Sanggana. Kala itu, Gideon harus meninggalkan tanah air untuk melakukan pengobatan di luar negeri karena kecelakaan yang menimpanya membuat ia kehilangan penglihatan dan kakinya lumpuh, membuatnya merasa malu bertemu semua orang, terutama Chesna. Di tahun ke 12, saat ia kini berusia 27 tahun, Gideon kembali ke tanah air, meski kakinya belum pulih sepenuhnya tapi penglihatannya telah kembali. Di sisi lain, Alan saudara kembar Chesna - pun memiliki luka sekaligus hasrat mengandung amarah tak terbendung terhadap masa lalunya sejak lima tahun silam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reetha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25
Di taman belakang kediaman keluarga Sanggana, sore hari.
Di bawah langit cerah, Chesna berjongkok di sisi Gideon, memperhatikan posisi pijakan kaki pria itu dengan penuh fokus.
“Langkahkan sedikit ke depan… pelan-pelan, jangan tegang,” ucap Chesna lembut, satu tangannya menyangga siku Gideon agar seimbang. “Kalau kau gugup, tarik napas dulu.”
Gideon menurut, meski rahangnya tampak mengeras.
“Aku nggak gugup,” bantahnya pelan. Tapi telapak tangannya yang sedikit berkeringat jelas membantah kata-katanya sendiri.
Chesna menahan senyum kecil.
“Oh ya? Lalu kenapa kakimu gemetar?”
Gideon menoleh cepat, menatap Chesna tajam, tapi tatapan itu justru membuatnya kalah sendiri.
Cahaya matahari yang memantul di rambut Chesna membuat wajahnya tampak bersinar hangat.
Senyum itu…
Senyum yang selalu ia rindukan saat berjauhan, seolah sudah lama sekali ia rindukan.
“Aku hanya… takut jatuh,” akhirnya ia berujar.
Chesna menatapnya dengan penuh kesabaran, lalu sedikit mendekat.
“Kalau jatuh pun, aku ada di sini. Jadi jangan khawatir.”
Seketika udara di antara mereka terasa berbeda, hangat dan tenang.
Gideon menunduk, mencoba fokus kembali ke langkahnya. Tapi kali ini, setiap kali kaki kirinya berhasil berpijak mantap di tanah, senyum kecil muncul di bibir Chesna. Dan entah kenapa, senyum itu jadi alasan terbesar Gideon untuk terus melangkah.
Dari balik dinding kaca lantai bawah rumah itu, Nyonya Vera berdiri memperhatikan mereka.
Kedua tangannya terlipat di dada, bibirnya tersenyum walau matanya perlahan berkaca-kaca menahan haru.
“Lihat itu, Tuan Sanggana,” ucapnya pelan pada suaminya yang datang menghampiri, “aku belum pernah lihat Gideon tersenyum setulus itu sejak kecelakaan dulu.”
Tuan Sanggana ikut memandangi pemandangan itu, putranya yang perlahan berjalan lagi, dan gadis yang menemaninya dengan sabar, penuh ketulusan.
“Dia sudah menemukan alasan untuk pulih,” jawabnya singkat tapi bermakna.
"Mereka berdua akan segera menikah, sayang, aku harap semuanya lancar untuk mereka."
Mendengar kalimat yang berisi doa dan harapan itu, Tuan Sanggana, dari belakang memeluk pinggang ramping istrinya. "Aku juga berharap begitu, sayang. Dan aku juga tidak sabar untuk menimang cucu kita nanti."
Nyonya Vera menyentuh tangan yang memeluknya dari belakang, mengusapnya. "Semoga saja, Gideon kita berhasil mencetak lebih dari satu cucu buat kita ya, sayang..."
Keduanya terus menatap keluar sambil menyebutkan angan-angan yang manis satu per satu.
Di luar, Gideon berusaha melangkah satu langkah lebih jauh lagi.
Tapi kali ini ia kehilangan keseimbangan, membuat Chesna refleks menahan tubuhnya.
Keduanya terhenti dalam jarak yang begitu dekat, napas mereka bertemu, tatapan mereka saling bertaut tanpa kata.
“Lihat? Aku bilang juga jangan buru-buru,” bisik Chesna, suaranya nyaris serak.
“Aku tahu,” jawab Gideon, menatap matanya dalam. “Tapi kalau aku bisa berjalan lagi, aku ingin langkah pertamaku… menuju kamu.”
Chesna terdiam.
Pipinya memanas, tapi senyum kecil lolos begitu saja dari bibirnya.
“Kalau begitu, semoga cepat sembuh, ya.”
Gideon ikut tersenyum, kali ini tanpa rasa minder, hanya kebahagiaan yang sederhana namun nyata.
Dan dari balik kaca, Nyonya Vera berbisik pada suaminya sambil menahan senyum,
“Aku rasa, kita tidak perlu menyiapkan terapi tambahan lagi.”
"Kau benar, sayang. Gadis itulah satu-satunya obat sekaligus terapi terbaik untuknya.
Beberapa menit setelah latihan di taman…
Sore mulai turun perlahan, membiaskan cahaya keemasan di sela pepohonan.
Gideon dan Chesna duduk berdampingan di bangku taman. Suara air mancur di ujung taman menambah tenang suasana.
Chesna meletakkan botol minum di tangan Gideon, lalu menyandarkan punggung ke sandaran kursi.
“Kau hebat juga, loh,” katanya sambil tersenyum. “Biasanya pasienku akan mengeluh kesakitan setiap sesi pertama. Tapi kamu-”
“Tahan sakitnya?” sela Gideon cepat, dengan nada sedikit sombong.
“Bukan. Tapi tahan gengsinya.”
Gideon memutar kepala, menatapnya dengan mata membulat.
“Jadi kamu kira aku ini pasien manja yang gampang ngeluh?”
“Bukan kira, tapi fakta.” Chesna terkekeh, menyembunyikan senyumnya di balik botol air mineral yang ia minum.
Gideon pura-pura mendengus, tapi sudut bibirnya ikut terangkat.
“Kalau dokterku nyebelin begini, mungkin aku harus cari pengganti.”
Chesna memiringkan kepala, menatapnya santai.
“Silakan, Tuan Sanggana. Tapi jangan salahkan aku kalau kamu malah kambuh gara-gara dokternya lebih galak dari aku.”
“Aku rasa,” gumam Gideon pelan, tatapannya menunduk sebentar sebelum menatapnya lagi, “aku udah nemuin dokter yang paling pas. Jadi nggak perlu cari lagi.”
Chesna terdiam sepersekian detik. Ada sesuatu dalam nada suara Gideon yang membuat dadanya bergetar halus.
Ia berdeham kecil, mencoba mengalihkan suasana.
“Kalau begitu, doktermu ini butuh makan siang. Karena pasien satu ini berhasil bikin dia kelelahan.”
“Padahal cuma melatih satu pasien,” goda Gideon pelan.
“Pasiennya bandel pula.”
Chesna tertawa kecil, kali ini tulus.
Angin sore meniup lembut rambutnya yang terurai sebagian, dan tanpa sadar Gideon menatapnya lama. sangat damai rasanya saat bersama gadis itu.
“Chesna…” panggilnya pelan.
“Hm?”
“Terima kasih.”
“Untuk apa?”
“Untuk… sabar menemaniku.”
Chesna menatapnya sebentar, lalu menggeleng kecil.
“Aku dokter, Gideon. Sudah kewajibanku.”
“Juga, karena bersedia menerima pernikahan denganku.”
Ucapan itu membuat hening kecil muncul di antara mereka.
Chesna menunduk, menatap ujung sepatunya.
“Deon, soal pernikahan... kau... terdengar meragukanku.”
Gideon menatapnya lekat-lekat, tapi kali ini tanpa kata. Hanya matanya yang berbicara, dalam, penuh rasa yang ia simpan terlalu lama.
“Kau butuh bukti kalau aku serius menerima pernikahan ini tanpa alasan kasihan atau rasa bersalah?” Chesna membalas tatapannya, tak kalah lekat.
"Tidak perlu, aku percaya kamu." balas Gideon, dengan senyum yang selalu memikat bagi seorang Chesna, "Boleh pinjam tanganmu?" Permintaan yang mustahil ditolak oleh Chesna.
Deon mengambil tangannya. Sentuhan tangannya ini, membawa Chesna kembali ke masa lalu mereka di taman bukit, ketika duduk berduaan, Gideon akan menggenggam tangannya erat seperti ini.
"Aku ingin mengulang momen waktu kita SMA dulu. Seperti ini, kan?" ujar Gideon, membenarkan apa yang ada di pikiran Chesna.
Chesna tersenyum tulus. "Kamu juga ingat momen dulu, ternyata."
"Aku tidak pernah lupa semua tentang kebersamaan kita dulu, Ches. Aku ingat semuanya."
Chesna tersenyum. Kali ini lebih berbinar. "Waktu itu kau sempat bilang suka aku, kan?"
"Iya, dan Kau menolakku, Chesna,"
"Tapi meskipun aku tolak, Kau tidak berubah pikiran dan tetap peduli aku."
"Siapa bilang aku tidak berubah pikiran? Waktu itu aku kecewa berat, Ches."
"Oh ya?"
"Aku pengen menjauh tapi rasanya gak bisa."
"Dan kamu selalu ada buat aku saat itu, Deon. Bahkan saat aku tidak minta, Kau muncul tiba-tiba."
"Namanya juga usaha, Ches. Kayak Jailangkung kan?"
Chesna terbahak mendengar ujung kalimat Gideon. Gideon pun ikut tertawa bersamanya.
Dan dari posisinya, Nyonya Vera yang masih berada dalam pelukan suaminya, bergumam sambil tersenyum.
“Papa, putra kita benar-benar mirip kamu, ya,”
"Kau sudah mengatakan itu sejak dulu, sayang..."
Nyonya Vera kembali bergumam. "Kau lihatlah cara dia perlakukan Chesna. Hanya pegang tangan. Dulu kan kau juga begitu, sangat sopan." mama Reva mengenang kembali betapa suaminya itu sangat menghormati kesucian dalam hubungan mereka sebelum menikah.
___
Bersambungggg
bukannya nikmatin hr tua,ehh malah ikut campur urusan cucu2 nya/Left Bah!/
thor lidya biang gosip ya,apa2 selalu aja tau/Facepalm/
thor kapan giliran alan??