Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Gaun yang diberikan oleh Tante Mira sudah aku pakai. Rambut yang biasanya aku gerai atau aku ikat kuncir kuda sekarang aku rapikan sedikit agak bersanggul. Aku juga memakai hairclip bunga di sisi kanan kepala.
Kalung yang diberikan Mada tidak lupa aku pakai. Setelah itu aku menyemprotkan parfum sedikit. Sebelum keluar kamar aku kembali melihat isi kotak hadiah yang aku beli. Masih rapi dan bagus.
Malam ini aku akan datang ke acara ulang tahun Pak Arga. Sebenarnya lelah karena baru berangkat kerja lagi pagi ini. Namun, aku sudah terlanjur berjanji akan datang ke acara ulang tahun ini.
Aku keluar. Suara beberapa orang terdengar, aku tahu Mada dan Leona sudah kembali. Namun kali ini ada suara yang baru beberapa kali aku dengar. Aron. Pria itu juga ikut pulang ke apartemen ternyata.
"Kamu mau kemana?" tanya Mada begitu melihat aku turun dan sudah rapi.
"Ke rumah Papa Arga. Aku sudah mengabarimu tadi," kataku.
"Kapan?"
Aku menoleh pada Leona. Dia terlihat takut saat ini, aku bisa menyimpulkan dia sudah melakukan sesuatu. Pantas saja beberapa pesan yang aku kirim terakhir tidak direspon oleh Mada.
Tidak ingin banyak bicara. Aku mengambil ponselku dan menunjukan chat room kami. Mada mengernyit, dia mengambil ponselnya di mana tidak ada pesanku sama sekali. Marah, tentu saja tapi aku mencoba tenang.
"Lain kali bawa ponselmu kemanapun."
"Aku tahu kali ini aku salah. Aron akan mengantarmu, aku akan menyusul jika sudah selesai urusanku."
"Aku tahu, terima kasih sudah meminjamkan Aron padaku."
Mada memeluk diriku sebentar. Saat itu aku tersenyum senang di depan Leona. Benar, wanita itu kepanasan dengan tingkahku ini. Aku akan terus melakukannya sampai dia berhenti sendiri. Aku tidak ingin tanganku kotor karena menyingkirkan sebuah kotoran yang menjijikan.
"Aku berangkat."
*.*.*.*
Suasana rumah Hilmar terlihat begitu ramai. Dekorasi yang penuh dengan lukisan, di mana lukisan itu lukisan-lukisan yang dibuat sendiri oleh Pak Arga. Aku tahu karena setiap lukisan memiliki tanda nama di sana. Bagi yang tidak mengamati, tentu tidak akan terlihat.
Aku masuk, suasana di dalam rumah lebih ramai dari yang aku kira. Beberapa saat aku kaget, tapi aku mengatur nafasku agar lebih tenang. Aku kira ramai adalah hal yang luar biasa, ternyata begitu menyesakkan untuk diriku yang memilih sendiri ini.
Mataku memindai seluruh ruangan. Baik Oma Melati, Pak Arga, atau orang yang aku kenal tidak ada. Aku memilih menepi sedikit karena tidak tahu juga harus bertanya pada siapa. Semua yang ada di sini, pastilah tamu tidak mungkin aku bertanya tentang sang pemilik rumah.
"Heera. Kamu sudah datang?"
Suara Oma Melati berhasil mengusir rasa gelisah dariku. Aku dan dia berpelukan sesaat sebelum kami saling melepaskan.
"Di mana Papa?"
"Di atas. Masih menunggumu untuk mendampingi di acara inti tiup lilin dan potong kue."
"Pantas saja aku tidak bisa melihat kalian."
"Seharusnya kamu langsung ke atas saja. Ayo."
Mana mungkin aku melakukan hal itu. Ini bukan tempatku, aku tidak bisa sebebas itu melakukan semuanya. Aku juga punya adab dan sopan santun, tidak mungkin datang ke rumah orang dan langsung mencari mereka ke lantai atas.
Di lantai atas juga ada beberapa orang. Di mana mereka langsung menatap diriku yang baru saja datang dengan Oma Melati. Mungkin, mereka keluarga dari Pak Arga dan Oma Melati.
"Dia benar-benar Heni," lirih salah satu dari mereka.
Ternyata bukan hanya Pak Arga dan Oma Melati, juga Pak Aji. Semua yang kenal dengan Ibu Heni pasti langsung tahu aku anaknya. Sayangnya, Oma Melati hanya mengira aku mirip dan mengangkat aku sebagai anak dari Pak Arga.
"Heera. Mereka Om dan Tante kamu. Sebenarnya masih banyak, tapi mereka berhalangan hadir."
"Halo semuanya. Saya Heera Zanita."
"Namanya juga sama, sayang tidak ada nama Hilmar di belakang namanya."
Mereka berbisik-bisik tapi masih bisa aku dengar. Semua tatapan dan kalimat yang mereka bisikkan sama sekali tidak membuat aku rendah, tapi aku tahu mereka seperti tidak suka dengan adanya aku di sini.
Oma Melati menggandeng tanganku untuk meninggalkan ruangan itu. Sampai di depan kamar Pak Arga. Oma Melati membukanya secara perlahan, terlihat Pak Arga tengah duduk dengan sebuah foto di tangannya.
"Lihat, Heera sudah datang. Kamu bersiaplah."
"Heera. Kemarilah."
Aku masuk, pintu sama sekali tidak ditutup meski Oma Melati telah pergi.
"Kamu sangat cantik pakai gaun itu, seperti ibumu."
"Terima kasih, Pa."
Kembali Pak Arga menatap foto di tangannya. Ternyata foto pernikahan. Di lihat di sana, ibu Heni hanya memakai gaun putih biasa. Terkesan tidak mewah, namun sakral dan hangat. Jika terus seperti ini, Pak Arga akan tenggelam dalam ingatannya.
Perlahan aku mengambil foto itu. Tersenyum pada Pak Arga.
"Sudah waktunya. Ayo kita turun."
"Aku ingin melihat makam Heni."
"Papa bisa kesana kapan pun Papa mau," kataku.
"Oma mu tidak memberi izin."
"Kalau begitu aku akan membawa Papa, tapi Papa janji untuk minum obat dengan teratur. Bagaimana?"
"Baik."
"Ayo."
Tangga demi tangga kami lewati. Acara ulang tahun ini banyak dikunjungi oleh kerabat juga kolega keluarga Hilmar. Ini bukan hanya acara ulang tahun, tapi juga acara berburu bagi para pebisnis pemula untuk mencari rekan bisnis yang menjanjikan.
Acara berjalan dengan lancar. Aku mencoba mencari sosok Mada di balik semua orang. Namun, aku masih belum juga melihat dirinya. Tanpa sadar aku mulai berpikiran negatif, apa lagi ada Leona di rumah yang menggunakan pakaian tidak pantas.
[ Eni. Apa Mada masih di rumah? ]
Rasa penasaran itu membuat aku memutuskan mengirim pesan pada Eni.
[ Baru saja Tuan Mada dan Pak Aron keluar. Sementara Nona Leona pergi di jemput oleh seorang pria. ]
Membaca pesan itu sedikit membuat rasa gelisahku hilang. Siapa lelaki yang menjemput Leona? Aku ingat Mada pernah mengatakan jika Leona sudah memiliki seorang tunangan.
"Heera."
Aku menoleh pada Pak Arga. Dia menggandeng tanganku sampai di panggung kecil di tengah ruangan itu.
"Semuanya, perkenalkan. Dia adalah Heera, anakku yang dulu aku kira meninggal. Aku tidak tahu jika dia masih hidup, sampai ibuku menemukannya. Heera Zanita, kau adalah harta berharga bagiku. Semua harus tahu, jika penerus keluarga Hilmar telah kembali."
Setelah aku diperkenalkan langsung terdengar suara-suara sumbang di ruangan itu. Ada yang senang, namun banyak yang mengejek juga mempertanyakan keaslianku. Apa lagi Elvi, dia yang tengah duduk di sisi ruangan terlihat menggenggam erat gelasnya.
Aku tahu, dia takut aku benar-benar kembali dan mengambil semua milikku yang telah dia nikmati. Aku tersenyum, mencoba bangga karena ayahku mengakuiku di depan semua orang.