Fresha seorang gadis lugu, kurang percaya diri yang viral mirip Sha Artis legend yang telah meninggal 20 tahun.
Setelah kacamata Fresha terlepas maka tanpa sadar Fresha jadi Sha, yang percayadiri , aura bintang dia mulai muncul.
Fresha bisa tahu masa lalu Sha Sangat Legenda.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lingga Mn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Adalah Seorang
Di sebuah kafe yang nyaman di kota C, Zheshe duduk gelisah di antara orang-orang terdekatnya: mamanya, Gea, omnya, Akbar, dan Bu Lusi. Pertemuan ini bukan sekadar ajang kumpul biasa, melainkan sebuah persidangan kecil untuk sebuah identitas yang hilang dan ditemukan kembali.
"Ma, hasil tes DNA, bagaimana?" tanya Zheshe, suaranya bergetar menahan gugup.
Gea mengulurkan sebuah amplop putih. "Ini surat keterangan hasil tes DNA. Dan ya, Nak, Fresha adalah anak kandung Bunda Fatma. Itu membuktikan bahwa Fresha adalah Sha." Jawab Gea dengan lembut.
Zheshe meraih surat itu dengan tangan gemetar. Ia membaca setiap kata, setiap kalimat, seolah mencari celah keraguan di antara barisan angka dan istilah medis. Namun, kenyataan terpampang jelas di hadapannya: Fresha adalah Sha.
"Mama ingin berbicara dengan nenekmu," kata Gea, matanya berkaca-kaca. "Fresha adalah Sha. Tapi ommu ini mencegah." Ia melirik Akbar dengan nada sedikit kesal.
Akbar mengangkat kedua tangannya, mencoba menenangkan suasana. "Om punya alasan, Zhe. Nenek masih sering sakit-sakitan. Ini semua belum jelas benar. Memang benar, Fresha adalah Sha, tapi apakah Fresha ingat dirinya sebagai Sha? Selama ini, setiap kali kita bertemu, dia seperti orang yang baru mengenal kita. Memang om akui, pertama kali bertemu, ada perasaan familiar yang kuat. Tapi Fresha tidak pernah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia adalah Sha. Terus, bagaimana Sha bisa menjadi Fresha? Ini yang belum om mengerti."
Suasana hening sejenak, diisi oleh kebingungan dan pertanyaan yang belum terjawab. Kemudian, Bu Lusi angkat bicara, memecah kebuntuan.
"Mungkin dengan cara ini," kata Bu Lusi, menyodorkan ponselnya. Di layar terpampang sebuah artikel dengan judul yang mencuri perhatian: "Perpindahan Memori: Harapan Baru atau Tragedi Kemanusiaan?
Akbar dan Gea membaca artikel itu dengan seksama, alis mereka berkerut dalam. Artikel itu membahas tentang sebuah teknologi kontroversial yang memungkinkan memori seseorang yang telah meninggal dipindahkan ke otak orang lain yang mengalami koma. Teknologi ini menawarkan harapan bagi pasien koma untuk kembali sadar, namun juga menimbulkan pertanyaan etika yang mendalam.
"Apa maksud Bu Lusi?" tanya Akbar, menatap Bu Lusi dengan tatapan menyelidik. "Apakah Sha menjadi Fresha karena Fresha yang asli sudah meninggal, dan memorinya dipindahkan ke tubuh Sha? Apakah Sha menjadi Fresha karena itu?"
"Ya, benar," jawab Bu Lusi, mengangguk mantap. "Dan ada kemungkinan alat pengendali cip di otak Sha adalah kacamata. Jadi, ketika Fresha memakai kacamata, maka sepenuhnya Fresha yang pemalu, kurang percaya diri, tapi jenius matematika. Tapi kalau dia tidak memakai kacamata, maka dia tetap menjadi Fresha, namun sifat dan sebagian ingatan Sha muncul, seperti kepercayaan diri dan tingkah laku Sha, tapi dia tetap ingat dirinya adalah Sha."
"Iya, memang benar," sahut Zheshe, matanya berbinar menyadari kebenaran teori Bu Lusi. "Fresha berkacamata dan tanpa kacamata adalah dua orang yang berbeda. Aku dan murid-murid yang lain melihat Fresha yang berbeda."
"Jadi, siapa yang memasukkan memori Fresha ke Sha?" tanya Gea, suaranya bergetar karena ngeri.
"Apakah Tante Lidia tahu bahwa Fresha adalah Sha?" tanya Zheshe, pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan yang belum terjawab.
"Mungkin dia tahu, mungkin juga tidak," jawab Akbar, nadanya serius. "Tapi kita harus mencari tahu, Zhe. Selidiki, tapi hati-hati. Ini soal hati dan identitas seseorang."pinta Gea.
Hari semakin malam, dan bayangan panjang mulai menari di dinding kafe. Zheshe dan Bu Lusi memutuskan untuk pulang ke kota J, sementara Gea dan Akbar kembali ke desa C. Pertemuan itu telah membuka tabir sebuah misteri, namun juga menimbulkan pertanyaan yang lebih besar dan berbahaya. Mereka tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai
***
Malam merayap turun, menyelimuti kota dengan sunyi dan dingin yang menusuk tulang. Namun, di tengah keheningan itu, Fresha berdiri di sebuah taman bunga yang bermandikan cahaya rembulan. Aroma manis menyeruak di udara, namun tak mampu menenangkan gejolak di hatinya.
Tiba-tiba, matanya terpaku pada sosok seorang wanita yang berdiri tak jauh darinya. Wanita itu mengenakan kacamata yang menutupi sebagian wajahnya, dari mata hingga ke dagu. Ada sesuatu yang familiar dalam diri wanita itu, sesuatu yang membuatnya merasa tertarik sekaligus takut.
Wanita itu tersenyum manis, lalu melangkah mendekat. "Hai, Sha," sapanya dengan suara lembut.
Fresha mengerutkan kening, bingung. "Maaf, aku bukan Sha. Aku Fresha," jawabnya, berusaha meyakinkan wanita itu—dan mungkin juga dirinya sendiri.
Wanita itu menggeleng pelan. "Akulah Fresha. Aku hanya memori. Tubuhmu, jiwamu, itu milik Sha."
Kebingungan Fresha semakin menjadi-jadi. "Aku tak mengerti. Apa maksudmu?" tanyanya dengan wajah pucat.
Wanita itu menghela napas panjang, seolah mengumpulkan keberanian. "Pada intinya, kamu adalah Sha. Tapi aku... aku dipaksa masuk. Kini kita jadi satu. Tapi sebenarnya kamu bisa mengendalikan ini. Dan yang bisa melepaskan aku juga hanya kamu." Jawab wanita itu, suaranya lirih dan penuh kepedihan. Ia adalah memori Fresha, terjebak dalam tubuh Sha.
Fresha terdiam, mencoba mencerna kata-kata wanita itu. Otaknya terasa berputar, dipenuhi dengan informasi yang terlalu banyak untuk diproses. Ia merasa seperti berada di tengah mimpi yang aneh dan menakutkan.
"Bagaimana... bagaimana aku bisa mengendalikan ini?" tanya Fresha, suaranya nyaris berbisik.
Wanita itu tersenyum tipis. "Kamu harus belajar menerima dirimu apa adanya. Kamu adalah Sha, tapi kamu juga memiliki memori dan kepribadian Fresha. Kamu harus belajar menyeimbangkan keduanya. Gunakan kacamata itu sebagai jembatan, bukan sebagai tembok pemisah."
"Kacamata?" Fresha menyentuh bingkai kacamatanya dengan ragu. "Jadi, kacamata ini yang membuatku menjadi Fresha?"
"Ya, kacamata itu adalah kunci untuk mengakses memori dan kepribadian Fresha. Tapi ingat, itu hanyalah alat bantu. Kamu tetaplah Sha, dengan atau tanpa kacamata," jelas wanita itu.
"Lalu, bagaimana aku bisa melepaskan mu?" tanya Fresha, merasa iba pada wanita yang terjebak di dalam dirinya.
Wanita itu menatap Fresha dengan tatapan penuh harap. "Kamu harus menemukan kebahagiaanmu sendiri. Ketika kamu benar-benar bahagia sebagai Sha, ketika kamu menerima dirimu sepenuhnya, maka aku akan pergi dengan sendirinya. Aku akan kembali ke tempat asalku, dan kamu akan bebas."
Sebelum Fresha sempat bertanya lebih lanjut, wanita itu mulai memudar, tubuhnya perlahan menghilang ditelan kegelapan malam.
"Tunggu!" seru Fresha, berusaha meraihnya. Namun, wanita itu telah lenyap, meninggalkan Fresha seorang diri di tengah taman bunga yang sunyi.
Fresha terhuyung mundur, memegangi kepalanya yang terasa sakit berdenyut. Apa yang baru saja terjadi? Apakah ia bermimpi? Atau apakah ia benar-benar berbicara dengan memori Fresha yang asli?
Ia menatap kacamatanya, benda yang kini terasa begitu asing dan aneh di wajahnya. Apakah benda ini benar-benar memiliki kekuatan untuk mengubah dirinya? Apakah ia benar-benar bisa mengendalikan identitasnya sendiri?
Dengan tekad yang baru tumbuh, Fresha menggenggam erat kacamatanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun ia berjanji pada dirinya sendiri untuk mencari tahu kebenaran. Ia akan belajar menerima dirinya apa adanya, sebagai Sha yang memiliki memori dan kepribadian Fresha. Ia akan mencari kebahagiaan, dan dengan begitu, ia akan membebaskan memori Fresha yang terjebak di dalam dirinya.
Ia melangkah keluar dari taman, meninggalkan bunga-bunga yang bermekaran di belakangnya. Malam yang sunyi dan dingin kini terasa sedikit lebih hangat, seiring dengan harapan yang mulai tumbuh di hatinya. Perjalanan panjang dan berliku menantinya, namun ia tidak takut. Ia tahu, ia tidak sendirian. Ada keluarga dan teman-teman yang akan selalu mendukungnya, dan ada memori Fresha yang akan selalu menemaninya.
Fresha terus berjalan, menyusuri jalanan kota yang sepi. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, namun ia tahu bahwa ia harus terus bergerak maju. Ia harus menemukan jati dirinya, dan ia harus membebaskan dirinya dari belenggu masa lalu.
Di kejauhan, lampu-lampu kota berkelap-kelip seperti bintang-bintang yang jatuh dari langit. Fresha tersenyum tipis, merasakan semangat baru yang membara di dalam dirinya. Ia adalah Sha, dan ia adalah Fresha. Ia adalah keduanya, dan ia adalah satu. Ia adalah dirinya sendiri, dan ia akan menentukan takdirnya sendiri.