Chen Huang, seorang remaja berusia 15 tahun, menjalani hidup sederhana sebagai buruh tani bersama kedua orang tuanya di Desa Bunga Matahari. Meski hidup dalam kemiskinan dan penuh keterbatasan, ia tak pernah kehilangan semangat untuk mengubah nasib. Setiap hari, ia bekerja keras di ladang, menanam dan memanen, sambil menyisihkan sebagian kecil hasil upahnya untuk sebuah tujuan besar: pergi ke Kota Chengdu dan masuk ke Akademi Xin. Namun, perjalanan Chen Huang tidaklah mudah. Di tengah perjuangan melawan kelelahan dan ejekan orang-orang yang meremehkannya, ia harus membuktikan bahwa mimpi besar tak hanya milik mereka yang berkecukupan. Akankah Chen Huang berhasil keluar dari jerat kemiskinan dan menggapai impiannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DANTE-KUN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Eps 3— Surga?
Chen Huang berhasil menyeret tubuh orang tuanya ke tempat yang lebih aman, sebuah gubuk kecil di pinggiran desa yang hampir runtuh akibat getaran pertempuran. Keringat bercucuran di wajahnya, nafasnya memburu, dan tangannya gemetar saat ia menurunkan tubuh ibunya dengan hati-hati. Ayahnya terbaring lemah di samping.
"Ibu… Ayah… bertahanlah. Aku akan mencari bantuan!" serunya, suaranya dipenuhi keputusasaan.
Namun, ibunya, dengan senyum lembut yang tampak penuh rasa sakit, menggelengkan kepalanya. "Huang'er… tidak perlu… Ibu dan Ayah sudah… cukup… melihatmu tumbuh sejauh ini…" suaranya melemah, tetapi masih berusaha terdengar tenang.
"Tidak! Jangan bicara seperti itu!" Chen Huang menggenggam tangan ibunya erat. "Kalian akan baik-baik saja! Aku… aku akan menemukan tabib, aku bersumpah!"
Ayahnya, dengan napas yang berat, mencoba mengangkat tangan untuk menyentuh bahu Chen Huang. "Huang'er… dunia ini… memang kejam… Kau harus menjadi kuat… lebih kuat dari siapa pun… untuk bertahan…"
Kata-kata terakhir itu mengiris hati Chen Huang seperti belati. Ia mengguncang tubuh ayahnya, mencoba membangunkannya, tetapi pandangan ayahnya perlahan menjadi kosong.
"Tidak… Tidak! Ayah! Ayah!!" teriak Chen Huang, tetapi tidak ada jawaban.
Ia berbalik ke arah ibunya, tetapi hanya mendapati senyumnya yang lembut dan air mata yang mengalir di pipi wanita itu sebelum ia menghembuskan napas terakhirnya.
"Ibu… Jangan tinggalkan aku… Ibu!!!"
Chen Huang jatuh berlutut di antara tubuh kedua orang tuanya. Air matanya mengalir tanpa henti, membasahi tanah yang dingin. Ia menggenggam tangan mereka, yang kini terasa begitu dingin.
“Kenapa…” gumamnya dengan suara bergetar. “Kenapa surga begitu kejam? Apa yang telah kami lakukan sehingga pantas menerima ini?!”
Ia memandang ke langit, yang dipenuhi kilatan cahaya dari pertempuran para praktisi beladiri. Mereka yang memiliki kekuatan besar, mereka yang seharusnya melindungi, justru menjadi penyebab kehancuran.
Marah, sedih, dan frustasi bercampur menjadi satu. Ia memukul tanah dengan sekuat tenaga, darah mengalir dari buku-buku jarinya.
“Aku benci kalian semua!” teriaknya kepada dunia yang tidak pernah peduli. “Aku benci kekuatan kalian yang hanya membawa kehancuran! Jika ini takdir yang diberikan surga… maka aku akan menentangnya!”
Malam itu, Chen Huang duduk sendirian di samping tubuh kedua orang tuanya, memeluk mereka hingga fajar tiba. Air matanya telah mengering, digantikan oleh tatapan kosong yang penuh dengan kebencian terhadap kelemahannya sendiri.
“Jika aku kuat… Jika aku memiliki kekuatan seperti mereka… Ayah dan Ibu pasti masih hidup…” gumamnya pelan, namun setiap kata mengandung tekad yang tajam.
Ia mengubur kedua orang tuanya di bawah pohon bunga matahari terbesar di desa, tempat yang selama ini menjadi favorit keluarganya. Setelah menancapkan batu sederhana sebagai penanda, ia bersumpah di hadapan makam mereka.
“Aku bersumpah… Aku akan menjadi kuat. Aku akan melampaui siapa pun di dunia ini. Dan aku akan memastikan tidak ada orang lain yang bisa merenggut nyawa orang-orang yang aku cintai lagi.”
...
Desa Bunga Matahari telah berubah menjadi tempat yang sunyi dan menyeramkan. Rumah-rumah yang dulunya dipenuhi tawa kini hanya menyisakan reruntuhan. Bunga-bunga matahari yang pernah menjadi kebanggaan desa layu tanpa perawatan, seolah ikut berduka atas kehancuran yang terjadi.
Chen Huang, setelah mengubur kedua orang tuanya, mendirikan sebuah gubuk sederhana di pinggir desa, menggunakan kayu dan puing-puing rumah yang tersisa. Meski rasa kehilangan dan kesepian terus menghantuinya, ia memutuskan untuk tetap tinggal.
“Di sinilah aku akan bertahan. Di sinilah aku akan memulai segalanya,” gumamnya, menatap langit yang hanya diterangi sinar bulan.
Ia menghabiskan hari-harinya dengan bertahan hidup, berburu di hutan sekitar, dan malamnya diisi dengan mempelajari gerakan dasar ilmu bela diri dari buku-buku usang yang ia temukan di perpustakaan kecil desa.
Namun malam itu, sesuatu yang tidak terduga terjadi.
Chen Huang hampir terlelap ketika suara teriakan memecah keheningan malam.
“Kakek! Kakek Jin! Di mana kau?!”
Suara itu berasal dari seorang gadis. Chen Huang segera bangkit, mengambil tongkat kayu yang biasa ia gunakan untuk berjaga, dan berjalan keluar dari gubuknya. Di bawah sinar bulan, ia melihat seorang gadis muda berdiri di reruntuhan tengah desa. Wajahnya cantik, dengan rambut panjang yang tergerai. Ia terlihat kebingungan, memanggil-manggil seseorang dengan nada putus asa.
“Kakek! Kakek Jin! Tolong jawab aku!”
Chen Huang berjalan mendekat, dan gadis itu langsung menoleh dengan wajah penuh harap.
“Kau siapa?” tanya Chen Huang, suaranya dingin namun tidak berniat mengancam.
“Aku… aku mencari kakekku, Kakek Jin,” jawab gadis itu cepat. “Kau melihatnya? Dia tinggal di sini, di desa ini…”
Chen Huang membeku mendengar nama itu. Ia mengenal Kakek Jin—orang tua yang ramah dan sering memberikan nasihat bijak kepada anak-anak desa, termasuk dirinya. Namun, Chen Huang juga tahu bahwa Kakek Jin kemungkinan besar tidak selamat dari ledakan besar yang menghancurkan desa seminggu lalu.
Chen Huang menatap gadis itu, yang kini menunggu jawaban dengan cemas. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan kebenaran yang menyakitkan.
“Aku… aku kenal Kakek Jin,” ujar Chen Huang akhirnya, suaranya lirih. “Dia… dia ada di desa saat pertempuran itu terjadi. Ledakan besar… menghancurkan segalanya. Aku tidak tahu apakah dia bisa selamat.”
Wajah gadis itu berubah pucat. Ia mundur selangkah, hampir kehilangan keseimbangan. “Tidak… tidak mungkin… Kakek Jin… Dia tidak mungkin…”
Melihat gadis itu hampir jatuh, Chen Huang buru-buru menahan bahunya. “Tenang. Aku tidak mengatakan ini untuk membuatmu putus asa. Tapi… kau harus bersiap menghadapi kemungkinan terburuk.”
Gadis itu menutup wajahnya dengan tangan, air matanya mulai mengalir. “Kakek adalah satu-satunya keluargaku… Jika dia tidak ada lagi… Aku benar-benar sendirian…”
Chen Huang terdiam, hatinya ikut terasa berat melihat kesedihan gadis itu. Ia tahu betul rasa kehilangan yang mendalam, karena baru saja mengalaminya sendiri.
“Jika kau mau,” kata Chen Huang akhirnya, mencoba menawarkan sedikit penghiburan, “kau bisa tinggal di sini untuk malam ini. Aku punya gubuk kecil di pinggir desa. Setidaknya, kau bisa istirahat dan kita cari cara untuk memastikan keberadaan Kakek Jin besok.”
Gadis itu menatapnya dengan mata basah, lalu mengangguk pelan. “Terima kasih…”
Chen Huang memimpin gadis itu ke gubuknya, mencoba memberinya sedikit kenyamanan di tengah kehancuran dan kesedihan yang mereka alami bersama.