Syima dan Syama adalah kembar identik dengan kepribadian yang bertolak belakang. Syama feminim, sementara Syima dikenal sebagai gadis tomboy yang suka melanggar aturan dan kurang berprestasi akademik.
Hari pernikahan berubah menjadi mimpi buruk, saat Syama tiba-tiba menghilang, meninggalkan surat permintaan maaf. Resepsi mewah yang sudah dipersiapkan dan mengundang pejabat negara termasuk presiden, membuat keluarga kedua belah pihak panik. Demi menjaga nama baik, orang tua memutuskan Devanka menikahi Syima sebagai penggantinya.
Syima yang awalnya menolak akhirnya luluh melihat karena kasihan pada kedua orang tuanya. Pernikahan pun dilaksanakan, Devan dan Syima menjalani pernikahan yang sebenarnya.
Namun tiba-tiba Syama kembali dengan membawa sebuah alasan kenapa dia pergi dan kini Syama meminta Devanka kembali padanya.
Apa yang dilakukan Syima dalam mempertahankan rumah tangganya? Atau ia akan kembali mengalah pada kembarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Misstie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perkara Resleting
Resepsi telah usai. Syima dan Devanka digiring staf ke kamar pengantin yang sebelumnya menjadi tempat perdebatan soal pengganti Syama. Disinilah mereka sekarang, terkurung di kamar, berdua. Cangung. Hening.
Syima membeku di dekat pintu masuk. Matanya melirik Devanka sekilas, buru-buru mengalihkan pandangan ketika pria itu balik menatapnya. Pipinya langsung terasa seperti terbakar api.
"Astaga... kita bakal satu kamar? Aku tidur di mana?" gumamnya pelan, panik sendiri. "Kenapa tadi aku nggak mikirin sampai sejauh ini sih? Kan abis nikah pasti satu kamar."
Tanpa banyak bicara, Devanka melangkah masuk sambil melepas jas hitamnya dengan gerakan yang sangat wajar. Dia menggantungnya di kursi dengan rapi, sama sekali tidak terlihat terganggu oleh keberadaan Syima. Justru sikap tenang dan normalnya itu membuat Syima tambah gugup. Dia masih berdiri kaku di dekat pintu seperti patung, mencengkeram gaun goldnya.
"Pak… ini… eh…anu," suaranya pelan, berantakan. "Ini... eh... maksudnya... kita... beneran di sini berdua doang? Sekamar gitu?" bisiknya lirih, hampir tidak terdengar.
Devanka yang sedang melonggarkan dasinya menoleh dengan ekspresi datar. "Iya. Kenapa? Kamu mau Mama sama Ibu ikut tidur di sini juga?" tanyanya dengan nada tenang tapi terdengar sedikit sarkasme.
Syima tercekat, jantungnya berdentum kencang. "Sial!" gumamnya pelan.
Alis Devanka terangkat, matanya menatap Syima dengan pandangan heran. "Kamu mengumpat?"
Syima membulatkan mata, panik. "Eh, nggak! Enggak, Pak. Bapak salah dengar." Dia menutupinya dengan tawa kering yang jelas sekali palsu dan dipaksakan.
Sudut bibir Devanka berkedut menahan senyum. Jelas-jelas dia mendengar istrinya mengumpat tadi. "Kamu mau berdiri di situ terus sampai pagi? Nggak mau ganti baju?"
Syima mengedip cepat sambil menoleh ke kanan-kiri seperti mencari jalan kabur. Begitu matanya menangkap pintu kamar mandi, dia langsung bergerak ke sana, nyaris seperti orang lari dari kebakaran.
"Saya... saya mandi duluan ya, Pak!" serunya sambil membanting pintu kamar mandi.
Devanka menggeleng pelan sambil tersenyum tipis melihat tingkah istrinya. Dia lalu duduk di sisi ranjang king size, melepas sepatu. Matanya melirik ke arah pintu kamar mandi yang tertutup rapat, menghela napas panjang.
Sejujurnya sekarang dia bingung harus berbuat apa. Berdua di kamar dengan seorang wanita yang bahkan tidak terlalu dikenalnya secara personal, meski wajahnya identik dengan Syama, tapi mereka berbeda. Hanya beberapa jam di samping gadis itu saja, Devanka sudah bisa melihat perbedaan yang sangat jelas diantara keduanya.
Kepalanya terasa berat, pikirannya campur aduk. Beberapa jam yang lalu dia hampir sah menikahi Syama, wanita yang dicintainya, tapi dalam sekejap mata, dia malah menjadi suami kembaran Syama yang juga mahasiswi bimbingannya.
Marah, kecewa, lelah, bingung, semua emosi itu bercampur jadi satu di hatinya. Tapi dia tidak bisa melampiaskannya pada siapa pun, apalagi pada Syima. Karena Syima yang paling dikorbankan dalam situasi ini. Gadis itu telah mengorbankan hidupnya sendiri demi menyelamatkan wajah keluarga, termasuk Devanka. Dan sekarang dia harus berusaha membuat Syima nyaman di sekitarnya.
Sementara itu di kamar mandi, Syima menatap pantulan dirinya di cermin besar. Dia merasakan kegelisahan yang sama dengan yang di rasakan Devanka. Berbagai skenario di buatnya saat keluar dari toilet. Jantungnya berdebar, bahunya terasa berat, perasaannya campur aduk tidak karuan.
Menghela napas panjang, Syima mulai meraba-raba resleting gaun di punggungnya. Awalnya bergerak lancar, tapi tiba-tiba di tengah-tengah macet total. Tidak bisa ditarik naik ataupun turun.
"Ya Allah… resleting malah cari masalah lagi," rutuknya kesal sambil memutar-mutar badan seperti anjing mengejar ekornya sendiri.
Lima belas menit Syima masih bergulat dengan resleting bandel itu. Tangannya sudah pegal, keringat dingin mulai muncul.
"Astaga... ini kenapa sih?!" gerutunya sambil menarik resleting dengan lebih kasar, dan malah membuatnya semakin macet.
“Syima, sudah selesai?” suara Devanka terdengar dari luar.
Syima mendadak panik. "Belum, Pak! Tunggu sebentar!" teriaknya agak keras. "Cuma... uhm... saya lagi nggak akur sama resleting."
Hening beberapa detik. Suara Devanka kembali menyahut dengan nada yang sama tenangnya. "Kalau ada masalah, bilang saja. Biar saya bantu."
Syima menatap bayangan dirinya di cermin. Rambut yang tadinya tersanggul rapi kini sudah acak-acakan seperti habis diserbu angin topan, karena dia melepas semua aksesoris kepala dan jepit secara sembarangan. Wajahnya merah padam saking jengkelnya dengan resletingnya.
"Gila aja aku minta tolong ke dia…" desisnya sambil terus mencoba menarik resleting. "tapi susah banget ini!"
Sepuluh menit lagi berlalu. Syima sudah hampir putus asa.
"Syima?" suara Devanka lagi, kali ini sedikit khawatir. "Kamu baik-baik saja, kan?"
Dengan berat hati dan rasa malu yang luar biasa, Syima membuka pintu sedikit, menampakkan wajahnya.
"Pak... maaf... bisa bantuin dikit nggak? Resletingnya nyangkut," suaranya kecil seperti anak kucing.
Devanka yang berdiri di depan pintu sedikit terkejut sebentar dan tersenyum tipis melihat penampilan Syima. "Boleh. Kamu muter balik aja, biar gampang."
Syima mengerjap gugup. Pelan-pelan dia membuka pintu lebih lebar, lalu membalikkan badannya. Punggungnya terasa panas bukan karena resleting macet, tapi karena sadar pria yang sudah resmi menjadi suaminya itu sebentar lagi akan melihat punggung polosnya. Syima refleks menahan napas.
Perlahan Devanka mendekat, menjaga jarak seperlunya. Jemarinya menyentuh resleting yang macet dengan hati-hati, berusaha tidak menyentuh kulit Syima lebih dari yang diperlukan.
"Sebentar. Resletingnya nyangkut di payet." ucapnya dengan suara rendah yang entah kenapa terdengar agak serak.
Butuh beberapa menit dan kesabaran ekstra. Akhirnya resleting itu terbuka. “Sudah,” sambil mundur beberapa langkah, memberikan ruang beberapa senti.
Syima buru-buru berbalik sambil memegangi bagian depan gaunnya agar tidak melorot. Wajahnya sudah semerah tomat busuk. "Ma-makasih ya, Pak."
Sudut bibir Devanka terangkat tipis seraya memperhatikan rambut Syima yang berantakan total. "Rambutnya mau sekalian saya bantu sisirin?" tawarnya dengan nada yang memang terdengar datar, tapi entah kenapa bagi telinga Syima terdengar agak menjengkelkan.
Kedua mata Syima melotot. "Gak perlu," jawab Syima jengkel.
Devanka terkekeh kecil, merasa terhibur. "Oke, oke. Kalau butuh apa-apa tinggal panggil saja. Dan jangan terlalu lama mandinya, sudah hampir tengah malam."
Syima tercenung sebentar. Ada sesuatu yang aneh menyelinap di dadanya, campuran malu, lega dan… entah apa. Untuk mengalihkan rasa gugupnya, Syima buru-buru kembali masuk ke dalam toilet hendak mandi.
Setelah mandi dengan air hangat yang menenangkan selama hampir satu jam, sengaja dilama-lamakan karena tidak siap menghadapi situasi di luar. Syima baru menyadari satu hal yang sangat fatal. Dia tidak membawa pakaian ganti ke dalam kamar mandi.
"Tuhan… perkara apalagi yang hambamu buat ini," desisnya panik,Rambutnya masih setengah basah, menetes ke bahu. Dia menatap tumpukan gaun di lantai dengan wajah putus asa. "Masa iya aku balik pakai itu lagi?"
Matanya beralih pada bathrobe hotel berwarna putih yang tergantung di hook. Satu-satunya penyelamat saat ini.
"Hadeh..." gumamnya sambil memakai bathrobe dengan perasaan tidak rela.
Debaran jantungnya begitu cepat, Syima sedikit membuka pintu kamar mandi. Kepalanya melongok hati-hati seperti mata-mata. Matanya langsung menangkap Devanka yang sudah tertidur di sofa, bukan di ranjang. Terlihat tidak nyaman, kaki panjangnya menjuntai ke lantai, Lengan terlipat di dada. Kancing kemeja putihnya sudah dibuka beberapa.
Syima menggigit bibir, ada perasaan kasihan yang aneh. "Pasti nggak nyaman banget tidur kayak gitu... kenapa nggak tidur di ranjang aja sih?" gumamnya pelan sambil memperhatikan wajah tidur Devanka yang terlihat lelah.
"Semua gara-gara kamu, Syama!" gerutu Syima jengkel mengingat kembali kembarannya itu.
Matanya menyapu ruangan, mencari lokasi kopernya. Dan tentu saja, koper itu ada di sudut ruangan dekat jendela, yang artinya dia harus melewati sofa tempat Devanka tidur.
"Oke, Syima. Kamu pasti bisa. Jalan pelan-pelan, jangan sampai Pak Devan bangun," bisiknya sambil menghela napas panjang, mempersiapkan mental.
Dengan gerakan super hati-hati layaknya ninja, Syima melangkah keluar dari kamar mandi. Bathrobe-nya bergoyang tipis memperlihatkan pahanya setiap kali dia bergerak. Matanya fokus lurus ke arah koper, berusaha tidak melirik ke arah sofa.
"Pelan... pelan... hampir sampai..." bisiknya dalam hati.
Tiba-tiba suara serak terdengar. “Kamu ngapain?”
Syima langsung membeku total di tempat. Seluruh tubuhnya terasa kaku.
"Tuhan… kenapa cobaan hidupku hari ini lengkap banget. Tiba-tiba jadi istri orang, bermasalah sama resleting… sekarang lupa bawa baju ganti, kepergok pula."
love you..../Heart//Heart//Heart//Heart//Heart//Rose//Rose//Rose/
di tunggu gaya bucin pak Devan ....pasti konyol istriya tomboy suami ya kaya kanebo ga ada expresi... di tunggu update selanjutnya thor/Heart//Heart//Heart//Heart//Heart/