Tumbuh dewasa di bawah asuhan sebuah panti sosial, membuat Vanila berinisiatif untuk pergi keluar kota. Dengan bekal secarik kertas pengumuman lowongan kerja di salah satu usaha, yang bergerak di bidang cuci & gosok (Laundry).
Nahas, biaya di Kota yang cukup tinggi. Membuat Vanila mencari peruntungan di bidang lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anggika15, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 20 (Together)
Vanila menatap Edgar yang kini duduk tepat di sampingnya, memajukan kepala dengan mulut terbuka lebar, siap menerima suapan nasi langsung dari tangan mungil milik perempuan itu.
Manis sekali melihat Edgar yang tiba-tiba menjadi penurut.
“Astaga kenapa kamu tambahkan sambal!?” Dengan mulut penuh Edgar menggerutu.
“Tidak!” Sanggah Vanila.
Pandangan Vanila mendongak seketika, saat Edgar tiba-tiba bangkit dan berlari ke arah wastafel sambil menutupi mulut dengan tangannya.
“Agrrhh, … pedas sekali!” Pekik Edgar, kemudian dia membasuh mulutnya, dan berkumur beberapa kali.
Vanila yang merasa heran pun segera memeriksakan tangannya, dan benar saja. Ada sedikit sisa sambal di sana.
Oh tidak, Vanila mengambil nasi tepat di dekat sambal terasi.
“Van!” Teriak Edgar. “Mulut saya panas!” Terlihat pria itu sedikit kesal.
Vanila meletakan piring, lalu mendekati Edgar sambil menjawab;
“Lagian di bilangin makan sendiri!”
“Jangan ikut-ikutan mengomel. Mulut saya sudah panas, … biarkan pendengaran saya netral saja!”
Vanila tidak menjawab, dia membawa satu kotak susu ukuran 1L di dalam lemari pendingin, untuk kemudian diberikan kepada Edgar yang sedang kepedasan.
“Susu bisa menetralisir rasa pedas, pak!”
Bukannya mengambil gelas, pria itu segera membuka dan meneguknya langsung dari sana sampai membuat Vanila melongo.
Glek glek glek…
Suara air melewati tenggorokan begitu kentara, di selingi hembusan nafas yang terdengar sedikit berat seperti…
“Ya ampun!” Vanila memukul kepalanya saat tiba-tiba terbayang kegiatan panas yang membuat nafas Edgar memburu seperti itu.
“Ah mulut ini rasanya seperti terbakar.”
“Maaf pak—”
Vanila langsung bungkam saat mendapatkan lirikan tajam dari Edgar.
“Saya tidak bermaksud, mungkin…”
“Saya mau bersih-bersih dulu, … jika sudah selesai tunggu di kamar seperti biasa.”
“Kamar saya?”
“Bukan.”
“Lho, kamar bapak?”
“Kamar tamu, Vanila!”
Vanila langsung mengangguk.
“Saya selesaikan makan dan mandi dulu. Jika sudah saya akan langsung kesana,” ujar Vanila.
“Langsung masuk, tidak perlu mengetuk apalagi meminta izin. Mulailah membiasakan diri dan berpikir kalau ini rumahmu juga,” pesan Edgar.
Setelah itu dia melenggang pergi.
“Serius dia ngomong gitu?” Gumam Vanila.
***
Edgar merebahkan kepalanya di atas bantal, memejamkan mata dengan sisa-sisa pengaruh alkohol yang masih sedikit terasa.
Saat datang ternyata belum ada Vanila disana, jadi Edgar memutuskan untuk menunggu saja.
Klek…
Pintu didorong dari arah luar, tampak Vanila masuk dengan keadaan yang terlihat lebih segar dari sebelumnya. Mereka kembali bersama di dalam sebuah kamar tamu, seperti yang Edgar inginkan.
Pria itu benar-benar tidak mau kamarnya didatangi orang asing, walaupun istrinya sendiri.
Ya, istri siri.
Tapi tunggu, bukannya tempo hari Edgar mengajak seorang wanita ke kamarnya? Lantas siapa dia? Kedudukannya seolah lebih tinggi dari Vanila sekarang.
“Baju tidur yang jelek!”
Tiba-tiba saja Edgar protes soal baju yang Vanila kenakan.
Vanila menatap dirinya sendiri, dimana kini ia memakai kaos putih oversize dan celana pendek. Tidak ada yang aneh, bahkan dari segi warna saja masih cukup cerah, belum pudar sama sekali.
“Bapak mau saya ganti baju?”
“Tidak perlu, … kemarilah!”
Edgar menyibak selimut seraya membuka kedua tangannya, meminta Vanila untuk segera datang.
Vanila naik, merebahkan kepalanya di atas lengan Edgar, lalu memeluk pria itu dengan posisi saling berhadapan.
Ini ‘kan yang dia maksud?
“Uangmu banyak, apa tidak mampu membeli baju tidur yang pantas?”
“Memangnya ini tidak pantas?” Vanila sedikit mengangkat pandangan.
“Pantas jika tidurnya bersama teman, keluarga. Tapi tidak kalau dengan suami mu, … di internet ada banyak refrensi padahal. Tapi kamu tidak menggunakan kecanggihan jaman sekarang dengan baik!”
Vanila diam menatap Edgar, yang kini mulai menurunkan pandangan sampai manik keduanya bertemu.
“Pak Edgar kok bahas soal suami, suami terus dari tadi.”
Edgar tersenyum samar, bola matanya bergulir menatap kening Vanila, kemudian dia usap menggunakan jari-jari tangannya.
“Kenapa bertanya seperti ini?”
“Ya aneh aja, kan ga seharusnya kita begini. Sebelum ada ikatan yang lebih jauh menurut saya apa tidak sebaiknya—”
“Saya tidak mau bahas soal talak, Van. Tidak untuk saat ini, saya belum mau melepaskan kamu.”
“Sampai kapan?”
Edgar hanya memberikan senyuman, tanpa memberikan penjelasan yang pasti entah sampai kapan dirinya akan mengikat Vanila.
“Pak Edgar jangan bikin saya tersiksa. Cukup satu kehilangan yang saya rasakan, saya tidak mau lebih menderita karena kehilangan yang lain.”
“Tidak ada yang melarangmu saat ingin tetap berada disini.”
“Dengan orang yang tidak mau terikat bersama siapapun? Bapak bercanda ya?”
“Tapi kamu sudah mengikat saya sekarang karena permintaan anehmu itu.”
“Perjanjiannya ‘kan cuma nikah siri terus kalau selesai ya sudah tinggal…”
“Masalahnya saya tidak mau talak kamu sekarang. Begini saja, saya penuhi kebutuhan kamu setiap bulan tapi jangan pernah mengungkit soal talak. Saya akan melakukannya jika sudah mau nanti,” tutur Edgar.
“Bapak egois!”
“Bukan egois, tapi sama-sama menguntungkan. Kamu butuh uang, saya butuh kamu agar rumah terus terasa lebih hidup seperti akhir-akhir ini setelah seorang Vanila datang.”
Vanila menggaruk kepalanya yang tiba-tiba terasa gatal.
Keadaan ini sungguh membingungkan. Edgar tidak mau terikat, apalagi sampai punya anak. Tapi dia meminta Vanila terus tinggal, bahkan melakukan sesuatu yang tentu bisa kapan saja membuat Vanila hamil.
Ya meski memakai double pengaman, tapi tidak ada yang tahu ‘kan? Benda itu mampu menahan gempuran sampai kapan.
“Bagaimana? Sudah ada kabar soal pembuatan kartu identitas mu, Van?”
“Oh, itu belum. Besok pagi saya coba hubungi pak Yunar, beliau yang membantu saya untuk menyelesaikan semuanya.”
“Baik, kalau begitu saya minta Irgi untuk tarik tunai besok.”
“Tarik tunai? Tapi kulkas masih penuh.”
“Bukan untuk kebutuhan dapur, tapi ganti uang mu yang di pakai belanja tadi. Dan pergilah besok berbelanja baju,” pinta Edgar.
Dia semakin menundukkan pandangan, lalu;
Cup..
Satu kecupan lembut nan manis mendarat di kening Vanila.
“Jangan pakai kaos saat hendak tidur dengan suami.”
“Piyama maksudnya?”
“Besok tanyakan saja, … bilang. Mau beli dress tidur khusus untuk suami, pelayannya pasti tahu.”
“Begitu?” Wajah Vanila terlihat sangat polos.
Sementara otak Edgar sudah tercemar oleh keindahan tubuh Vanila ketika perempuan itu polos tanpa apapun.
Apa dirinya mulai terpesona? Entah, yang pasti rasanya senang berada di dekat perempuan yang kini menyandang status sebagai istri sirinya. Sampai-sampai Edgar mulai melupakan beberapa teman perempuan, terutama sosok yang sudah sering ia bawa masuk ke dalam wilayah teritorialnya.
“Saya lelah, jadi kita tidak akan melakukannya malam ini!” Edgar kembali mengecup kening Vanila.
“Tidurlah, kamu juga pasti lelah.”
Vanila mengangguk, dia memposisikan diri. Menempelkan wajah di dada bidang Edgar, ketika pria itu kini memeluknya dengan sangat erat.
“Good night, Van.”
Vanila mengangguk.
“Have a good rest.”
“Huh?”
“Shutttt, … mimpi indah. Sudah, jangan bersuara lagi atau saya berubah pikiran!” Kata Edgar dengan suara rendah, juga mata yang mulai terpejam.
Benar, Vanila membuatnya nyaman. Vanila membuat dirinya merasa di butuhkan, tidak hanya uang, tapi soal perlindungan.
Sifat alami seorang perempuan, mulai Vanila tunjukan. Dan Edgar tahu, sekarang Vanila seperti sedang meminta untuk di manja hingga membenamkan diri di dalam pelukannya.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Uhuy cie pak Edgar cieeee