NovelToon NovelToon
INDIGO

INDIGO

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Mata Batin / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Nadia ayu, seorang gadis yang bisa melihat 'mereka'

mereka yang biasa kalian sebut hantu, setan, jin, mahluk halus atau lain sebagai nya.


suara dari mereka, sentuhan bahkan hembusan nafas mereka, bisa di rasakan dengan jelas. Sejak mengalami kecelakaan itu, mengubah cara pandangannya terhadap dunia..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

25. Sadar

Mataku terasa berat, seolah kelopak ini direkatkan sesuatu. Perlahan, dengan tenaga yang tersisa, aku paksa membuka. Pandangan awalnya buram, tapi perlahan jadi jelas.

Wajah pertama yang kulihat adalah Kak Joan. Wajahnya pucat, matanya merah, seperti habis menahan tangis. Tangan besarnya menggenggam tanganku erat, seolah takut aku menghilang.

“Nad… kamu sadar?!” Suaranya bergetar, campuran lega dan takut.

Aku berusaha menggerakkan bibirku, tapi suaraku serak. “Kak… kenapa… kamu… nangis?”

Begitu suaraku terdengar, Wita langsung mendekat, matanya berkaca-kaca. “Aduh Nad… lo bikin gue hampir mati ketakutan! Gue kira… gue kira lo beneran pergi!”

Gilang juga berdiri di sisi ranjang, wajahnya cemas tapi terlihat lega. “Lo nggak tahu, Nad… tadi badan lo sedingin mayat. Gue sama Joan udah mau bawa lo ke rumah sakit.”

Aku berkedip pelan, mencoba memahami. Tubuhku masih lemas, napasku berat. Tapi aku bisa merasakan tangan Kak Joan masih menggenggamku, hangat meski tangannya sendiri bergetar.

“Kak… aku… cuma mimpi. Tapi… rasanya… nyata banget. Aku… bukan cuma tidur, aku…” Aku terdiam, menyadari betapa berat rasanya menjelaskan. Bagaimana aku bisa bilang kalau aku baru saja ‘pergi’ bersama Ningsih dan penjaga itu?

Joan menatapku lekat, matanya menahan sesuatu. “Aku nggak peduli kamu mimpi atau apa. Yang penting kamu sadar. Jangan pernah bikin aku ngalamin itu lagi, Nad… jangan.”

Aku menatapnya, hatiku terasa hangat bercampur rasa bersalah. Tangannya masih menggenggamku seolah takut aku lenyap.

Aku menelan ludah, pelan-pelan tersenyum lemah. “Maaf… aku janji… nggak akan bikin kamu panik lagi.”

Wita duduk di sisi ranjang, mengelus lenganku. “Serius, Nad… gue nggak ngerti apa yang barusan lo alamin, tapi… kalo bisa jangan sendirian lagi. Gue nggak mau ngadepin kejadian gila kayak tadi lagi.”

Aku hanya bisa mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu, kejadian semalam baru permulaan. Dan meski mereka semua nggak ngerti… aku nggak bisa lagi menghindar dari apa yang sudah menempel di darahku.

Kak Joan mengusap pipiku pelan, suaranya lebih lembut. “Kamu istirahat dulu. Aku nggak akan ninggalin kamu… sampai benar-benar pulih.”

Aku menutup mata sebentar, merasakan hangatnya genggamannya. Meski tubuhku masih lemah, aku tahu satu hal—aku tidak sepenuhnya sendiri, meski dunia yang kualami kini bukan dunia biasa.

__

Matahari sudah meninggi ketika akhirnya aku bisa duduk tegak di ranjang. Kak Joan masih duduk di kursi dekatku, kepalanya bersandar, tertidur karena kelelahan. Wita dan Gilang ada di ruang tamu, suaranya samar terdengar.

Tubuhku masih lemah, tapi ada sesuatu yang… berbeda. Aku bisa merasakannya sejak membuka mata. Semua terasa lebih tajam. Suara detik jam terdengar lebih jelas, bahkan napas Kak Joan di dekatku terasa teratur, bisa kuhitung ritmenya tanpa sengaja.

Ketika aku berdiri pelan dan melangkah keluar kamar, sensasi lain muncul. Setiap orang yang kulihat, ada… semacam ‘warna’ samar di sekitarnya. Wita yang tertawa kecil bersama Gilang di sofa terlihat dikelilingi cahaya lembut kekuningan. Gilang, dengan ekspresinya datar, punya aura kebiruan yang stabil.

Aku menelan ludah. “Apa… ini efek dari latihan semalam?” bisikku sendiri.

Wita menoleh begitu mendengar langkahku. “Nad! Eh, lo udah kuat jalan? Gue kira lo bakal pingsan seharian.” Dia mendekat, senyumnya lebar. “Serius, tadi pagi gue kira lo udah… lo tau lah. Gue sampe nangis lho, lo bikin gue malu.”

Aku tersenyum tipis. “Maaf… aku bikin kamu panik. Tapi aku udah nggak apa-apa sekarang.”

Tapi saat Wita mendekat, aku bisa merasakan sesuatu dari dirinya. Ada hawa hangat yang menenangkan, seperti pelindung alami. Aku tidak pernah bisa ‘merasakan’ orang begini sebelumnya.

Gilang juga menatapku. “Lo yakin lo kuat? Kalo pusing atau apa, bilang. Gue sama Joan bisa jaga lo.”

Aku menatapnya sebentar. Aura kebiruan di sekelilingnya… terasa seperti air yang tenang. Tapi aku bisa merasakan sedikit tekanan dari dada, entah kenapa.

Aku memalingkan pandangan, mencoba mengabaikan sensasi itu.

Siang hari, setelah sarapan, aku mencoba duduk di teras. Udara lembab dari sisa hujan terasa… aneh. Setiap hembusan angin membawa aroma samar—bukan aroma tanah atau bunga, tapi… wangi kemenyan yang sesekali tercium, padahal tidak ada orang membakar apa pun.

Aku menutup mata, fokus pada aroma itu. Semakin aku mencoba merasakannya, semakin jelas. Aku bisa merasakan sesuatu… bergerak, jauh di pinggir jalan. Tidak terlihat, tapi aku tahu ada.

Saat kubuka mata, di kejauhan, samar terlihat bayangan hitam di balik pepohonan. Tidak bergerak mendekat, hanya… mengamati.

Aku menarik napas panjang, berusaha tetap tenang. “Jadi… ini yang dimaksud kakek? Aku bisa merasakannya sekarang. Bahkan yang nggak kelihatan…”

Langkah kaki terdengar dari belakang. Kak Joan keluar ke teras, membawa dua cangkir teh. “Kamu udah baikan? Jangan duduk di luar terlalu lama, anginnya masih dingin.”

Aku tersenyum lemah, menerima cangkir teh darinya. “Aku udah lebih baik. Cuma… dunia rasanya… berbeda sekarang.”

Joan menatapku heran. “Berbeda?”

Aku hanya menggeleng pelan. “Nggak apa-apa. Nanti aku cerita.”

___

Sore itu langit berwarna oranye pucat, sisa hujan semalam masih meninggalkan aroma tanah basah. Aku duduk di teras, mengenakan sweater tipis, memandangi halaman yang basah dan berkilau oleh cahaya matahari senja. Udara terasa lembut… tapi juga agak aneh. Ada sensasi yang tidak bisa kuabaikan—seolah ada mata yang mengawasi dari kejauhan.

Pintu geser terbuka pelan. Kak Joan keluar, membawa dua gelas cokelat panas. Senyumnya samar tapi hangat. “Minum ini biar kamu nggak kedinginan.”

Aku tersenyum tipis dan menerima gelas itu. “Makasih, Kak… kamu dari tadi nemenin aku terus, nggak capek?”

Dia duduk di kursi sampingku, tubuhnya condong sedikit ke arahku. “Aku lebih takut kalau ninggalin kamu sendiri. Tadi pagi aku kira… aku beneran kehilangan kamu, Nad. Rasanya kayak… dunia berhenti.”

Aku menatapnya, melihat matanya yang sedikit memerah. Dia bukan tipe yang gampang menunjukkan rasa takutnya, tapi sekarang… semuanya terlihat jelas. Aku meletakkan tanganku di atas tangannya. “Aku janji… aku nggak akan bikin kamu panik kayak gitu lagi. Tapi… ada hal yang nggak bisa aku kendaliin, Kak.”

Dia menatapku dalam, lalu mengelus punggung tanganku dengan ibu jarinya. “Kalau ada yang nggak bisa kamu kendaliin… biar aku yang jaga. Apa pun itu.”

Kami terdiam beberapa saat, hanya mendengarkan suara angin dan burung sore. Angin membawa aroma samar—sekilas seperti wangi kemenyan lagi. Aku mencium pelan, alis sedikit berkerut. Kak Joan menyadarinya. “Ada yang aneh?”

Aku menoleh ke arah pepohonan di kejauhan. Sekilas, aku melihat bayangan hitam kecil bergerak cepat, lalu lenyap. Aku menarik napas panjang dan tersenyum tipis, berusaha tak menunjukkan rasa gelisah. “Nggak… cuma angin. Aku capek mungkin, jadi berasa aneh.”

Kak Joan menatapku curiga sejenak, tapi tidak bertanya lagi. Ia justru menarik kursinya lebih dekat, lalu memeluk bahuku. Tubuhnya hangat, kontras dengan hawa dingin sore. “Kamu nggak perlu kuat sendirian, Nad. Selama aku di sini… kamu aman.”

Aku menyandarkan kepalaku di bahunya, menutup mata sejenak. Suara detak jantungnya terasa jelas, ritmenya menenangkan. Meski ada sesuatu di kejauhan yang memperhatikan kami, di momen ini… rasanya dunia mengecil hanya jadi aku dan dia.

“Kak…” suaraku pelan, hampir seperti berbisik. “Kalau suatu hari… aku jadi sesuatu yang berbahaya… kamu masih bakal jagain aku?”

Dia terdiam sebentar, sebelum menjawab dengan suara mantap. “Aku nggak peduli kamu jadi apa. Selama kamu Nadia… aku nggak akan pergi.”

Aku tersenyum kecil, meski ada rasa getir di dadaku. Karena aku tahu, mulai sekarang, semua janji dan ketenangan ini mungkin akan diuji oleh hal-hal yang bahkan belum bisa kubayangkan.

Setelah matahari benar-benar tenggelam, kami semua akhirnya berkumpul di ruang makan. Lampu gantung menerangi ruangan dengan cahaya kuning hangat, membuat suasana terasa lebih hidup daripada pagi tadi yang mencekam.

Wita sudah sibuk di dapur, membantu menyiapkan makan malam. Gilang duduk di meja, mengetuk-ngetukkan jarinya ke permukaan kayu sambil sesekali mengintip ke arah dapur. Aku memperhatikan mereka dari kursi, lalu tersenyum kecil.

“Gilang, lo bantuin kek, jangan cuma duduk,” kataku sambil menyandarkan dagu di atas tangan.

Dia melirikku datar. “Kalau gue bantu, masakan Wita malah gosong. Gue jagain suasana aja.”

“Alasan,” Wita menyahut dari dapur tanpa menoleh, nada suaranya bercampur kesal dan geli. “Padahal lo nggak bisa motong bawang tanpa nangis, kan?”

Aku tertawa kecil melihat Gilang mendengus, pura-pura tidak peduli. Suasana terasa normal untuk sesaat, seolah kejadian-kejadian aneh yang menimpaku tidak pernah ada.

Kak Joan, yang duduk di sebelahku, menaruh tangannya di punggung kursiku. “Kamu kelihatan lebih tenang sekarang. Senyum kamu balik lagi.”

Aku menoleh ke arahnya, tersenyum tipis. “Ya… rasanya rumah ini nggak sesunyi tadi pagi. Kayak ada hidup lagi.”

Dia mengangguk pelan, lalu menatap Wita dan Gilang. “Kalian berdua selalu ribut ya. Tapi jujur, suasananya jadi lebih enak.”

Gilang hanya mengangkat alis, pura-pura cuek. “Ya udah, kalau lo seneng, gue bakal ribut terus sama Wita tiap hari.”

“Eh jangan gitu juga!” Wita tertawa, melemparkan handuk dapur ke arahnya. Handuk itu nyaris mengenai gelas di meja, membuat semua orang spontan tertawa.

Beberapa menit kemudian, kami duduk bersama menikmati makan malam sederhana: sup ayam, nasi hangat, dan beberapa lauk kecil. Rasanya hangat… meski aku masih bisa merasakan sesuatu mengawasi dari kejauhan, di luar pagar rumah.

Tapi aku memutuskan tidak membicarakannya. Tidak malam ini. Malam ini aku hanya ingin merasa normal sedikit.

“Kak,” aku menatap Joan yang sedang menuangkan teh ke gelasku. “Kalau suatu hari kita bisa liburan tanpa semua hal gila ini… kamu mau ke mana?”

Dia menatapku sebentar, bibirnya melengkung tipis. “Ke mana aja. Asal kamu ikut, aku nggak masalah.”

Aku tersenyum kecil, menunduk sebentar.

1
Afiq Danial Mohamad Azmir
Wahhh!!
Alexander
Nggak kebayang ada kelanjutannya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!