Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Pilihan
"Dia bukan koki, tapi istriku."
Kalimat itu terngiang-ngiang dan membuatku merasa tersanjung atas sepenggal ucapan singkat yang berhasil membesarkan hati. Namun, itu semalam sebelum hari ini rasa kecewa yang dia berikan mengobrak-abrik hati yang sempat berbunga karena sikapnya di depan semua orang.
.
.
Selama beberapa jam mereka tinggal, dia tidak memberikan reaksi yang mengejutkan atau mungkin akan memarahiku sepeti yang aku bayangkan.
Namun, sikap dinginnya itu masih ada. Mas Elham tidak banyak berbicara, seperti orang yang selama ini aku kenal. Dia banyak diam meskipun tidak keberatan saat anak-anak memintanya bermain sulap yang membutuhkan perhatiannya, lalu ia tersenyum sambil menunjukkan deretan giginya meski tidak terbahak.
Ini menjadi hal tak lumrah dalam hidupku karena selama ini, setengah tahun ini aku tidak pernah melihat senyumnya sam sekali.
Dia tak ikut campur kegiatan meriah malam puncak anak-anak yang banyak dihabiskan di dalam ruangan daripada api unggun yang sudah menyala, tetapi dengan begitu dari kejauhan aku melihat suamiku banyak memperhatikan saat anak-anak bermain di sekelilingnya.
"Mbak, tolong buatkan kopi!" seseorang dari ruang tengah melambaikan tangan ke arahku yang masih duduk di belakang meja bar sekaligus dapur ini. Dia pria yang sama yang datang bersama mas Elham.
"Kara. Dia bukan koki, tapi istriku." Mas Elham bersuara, meski sebelumnya dia diam saja saat tangan kanannya–Baskara namanya–memintaku melayani mereka menghidangkan misoa untuk makan malam.
Aku tersentak saat dipanggilnya, lamunanku buyar. Aku pun mengangguk. Aku tidak bereaksi lebih, tetapi malah Devy yang berlari dan menepuk pelan lengan suaminya dengan. Entah, apa yang Devy bisikkan pada suaminya, tetapi lantas Devy menunjukkan ekspresi menyesal, menangis, dan suaminya berulang kali menutup mulutnya dan melotot karena terkejut.
Devy berlari ke arahku. "Mbak Dita, tolong maafkan suamiku, ya? Dia memang kurang ajar, tapi dia memang tidak tahu. Maaf." Devy memohon meski berulang kali aku tidak mempermasalahkan saat pria itu mengira aku pengurus villa dan menyuruhku ini dan itu untuk melakukan sesuatu.
"Mbak Ditaaa..."
"Mbak, please...." Dia mengguncang lenganku dan sejak tadi dia tidak berhenti mengikuti kemana langkahku.
"Iya, gapapa. It's okey, aku gak marah sama sekali."
"Tapi, kan, Mbak itu istri pak Elham. Tolong jangan pecat suamiku, Mbak. Biar aku yang kasih dia hukuman berat, asal jangan pak Elham."
Aku menggeleng. Mengapa Devy sangat takut, padahal aku takkan berbuat keji seperti itu. Lagipula, mas Elham akan lebih membutuhkan Baskara–suami Devy–untuk urusan pekerjaannya daripada aku sebagai istrinya.
"Tenang saja," ujarku padanya. Namun, rasa bahagia itu ada. Mungkin karena aku mendengar pengakuan darinya jika aku adalah istri, bukan koki. Sesederhana ucapan itu, mampu membuatku tersipu dan salah tingkah.
Namun, aku tetap membuatkan kopi untuk mereka berdua. Meski Devy yang memberikannya langsung kepada suaminya, sedangkan aku membuatkan untuk mas Elham.
"Ini pasti bukan kopi buatanmu, Mi?" ujar Baskara kepada Devy setelah ia menyesap kopi dari cangkirnya.
"Pi, itu kopi buatan bu bos. Pasti yang mbak Dita bikin disesuaikan dengan selera pak bos, bukan seleramu."
"Bukan begitu, masalahnya sekarang aku lebih menyukai kopi yang ini. Aku jatuh hati pada rasanya," bisik Baskara terdengar sampai ke telingaku. Devy merajuk, seperti merasa terkalahkan olehku meski kami tidak sedang bersaing.
Berbeda dengan suamiku, Mas Elham diam saja ketika menikmati kopinya. Selama ini, hampir tidak pernah aku membuatkan kopi untuknya di rumah. Dia sering menyeduh sendiri kopi kemasan yang tersedia dalam jumlah berdus-dus kopi di dalam lemari penyimpanan bawah meja.
Aku tak butuh pengakuannya untuk mengatakan kopiku lezat, mungkin juga Baskara hanya melebihkan karena kopi yang dia minum buatan istri bosnya. Aku langsung pergi dan mengatakan kepada anak-anak sudah saatnya untuk tidur karena hari sudah menjelang tengah malam.
Di saat yang bersamaan, dua pria itu pun sepertinya enggan menginap. Mereka mengatakan masih ada pekerjaan. Waktu tiga jam yang mereka habiskan di sini sudah cukup sebagai jatah rehat mingguan dari pekerjaan yang sebenarnya tidak memiliki waktu bersantai barang sejenak.
Sampai mereka berjalan meninggalkan villa ini, tak ada katapun yang terucap antara aku atau suamiku. Kami benar-benar menjadi bisu selama waktu itu. Namun, aku dan Devy tetap mengantar hingga ke halaman depan.
Di saat Devy dan suaminya berpeluk cium sebelum berpisah, sedangkan mas Elham sudah berada di dalam mobilnya menunggu Baskara selesai berpamitan dengan isterinya.
Disini dapat aku simpulkan jika dia tidak mencintaiku, sedikit pun sepertinya tidak.
Setelah mobil akan melaju, aku masih berdiri di samping mobil dengan bertautan tangan menunggu mobil itu benar-benar melaju meninggalkan halaman ini. Namun, mas Elham yang semula menunduk dan sibuk dengan ponselnya, kini dia menatap ke luar ke arahku yang terlihat dari kaca jendela yang tidak tertutup. Dia mengerutkan dahinya saat melihat sesuatu di belakangku.
Aku menoleh ke belakang. Ternyata, ada kak Alan yang sedang berdiri di tengah pintu masuk.
Kemudian, secara bergantian dia menatap kak Alan dan diriku dengan tatapan tajam.
"Keluar dari sekolah itu." Malam hari setelah dia kembali dari pekerjaannya, di meja makan dia secara frontal mengatakan aku mundur dari pekerjaanku.
"Enggak bisa, Mas. Sekolah itu baru beroperasi seb–"
"Aku bilang keluar atau aku bubarkan sekalian sekolah itu."
Aku menatap marah padanya, bukankah kemarin malam dia senang berada di antara anak-anak itu? Mengapa sekarang berubah pikiran? Mudahnya dia mengatakan akan membubarkan sekolah itu.
"Setelah mas memecat kak Alan menjadi manager sekolah, lalu mas minta aku keluar dari sekolah itu? Lalu, siswa yang sudah sebanyak itu akan dikemanakan? Tidakkah mas berpikir?"
Dia bangkit dari duduknya, mendekat padaku yang berdiri dan hendak menyuguhkan kopi untuknya karena inisiatifku. Namun, aku merasa kopi ini tidak layak diminum, tapi lebih pantas disiram tepat di wajahnya.
"Aku yang menguasai MS education, apapun bisa aku lakukan tanpa perlu kamu memintaku berpikir panjang."
Prang! Cangkir itu aku letakkan kasar di meja. "Kenapa setelah kak Alan kamu paksa mengundurkan diri, kemudian aku juga sama?"
Mungkin, ini pertama kalinya aku bersikap kurang ajar. Meninggikan suara dan menentangnya. Namun, ini yang ingin aku lakukan sejak lama karena dia tidak pernah mengajakku berdiskusi atau berkompromi. Seolah semua keputusan adalah miliknya sepihak, aku berada di pihak yang patuh atas dasar keputusannya.
"Sekarang kamu lebih membela bajingan itu?"
"Aku dan dia mempunyai visi yang sama, ingin membesarkan sekolah untuk anak-anak istimewa. Itu mimpiku sejak dulu, tapi kenapa mas minta aku keluar atau sekolah itu akan kembali dibubarkan? Itu pilihan yang tidak ada untungnya bagiku," jelasku.
Kedua pilihan itu sama-sama memaksaku keluar kegemaranku. Entah, keberanian darimana. Aku bisa berucap panjang lebar menyuarakan isi hatiku yang kali ini tidak ingin dikalahkan. Jiwaku di sana, di sekolah itu dan aku merasa hidup saat dikelilingi anak-anak yang membutuhkan jasa pengajaranku.
"Alasannya cuma satu, aku tidak suka kamu dekat dengan bajingan itu."