NovelToon NovelToon
Regresi Sang Raja Animasi

Regresi Sang Raja Animasi

Status: sedang berlangsung
Genre:Menjadi Pengusaha / Bepergian untuk menjadi kaya / Time Travel / Mengubah Takdir / Romantis / Romansa
Popularitas:2.4k
Nilai: 5
Nama Author: Chal30

Kael Ardhana, animator berusia 36 tahun yang hidupnya hancur karena kegagalan industri, tiba-tiba terbangun di tubuhnya saat berusia 18 tahun… di tahun 1991. Dengan seluruh pengetahuan masa depan di tangannya, Kael bertekad membangun industri animasi lokal dari nol, dimulai dari sebuah garasi sempit, selembar kertas sketsa, dan mimpi gila.

Tapi jalan menuju puncak bukan sekadar soal kreativitas. Ia harus menghadapi dunia yang belum siap, persaingan asing, politik industri, dan masa lalunya sendiri.
Bisakah seorang pria dari masa depan benar-benar mengubah sejarah… atau justru tenggelam untuk kedua kalinya?

Yuk ikutin perjalanan Kael bersama-sama.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chal30, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25: Pagi Pertama di Singapura

Kael terbangun dengan perasaan aneh, campuran antara jet lag ringan dan adrenalin yang mulai memompa begitu matanya terbuka. Jam dinding hotel menunjukkan pukul enam pagi, tapi tubuhnya terasa seperti masih jam lima waktu Jakarta.

Dimas masih terlelap, setengah tubuhnya menggantung dari kasur dengan mulut menganga lebar. Kael menahan tawa, lalu bergegas ke kamar mandi. Air hangat yang mengalir stabil terasa seperti kemewahan kecil, sesuatu yang jarang ia dapatkan di kontrakan yang kadang airnya terlalu dingin, kadang terlalu panas.

Sarapan di hotel sederhana tapi cukup, roti panggang, telur orak-arik, sosis, dan kopi yang enak. Mereka berlima duduk di satu meja dengan Adi yang sudah menyiapkan kamera, merekam momen sarapan pertama mereka di negeri orang.

“Lu tidur nyenyak, Ran? Kamarnya oke?” tanya Kael sambil menyeruput kopi panas, matanya melirik Rani yang wajahnya masih sedikit bengkak karena tidur.

“Nyenyak banget. AC nya dingin sampai gue harus pakai selimut tebal. Beda banget sama Jakarta yang gerah mulu,” jawab Rani sambil mengoleskan selai kacang ke rotinya, suaranya santai tapi terdengar puas.

“Gue malah gak bisa tidur,” gumam Budi dengan nada gugup. “Kepikiran terus soal festival. Bayangin, karya kita bakal dilihat sama animator dari berbagai negara. Serem sekaligus seru.” Ia mengaduk telur orak-ariknya tanpa benar-benar makan.

Arman yang biasanya pendiam tiba-tiba bersuara, kali ini dengan nada antusias. “Gue penasaran sama level karya mereka. Apa sebagus yang kita bayangin, atau malah kita yang lebih bagus?”

“Kita gak akan tau sampai lihat langsung,” jawab Kael dengan tenang. “Yang penting kita datang buat belajar, bukan buat sombong atau minder. Kita datang sebagai setara , embuat film yang punya cerita buat dibagikan.”

Pukul sembilan pagi, mereka berangkat ke venue festival, gedung teater besar di kawasan Marina Bay. Arsitekturnya modern dan megah, dengan dinding kaca yang memantulkan cahaya pagi. Lobi gedung sudah ramai oleh peserta dari berbagai negara, masing-masing mengenakan name tag berwarna-warni dengan bendera negaranya.

Kael menatap name tag bertuliskan “Indonesia” di dadanya. Ada rasa bangga yang menyesak di dada. Mereka bukan cuma mewakili Studio Garasi, tapi juga animasi Indonesia di panggung internasional.

Upacara pembukaan dimulai tepat pukul sepuluh. Auditorium besar itu dipenuhi pencahayaan lembut dan layar proyeksi raksasa. Sistem suaranya membuat Budi berbisik kagum, “Gila, gue mau studio kita punya sistem kayak gini suatu hari nanti.”

Direktur festival, seorang wanita paruh baya dengan kacamata elegan, berdiri di podium. Suaranya berwibawa, mengalun jernih ke seluruh ruangan.

“Animasi tidak mengenal batas negara, tidak mengenal batas bahasa,” ucapnya tegas. “Gambar bergerak dan musik adalah bahasa universal yang bisa menyentuh hati siapapun. Festival ini adalah perayaan dari keragaman itu, dari gaya, teknik, dan cerita yang berbeda, tapi semua bersatu dalam semangat yang sama.”

Tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Kael menatap ke depan, hatinya tergerak.

Setelah pembukaan, mereka menghadiri diskusi panel berjudul “Masa Depan Animasi Asia: Tantangan dan Peluang.” Panelisnya adalah animator senior dari Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Thailand—semua nama besar yang selama ini Kael kagumi.

Moderator memulai dengan suara energik. “Animasi Asia sering dibayangi oleh dominasi Jepang. Bagaimana kita bisa mengubah itu?”

Seorang animator asal Korea menjawab dengan nada tenang tapi penuh keyakinan. “Pertama, kita harus percaya pada nilai cerita budaya kita sendiri. Jangan meniru gaya Barat atau Jepang. Animasi Korea mulai diakui dunia ketika kami mulai bercerita sebagai diri kami sendiri.”

Kael mengangguk kecil, matanya berbinar. “Itu yang selalu gue pikirin,” gumamnya pelan.

Animator dari Thailand kemudian menimpali dengan serius. “Tapi masalahnya juga di infrastruktur dan pendanaan. Banyak talenta Asia Tenggara gak punya akses pelatihan atau modal. Pemerintah dan investor swasta harus berperan kalau kita mau maju bersama.”

“Ini persis masalah yang kita hadapi juga,” bisik Rani pelan ke Kael, suaranya nyaris tenggelam oleh riuh ruangan.

“Makanya kita harus buktiin kalau animasi lokal itu layak didukung,” balas Kael dengan nada bersemangat. “Kalau Sang Penjaga berhasil, itu bisa jadi pembuka jalan buat semua orang di industri ini.”

Diskusi berlanjut—tentang distribusi, cara bersaing dengan Disney dan Pixar, sampai pentingnya kolaborasi antar studio Asia.

Usai panel, sesi networking dimulai di lobi. Aroma kopi dan kue kering memenuhi udara. Kael melirik ke arah animator Thailand tadi, lalu melangkah menghampirinya.

“Halo, saya Kael dari Studio Garasi, Indonesia,” ucapnya dengan sopan, nada suaranya sedikit gugup tapi antusias. “Saya sangat setuju dengan apa yang Anda katakan soal keaslian budaya.”

Pria itu tersenyum hangat. “Ah, Indonesia! Saya dengar film kalian dinominasikan untuk Best Short Animation. Itu karya kamu?”

“Ya,” jawab Kael sambil tersenyum tipis. “Judulnya Sang Penjaga. Tentang penjaga hutan dan anak kecil yang mengingatkan dia pada tujuan hidupnya.”

“Kedengarannya menarik,” ujar Somchai, nama animator itu, dengan nada tulus. “Saya pasti akan menontonnya. Indonesia punya cerita rakyat yang kaya. Bagus kalau kalian mulai mengangkat itu.”

Mereka saling bertukar kartu nama. Kael menyerahkan kartu sederhana buatan Rendra, kertasnya mungkin tidak mahal, tapi logonya bersih dan mudah diingat.

Sementara itu, Rani berbicara dengan animator perempuan dari Taiwan. Mereka berdiskusi tentang seni latar dan kesulitan menjaga konsistensi tone warna di tiap frame.

“Background kamu di film itu ekspresif sekali,” puji animator Taiwan itu dengan mata berbinar. “Bukan sekadar latar, itu seperti perpanjangan dari emosi karakter.”

Rani tersipu kecil. “Terima kasih. Kami memang ingin setiap frame bisa berdiri sendiri, tapi tetap melayani cerita,” ucapnya dengan nada malu-malu, jarinya tanpa sadar meremas ujung bajunya.

Sore hari mereka menonton pemutaran film non kompetisi. Ruangan gelap, cahaya layar menari di wajah mereka.

“Lihat pencahayaannya,” bisik Dimas kagum. “Mereka tunjukin berlalunya waktu tanpa teks, cuma dari perubahan tone warna.”

“Dan desain suaranya…” tambah Budi dengan suara pelan tapi penuh semangat. “Keheningan mereka manfaatin kayak instrumen musik. Gila sih.”

Malamnya, mereka makan di hawker center yang ramai. Bau laksa dan nasi hainan bercampur di udara.

“Besok jam berapa pemutaran kita?” tanya Arman dengan mulut penuh, menyeruput kuah laksa tanpa peduli sopan santun.

“Jam dua siang,” jawab Kael sambil melirik jadwal yang sudah lecek karena sering dibuka. “Kita harus datang sejam sebelumnya buat pengecekan teknis.”

“Gue gak tau bisa tidur atau enggak malam ini,” ujar Rani pelan, suaranya terdengar gugup. “Takut kalau filmnya gak diterima.”

Kael menatapnya, lalu meraih tangan Rani di atas meja. “Kita udah ngelakuin yang terbaik,” ucapnya lembut. “Sekarang biarin filmnya yang ngomong.”

Rani mengangguk pelan, dan senyumnya yang kecil cukup membuat Kael sedikit lebih tenang.

Malam itu mereka kembali ke hotel dalam kelelahan. Tapi rasa puas menyelimuti langkah mereka. Hari pertama bukan cuma soal belajar, itu pembuktian bahwa mereka memang pantas ada di sini.

Kael terbaring di kasur, matanya menatap langit-langit. Dalam hati ia berdoa lirih.

'Ya Tuhan, kalau ini jalan yang benar, beri kami kekuatan buat menghadapi apapun yang terjadi besok. Kalau bukan, beri kami kebijaksanaan buat belajar. Apa pun hasilnya, terima kasih udah kasih kesempatan ini.'

Ia memejamkan mata. Tidurnya gelisah, tapi di balik mimpi yang samar-samar, ada secercah keyakinan bahwa esok hari akan membawa sesuatu yang besar.

1
Syahrian
🙏
Syahrian
😍🙏
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍🙏
Revan
💪💪
Syahrian
Lanjut thor
Kila~: siap mang💪
total 1 replies
pembaca gabut
thorr lagi Thor asik ini 😭
±ηιтσ: Baca karyaku juga kak
judulnya "Kebangkitan Sima Yi"/Hey/
total 2 replies
pembaca gabut
asli gue baca ni novel campur aduk perasaan gue antara kagum dan takut kalo kael dan tim gagal atau ada permasalahan internal
Syahrian
Lanjut thor👍👍
Revan
💪💪💪
Revan
💪💪
Syahrian
Tanggung thor updatenya🙏💪👍
Kila~: udah up 3 chapter tadi bang/Hey/
total 1 replies
Syahrian
🙏👍👍
Kila~: makasii~/Smile/
total 1 replies
Syahrian
👍🙏
Syahrian
😍
Syahrian
👍
Syahrian
Lanjut 👍😍
Kila~: sudah up 2 chapter nih
total 1 replies
Syahrian
Lanjuut🙏
Kila~: besok up 3 chapter 😁
total 1 replies
Syahrian
Mantap💪🙏
Kila~: terimakasih bang/Rose/
total 2 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!