Bertahun-tahun memendam cinta pada Bagaskara, Aliyah rela menolak puluhan lamaran pria yang meminangnya.
Tak disangka, tepat di hari ulang tahunnya, Aliyah mendapati lamaran dari Bagaskara lewat perantara adiknya, Rajendra.
Tanpa pikir panjang Aliyah iya-iya saja dan mengira bahwa lamaran itu memang benar datang dari Bagaskara.
Sedikitpun Aliyah tidak menduga, bahwa ternyata lamaran itu bukan kehendak Bagaskara, melainkan inisiatif adiknya semata.
Mengetahui hal itu, alih-alih sadar diri atau merasa dirinya akan menjadi bayang-bayang dari mantan calon istri Bagaskara sebelumnya, Aliyah justru bertekad untuk membuat Bagaskara benar-benar jatuh cinta padanya dengan segala cara, tidak peduli meski dipandang hina ataupun sedikit gila.
.
.
"Nggak perlu langsung cinta, Kak Bagas ... sayang aja dulu nggak apa-apa." - Aliyah Maheera.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25 - Jual Mahal
Kompak meninggalkan Dion dan Shenina, keduanya juga pulang bersama dengan Rajendra yang menjadi sopir sementara Bagas memang penumpang sejak awal pergi.
Sebenarnya bisa saja Bagas tidak pulang lebih dulu karena Dion sudah dipastikan bersedia direpotkan, akan tetapi berhubung memang ada alasan lain yang memuat Bagas harus pulang, maka tidak ada alasan Bagaskara untuk menetap di sana.
“Yakin langsung pulang?”
“Iya, lah apalagi?” Bagaskara balik bertanya tatkala Rajendra tampak tidak yakin dengan keputusannya.
“Mana tahu, biasanya ngobrol dulu tanpa aku.”
Bagas paham kenapa Rajendra sampai bertanya dan tentang itu, dia tidak akan diam saja. “Sama sepertimu yang ditunggu Aruni, aku juga begitu.”
“Halah, bilang saja mau lanjutin yang tadi,” cibir Rajendra sempat-sempatnya berusaha menggoda sang kakak di situasi begini.
Padahal, sebelumnya dia sudah panik sendiri dan merasa ada yang tidak beres hingga memutuskan pulang lebih cepat. Tidak ingin menanggapi serius candaan Rajendra yang sebenarnya tidak salah, Bagaskara memilih diam dan menatap ke luar jendela.
Membiarkan Rajendra yang fokus mengemudi dan pikiran anehnya, sebagai pria beristri jelas saja Rajendra paham sebenarnya.
Sepanjang perjalanan, tidak ada pembicaraan dan mereka hanya fokus dengan pikiran masing-masing. Hingga, tepat di saat mobil berhenti di kediaman Bagaskara, Rajendra kembali mengungkapkan keraguannya.
“Sebentar, Kak.”
“Apa?”
“Soal Dion dan Shenina, aku mendadak kepikiran lagi ... apa Kakak tidak curiga? Pun itu sedikit saja?” sekali lagi Rajendra memastikan, dia sudah berusaha untuk berprasangka baik nyatanya tidak bisa, masih tetap suudzon juga.
“Sejauh ini dan melihat dari cara mereka bicara, rasanya tidak, Jendra.”
Begitu ucap Bagaskara dan Rajendra tampaknya sedikit kecewa. “Ah malah rasanya, ya sudah sana ... cuma aku yang curiga ternyata.”
Sejenak, Bagaskara menarik napas panjang sebelum kemudian dia embuskan perlahan. “Aku tahu perasaanmu, tapi untuk kali ini cobalah untuk tidak terlalu berpikir jauh. Dion dan Shenina tidak sejahat itu, lagipula bukankah Rey juga sudah mengatakan bahwa bukan mereka pelakunya.”
Mereka masih bertolak belakang saat ini, dan Rajendra yang tetap kekeuh dengan suudzon-nya itu sama sekali tidak sependapat dengan Bagaskara.
“Ya sudah ... mungkin aku yang terlalu berlebihan, semoga mereka memang sebaik yang kau kira.” Rajendra sejenak menyerah dengan tuduhannya, mencoba berpikir positif seperti kata Bagas.
Senyum hangat pria itu terukir tipis, dan tak berselang lama pasca pembicaraan itu, Bagaskara turun segera.
Sebelum masuk, dia memastikan adiknya benar-benar berlalu dan tidak lagi terlihat oleh pandangan mata.
Menjadi kakak tertua dan menggantikan sosok ayah sekaligus pemimpin untuk adik-adiknya membuat Bagaskara tidak bisa berpihak pada salah-satu.
Sekalipun kecurigaan Rajendra bisa jadi benar, tapi akan tidak bijak menurutnya jika ikut-ikutan curiga sementara Shenina maupun Dion sendiri sudah berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik selama menjadi adiknya.
Dan ya, sejenak melupakan tentang masalah itu, Bagaskara meneruskan langkahnya. Mengingat Aliya memang dia minta untuk menunggu, pikiran pria itu langsung tertuju pada sang istri.
“Kita lihat, apa dia sudah mandi dengan benar?” Pria itu bertanya, tapi hanya sebatas gumaman pelan dan tidak benar-benar dia lontarkan lewat lisan.
Dia berjalan dengan tenang, jelas mempertahankan wibawa dan tidak ingin terlihat jelas bahwa tengah menginginkan istrinya. 180 derajat berbeda dengan Aliya, memang begitu sikap Bagaskara.
Tidak peduli sekalipun jantungnya tengah berdegup tak karu-karuan, dia tetap tenang dan tatapan tajamnya masih berkuasa di sana. Ya, begitulah prinsip manusia jual mahal.
Tepat di saat pintu utama terbuka, Bagaskara tidak menemukan Aliya menyambut kedatangannya. Suasana di sana terasa sepi, hening dan tidak ada seorangpun.
“Aliya ....” Bagas mulai bersuara, memanggil sang istri yang tak terlihat di pandangan matanya.
Sekali panggilan, tapi tak juga mendapat jawaban. “Al,” ulang Bagas dengan harapan sama, tapi pria itu tidak mendengar sahutan dari Aliya.
Hingga, tepat di saat dia membuka pintu kamar, Bagaskara mendapati Aliya yang tadi dia minta untuk menunggu tengah terlelap di atas sofa dengan posisi setengah duduk.
“Tidur? Jam segini?” tanya Bagaskara lebih kepada dirinya sendiri.
Pria itu mengerutkan dahi, perlahan mendekat ke arah sang istri dan ikut duduk di sisi sofa yang kosong.
Lama dia pandangi, wajah Aliya yang jika membuka mata terlihat begitu ceria itu tampak lelah. Baru Bagas sadari bahwa lingkar matanya bahkan sedikit berbeda, agak menghitam dan tentu saja karena kurang tidur.
Ingin dia bangunkan, tapi ternyata tetap ada perasaan tak tega hingga pria itu mengurungkan niat. Namun, tepat di saat Bagas hendak beranjak berdiri, Aliya justru membuka mata dan bertanya dengan suara pelannya.
“Kak? Baru pulang ya?”
Sontak Bagaskara menoleh, melirik ke arah Aliya yang kini berusaha duduk. Dia terlihat berbeda, lelah dan seperti tengah menahan rasa sakit.
“Kamu kenapa? Sakit?” Tidak hanya sekarang bertanya, Bagaskara juga menempelkan punggung tangan di kening sang istri demi memastikan suhu tubuh wanita itu.
Aliya menggeleng pelan, tapi jika dilihat dari raut wajahnya jelas sekali seperti orang yang tengah sakit. “Terus kenapa?”
“Ha-id,” jawab Aliya terkesan ogah-ogahan sembari berdiri dan sukses membuat raut wajah Bagaskara berubah.
“A-apa kamu bilang?”
“Ha-id, Kak,” ulang Aliya lagi.
Berharap betul Bagas salah dengar, tapi Aliya sudah menjawab sejelas itu. Seolah tak puas, Bagaskara menuntut penjelasan lebih dalam dan kini mengekor di balik punggung sang istri.
“Kamu bercanda, Al?”
“Enggak.”
“Mustahil, tadi sore belum mana mungkin sekarang tiba-tiba begitu,” ucap Bagaskara tidak percaya, dia yakin betul ada alasan kenapa Aliya menjawab demikian.
Di sisi lain, Aliya yang memang mulai merasa lelah hanya menghela napas panjang. “Beneran, Kak, untuk apa kau bohong.”
“Ck.” Pria itu berdecak pelan, tampak kesal dan tidak terima keadaan. “Coba lihat.”
“Heih?”
.
.
- To Be Continued -
Elu kagak tauuu sihh ada yang gagal lolos pildun 😔...
Ehhh apa hubungannya yaa sama pintu restoran dengan pildun /Sob/..