Ketukan palu dari hakim ketua, mengakhiri biduk rumah tangga Nirma bersama Yasir Huda.
Jalinan kasih yang dimulai dengan cara tidak benar itu, akhirnya kandas juga ... setelah Nirma dikhianati saat dirinya tengah berbadan dua.
Nirma memutuskan untuk berjuang seorang diri, demi masa depannya bersama sang buah hati yang terlahir tidak sempurna.
Wanita pendosa itu berusaha memantaskan diri agar bisa segera kembali ke kampung halaman berkumpul bersama Ibu serta kakaknya.
Namun, cobaan datang silih berganti, berhasil memporak-porandakan kehidupannya, membuatnya terombang-ambing dalam lautan kebimbangan.
Sampai di mana sosok Juragan Byakta Nugraha, berulangkali menawarkan pernikahan Simbiosis Mutualisme, agar dirinya bisa merasakan menjadi seorang Ayah, ia divonis sulit memiliki keturunan.
Mana yang akan menang? Keteguhan pendirian Nirma, atau ambisi tersembunyi Juragan Byakta Nugraha ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Terima kasih banyak ya Kak, atas dukungannya, ulasannya, Bintang sempurnanya, Like, dan hadiah luar biasanya 🙏 ❤️ 🥰
................
“Apa perlu saya panggilkan Giren dan Anggun, Juragan?” tatapan mata Ron begitu tajam memandang lekat tiga wanita yang sedang menghadapi Dhien.
“Begitu dua makhluk beda jenis itu datang, langsung acara ini bubar dikarenakan kehadiran mereka yang menggemparkan!” ekspresinya biasa saja, tapi netranya menandai sosok yang menghina calon istrinya.
“Mengapa diam?!” Dhien bersedekap tangan, netranya menelisik tiga wanita yang duduk saling berdekatan.
Wanita berselendang hijau mendongak, menatap berani. “Apa yang kami cakap tadi betul adanya. Hampir semua orang mengetahui aib Nirma, lantas dimana letak salahnya ucapan kami?”
“Betul tu, janganlah kita menutup mata dikarenakan si Nirma telah bertaubat, bisa jadi insyaf nya hanya sekedar kedok agar tak lagi dihujat. Aslinya dia masih seorang wanita penggoda mana janda muda pula!” Bibirnya ikut tertarik ke atas kala ia mencibir, bedaknya terlihat luntur.
Wanita hamil besar pun tidak mau ketinggalan, seraya mengelus perutnya ia berkelakar. “Mau macam mana ia menutup diri dengan busana muslimah ala-ala syar'i, tetap saja kelakuan bejatnya di masa lalu tak bisa dihapus begitu saja! Lagian tampilannya saja yang sholehah, tapi dirinya tetaplah gatal. Taknya kau tengok itu Dhien?”
Calon ibu muda itu menunjuk menggunakan dagu pada sosok tua berbaju koko yang tadi menatap ke arah mereka. “Pasti dia Tubang (Tua bangka) nya si Nirma. Aku tengok nya menatap lekat wanita perebut tunangan kakaknya tu. Dasarnya memang gatal dan gampangan, jadi mana tahan dirinya bila tak menggoda pria berperut buncit terlihat berduit itu!”
Dhien sudah habis kesabaran, andai saja tidak ditempat ramai dan mereka telah menjadi tontonan beberapa orang, sudah pasti ketiga wanita tak beradab dihadapannya ini sudah ia banting satu persatu, kecuali yang hamil.
“Kalian memang tak salah, sebab orang-orangan sawah tak lah bernyawa.” Dhien tersenyum culas, menatap muak pada wanita hamil tua.
“Kau tuh tengah bunting, taknya dirimu takut bila tu jabang bayi terkena karma mamaknya yang bermulut macam sampah! Berlagak mengecam orang lain, dia sendiri pun penuh dosa. Tak berbakti pada orang tua, suka mengatai mertua. Macam betul saja dirimu yang mirip Lembu hamil.”
“Dan kau!” Dhien menunjuk tepat wanita bermake-up tebal. “Ini acara pengajian bukan dangdutan, yang punya hajatan saja hanya menggunakan bedak tipis, tapi dirimu begitu tak tahu malu membalurkan tepung beras ke wajah. Mana gigimu terdapat gincu lagi! Geli kali kutengok nya.”
“Ini satu lagi. Betulan mirip orang-orangan sawah kau. Selendang hijau, baju kuning taik, celana merah menyala. Kau tuh hendak kondangan atau mau berlaga dengan Banteng?” Dhien berdecak menatap geli pada wajah pias menahan malu.
Kasak kusuk pun terdengar lebih nyaring, sampai suara Bu ustadzah sedang tausiah nyaris kalah dengan bisik-bisik para warga.
Betapa malunya ketiga sosok tadi, mereka langsung berdiri dan melangkah menunduk, lalu keluar dari acara aqiqah.
Nur Amala menatap haru sahabatnya, meskipun dia tidak mendengar apa yang sedang diperdebatkan, tapi melihat sang lawan pergi meninggalkan acara, sudah pasti Dhien menang telak.
“Nanti ada kalanya mereka menunduk malu bila berpapasan dengan Nirma. Untuk sekarang kita sabar lah dulu!” Nyak Zainab mengusap lembut punggung sang besan yang sibuk menghapus air mata.
Mak Syam mengangguk lemah, dia sempat mendengar kata sumbing dan perempuan gatal yang terlontar.
Keluarga inti tidak ada yang beranjak, dikarenakan acara masih berlangsung. Mereka tidak ingin menambah beban bagi Nirma yang pasti akan mendapatkan lebih banyak lagi hujatan.
Begitu juga dengan juragan Byakta, dia memilih duduk diam daripada menyusul Nirma. Bukan tak ingin, hanya saja menjaga nama calon istrinya. Di kampung ini interaksi antara lawan jenis yang belum halal begitu dibatasi.
Wak Sarmi yang memahami keadaan, memilih diam-diam pergi menyusul Nirma dan Kamal.
.
.
Nirma yang menyembunyikan wajahnya pada lipatan lutut, begitu terkejut kala merasakan dekapan hangat. Ia lalu mendongak menatap siapa gerangan.
“Wak ….” tanpa kata dirinya memeluk erat ibu ke-dua nya.
Wak Sarmi menepuk pelan punggung Nirma. “Menangis lah! Tak mengapa, tak jua ada yang melihat. Agar sesak di dadamu sedikit berkurang.”
Langsung saja Nirma tergugu, sampai Kamal terganggu, ia yang sedang bermain tanah, merangkak mendekati sang ibu. “Bu … bu!”
Nirma membawa buah hatinya untuk didekap, menghapus kasar buliran air mata di pipi. “Iya Nak, Ibuk tak apa-apa.”
“Anak pintar.” Wak Sarmi yang masih merangkul pundak Nirma, mengelus pipi Kamal.
“Sudah tenang sekarang?” tanya Wak Sarmi, tangannya membetulkan hijab Nirma.
“Alhamdulillah sudah. Terima kasih ya Wak.” Nirma membawa tangan wanita baik hati itu untuk ia cium.
“Cucilah wajahmu, agar lebih segar dan tak terlihat habis menangis. Jangan biarkan para manusia bermulut kurang ajar tu merasa menang, sebab berhasil membuatmu merasa kerdil!” Ia mengambil Kamal dari dekapan sang ibu.
Nirma mengangguk, beranjak dari bawah pohon durian, lalu menuju sumur berair jernih.
.
.
Acara masih berlangsung, para tamu undangan sedang menikmati hidangan jamuan.
Nirma memilih berada di dalam rumah bersama Kamal, ia tidak ingin mengganggu acara aqiqah para keponakannya.
Sangat egois rasanya bila memaksakan diri untuk tetap bersama keluarganya, sedangkan tatapan penuh tanya bahkan menghakimi tertuju padanya dan juga sang putra.
Tidak berselang lama acara aqiqah pun selesai, para tamu satu persatu keluar dari halaman rumah Mak Syam.
Sebagian warga yang membantu, sedang menumpuk kursi plastik, ada juga melipat bangku diperuntukkan bagi tamu laki-laki. Tenda Teratak pun mulai diturunkan, serta rangkaian besi di lepaskan.
***
“Sudah siap, Buk?” Byakta kembali mengulang pertanyaan, calon istrinya sibuk memasukkan barang-barang Kamal dan juga dirinya sendiri. Mereka hendak kembali ke kota kecamatan.
“Sebentar lagi, Yah. Ini lagi mencari mainan Kamal, Monyet gendangnya entah menghilang kemana!” Nirma sampai melongok ke bawah tempat tidur.
“Sudah dibuang. Semalam tangan Monyetnya putus saat Kamal berebut dengan Intan, kepalanya pun terpisah dari badan.”
“Astaghfirullah.” Nirma beristighfar seraya mengelus dada.
“Anak kita tu begitu agresif bila bertemu dengan Intan. Tapi, saya suka Buk. Sebab hal tersebut bisa melatih insting Kamal, mempertahankan apa miliknya dan tak mudah ditindas,” ucapnya dengan nada bangga luar biasa.
Nirma menatap sosok yang duduk diatas tikar ruang tamu. “Kamal tu masih bayi, Mas. Harusnya jangan dulu diajari hal macam itu!”
“Ajari anak sedini mungkin, agar lebih cepat menangkap, supaya langsung melekat,” sanggahnya seenaknya.
“Terserah!” Nirma melengos pergi. Sedangkan Byakta terkekeh.
.
.
“Mamak dan Uwak sudah siap, kah? Tak ada barang yang ketinggalan?” Byakta Nugraha bertanya untuk memastikan.
Mak Syam dan juga Wak Sarmi mengangguk, mereka berdua akan tinggal dengan Nirma sampai hari pernikahan itu tiba.
Semalam Ron kembali ke rumah Wak Sarmi, meminta beliau kembali mengasuh Kamal. Juragan Byakta menanggung biaya hidup Santo dan sang istri, sampai putra Wak Sarmi itu sembuh dan dapat bekerja kembali.
“Mengapa Mamak dan juga Wak Sarmi ikut serta?” Meutia menatap curiga dua sosok yang baru keluar dari dalam rumah.
“Coba katakan! Ada apa ini sebetulnya? Mengapa Tia merasa tengah ditipu mentah-mentah ya …?”
.
.
Bersambung.