NovelToon NovelToon
Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Gadis Bar-Bar Mendadak Menikahi Ustadz

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Kontras Takdir / Suami ideal / Gadis nakal
Popularitas:4.9k
Nilai: 5
Nama Author: Amelia's Story

Arsyan Al Ghazali, seorang ustadz muda tampan, dikenal karena keteguhan imannya, kefasihannya dalam berdakwah, dan pesona yang membuat banyak wanita terpesona. Namun, ia tak pernah tergoda dengan pujian atau perhatian dari lawan jenis. Baginya, agama dan dakwah adalah prioritas utama.

Di sisi lain, Nayla Putri Adinata adalah gadis liar dari keluarga konglomerat yang gemar berpesta, bolos kuliah, dan menghabiskan malam di klub. Orang tuanya yang sudah lelah dengan tingkah Nayla akhirnya mengirimnya ke pesantren agar dia berubah. Namun, Nayla justru membuat onar di sana, bersikap kasar kepada para santri, dan berusaha melawan aturan.

Segalanya berubah ketika Nayla berhadapan dengan Al Ghazali, ustadz muda yang mengajarkan ilmu agama di pesantren tersebut. Awalnya, Nayla merasa jijik dengan semua aturan dan ceramahnya, tetapi pesona ketenangan serta ketegasan Al Ghazali justru membuatnya semakin penasaran.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amelia's Story, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 25

Matahari sore di Istanbul menyentuh perlahan permukaan sungai Bosphorus, memantulkan cahaya keemasan yang tenang. Angin musim semi meniup lembut ujung kerudung Nayla yang duduk sendirian di balkon apartemennya. Di depannya secangkir teh hangat dan sebuah buku catatan terbuka, namun tangannya tak bergerak. Pandangannya kosong, tertuju jauh ke air yang mengalir pelan, seolah menenangkan hatinya yang tetap bergejolak.

Perut Nayla kini membulat sempurna, usia kandungannya memasuki bulan kedelapan. Tangannya perlahan mengelus perutnya dengan lembut, senyumnya samar tapi penuh kasih.

 “Anakku... sebentar lagi kita akan bertemu. Kamu satu-satunya alasan ibu bertahan sejauh ini...”

Air mata menetes, tak bisa ia tahan. Setiap tendangan kecil dari dalam rahim seakan menjawab bahwa ia tak sendiri. Namun di balik ketegarannya, ada kerinduan yang sulit ia redam—pada satu sosok yang tak pernah berhenti mengisi pikirannya: Al.

Sudah berbulan-bulan sejak ia pergi diam-diam. Ia tak ingin Al ikut menanggung luka dari masa lalunya yang disebar dengan kejam. Nayla ingin Al tetap dihormati sebagai ustadz, bukan menjadi bulan-bulanan karena memilih perempuan dengan sejarah kelam. Tapi jauh di relung hatinya, Nayla tahu—Al adalah rumah, dan hatinya sudah hancur sejak meninggalkan pria itu.

Suara adzan maghrib menggema dari masjid kecil tak jauh dari apartemennya. Nayla bangkit perlahan, memegang perutnya dan menatap langit yang mulai berubah warna.

“Ya Allah, jika ini jalanMu... kuatkan aku. Jika memang jodohku masih dia, pertemukan kami dengan cara yang paling indah.”

Ia masuk ke dalam, meninggalkan balkon dan menyiapkan diri untuk salat. Ia tak tahu bahwa di waktu yang sama, ribuan kilometer dari tempat itu, Al sedang menatap langit yang sama—bertanya dalam doanya, apakah bidadari yang ia cari masih ada di bawah langit yang sama.

Restoran itu tenang dan elegan. Tirai tipis melambai lembut oleh angin dari taman kecil di sisi luar. Al datang dengan setelan kasual rapi, wajahnya masih menyimpan bayang-bayang letih dari pencariannya yang tak kunjung membuahkan hasil. Sudah delapan bulan ia kehilangan jejak Nayla—dan kini ibunya memintanya hadir di pertemuan makan malam yang katanya “penting untuk masa depanmu”.

Saat pelayan membuka pintu ruangan privat, Al sedikit terkejut melihat sosok wanita bercadar duduk anggun, ditemani sang ibu dan seorang pria paruh baya yang tampak berwibawa.

"Al, ini Hafidzah… anak dari teman lama Mama. Calon istrimu, insyaAllah,” ucap ibunya tanpa basa-basi, membuat Al terdiam sejenak.

Wanita itu menunduk sopan. Matanya teduh, menyiratkan kelembutan dan pendidikan agama yang kuat. Ia menyambut Al dengan salam, dan suaranya halus tapi percaya diri.

“Assalamualaikum, Ustadz Al. Maaf jika kedatangan saya membuat tidak nyaman. Saya hanya menuruti ajakan orangtua.”

Al membalas salamnya, lalu duduk dengan hati yang campur aduk. Ia menatap ibunya sejenak, lalu mengalihkan pandangan ke gelas di hadapannya. Dia tidak membenci Hafidzah. Tidak juga menolaknya secara pribadi. Tapi hatinya…

Hatinya masih terpaut pada seorang perempuan bernama Nayla. Bahkan saat ia mencoba mendengar suara Hafidzah, yang terbayang hanyalah tawa Nayla. Bahkan saat Hafidzah berbicara tentang pentingnya menjadi istri salihah, Al hanya teringat pelukan Nayla yang hangat dan air matanya malam itu.

Makan malam berjalan dengan sopan dan tenang. Hafidzah jelas bukan perempuan sembarangan—pintar, santun, dan memesona dalam caranya sendiri. Tapi ketika ibunya bertanya pelan:

“Bagaimana, Al? Mama ingin kamu pikirkan baik-baik.”

Al hanya menjawab singkat, suaranya lirih tapi tegas:

“Kalau boleh jujur, Ma… hati Al belum bisa. Al masih percaya Nayla belum benar-benar hilang.”

Ibunya terdiam, Hafidzah pun tersenyum tipis dan mengangguk bijak.

“Kalau memang cinta, maka doa akan menemukan jalannya, Ustadz.”

Malam itu Al pulang dengan langkah pelan. Dan di kota Istanbul yang jauh, Nayla menangis pelan di atas sajadah, merasakan firasat aneh yang membuat dadanya sesak.

Di pagi yang cerah namun dingin di Istanbul, Nayla merasakan sensasi nyeri tajam yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Ia mengelus perutnya yang besar dengan napas berat, mencoba menenangkan diri, namun rasa sakit itu semakin kuat. Tangannya segera menggapai ponsel dan memanggil asistennya.

“Kak Elma… sakitnya beda. Kayaknya waktunya…”

Elma yang sedang di dapur langsung berlari masuk ke kamar, wajahnya panik namun sigap.

“Astagfirullah… baik, Nayla. Kita harus ke rumah sakit sekarang!”

Dengan jaket tebal yang langsung dikenakan seadanya, Nayla dibantu turun ke lobi apartemen. Supir taksi sudah menunggu, dan Elma cepat-cepat membukakan pintu. Jalanan Istanbul pagi itu padat, tapi sang supir yang sudah diberi tahu soal kondisi darurat mereka, berusaha membelah kemacetan.

Sepanjang perjalanan, Nayla menggenggam tangan Elma erat-erat.

 “Kak… aku takut…”

 “Kamu kuat, Nayla. Ingat, ini hadiah dari Allah. Kamu nggak sendiri.”

Nayla mencoba tersenyum meski keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. Sesampainya di rumah sakit, tim medis langsung membawa Nayla dengan kursi roda ke ruang bersalin. Detak jantung bayi dipantau, dan dokter wanita yang dulu menolongnya saat pingsan kini kembali hadir menyambutnya.

“Nayla, kamu sudah pembukaan. Kita akan bantu kamu lahirkan bayi ini secepat mungkin.”

Dengan peluh dan doa, tubuhnya mulai menahan kontraksi demi kontraksi. Tak ada suami di sisinya, namun ada cinta dan keberanian yang perlahan tumbuh di hatinya. Karena di balik rasa sakit itu, ada kehidupan baru yang menunggu untuk disambut.

Suasana di ruang bersalin begitu tegang. Napas Nayla tersengal-sengal, tangan Elma terus menggenggam erat jemarinya. Keringat bercucuran di dahinya, tubuhnya menggigil karena rasa sakit yang luar biasa.

 “Terus, Nayla… kamu sudah kuat sejauh ini. Sedikit lagi!” seru dokter.

Tangisan pertama bayi belum terdengar, namun degup jantung Nayla terus berdetak cepat.

Di tempat berbeda, Al baru saja tiba di bandara Istanbul. Ia sedang dalam perjalanan untuk menghadiri pertemuan dengan mahasiswa Indonesia penerima beasiswa dari perusahaan travel miliknya. Di sela waktu, ia membuka aplikasi pengelolaan asuransi yang terhubung dengan data keluarganya. Tiba-tiba matanya membelalak—terpampang notifikasi:

> "Pemakaian asuransi internasional untuk tindakan obstetri - Rumah Sakit Istanbul Central - Pasien: Nayla Azzahra."

Al terdiam sejenak. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca.

 “Ya Allah… Nayla... dia di sini?”

Tanpa pikir panjang, Al langsung membatalkan semua agendanya. Ia menelepon manajernya untuk mengganti jadwal dan langsung meminta sopir lokal mengantar ke rumah sakit yang tertera di data.

Sepanjang perjalanan, wajah Al penuh penyesalan dan harapan. Doanya lirih terus mengalir.

“Ya Allah, lindungi dia… lindungi anak kami…”

Di ruang bersalin, akhirnya suara tangisan pecah. Bayi mungil itu lahir dengan selamat—tangisan pertama yang membelah sunyi dan rasa sakit Nayla. Air mata Nayla tumpah, antara lega dan haru.

“Selamat, Nayla. Bayi laki-laki. Sehat,” ujar dokter dengan senyum bahagia.

Tapi tubuh Nayla mulai melemah… tensinya turun. Suster dan dokter mulai panik.

 “Tekanan darahnya menurun drastis!”

Sementara itu, Al tiba di rumah sakit dengan napas terburu-buru, langsung berlari ke resepsionis dan menunjukkan data asuransinya.

> “Saya suaminya. Tolong, Nayla Azzahra—saya harus bertemu dengannya!”

Petugas rumah sakit langsung memanggil dokter, dan mereka membawanya ke ruang observasi.

Al berdiri terpaku melihat tubuh Nayla terbaring lemah, wajahnya pucat, tapi di sampingnya ada bayi mungil yang sedang dibersihkan oleh suster. Air matanya mengalir deras. Ia menghampiri Nayla, memegang tangannya dan berbisik:

"Aku di sini… maafkan aku telat, Nayla. Tapi kamu harus kuat. Demi kita. Demi anak kita…”

Dan perlahan, mata Nayla yang tertutup mulai bergerak, jari-jarinya menggenggam pelan tangan Al.

“Al…?” suara lirihnya menggetarkan hati.

Al tersenyum di tengah tangis haru.

 “Iya… aku di sini, Sayang. Kita akan mulai dari awal… bersama anak kita.”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!