NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Seperempat Maraton

Suasana sudah sangat ramai ketika Meyleen dan Dion tiba di Lapangan Merdeka Medan. Kerumunan bejibun peserta lari membuat keduanya butuh beberapa waktu menemukan rekan-rekan yang terlebih dahulu tiba di sana.

Hari itu, Sabtu, 27 Juli 2002 adalah hari pelaksanaan lomba seperempat maraton menempuh jarak 10 kilometer yang digelar sebuah organisasi profesi yang dipimpin Ricky Rizky alias Kiki.

Dion dan Meyleen yang berpartisipasi dalam lomba sedang melakukan pemanasan ketika Kiki, Astrid dan beberapa orang mendekatinya dengan senyum lebar.

“Kalau kau berhasil menembus 50 besar, aku akan berikan hadiah secara pribadi,” ujar Kiki yang ikut melakukan pemanasan.

“Wah, mantap, Bang! Aku akan coba sekuat napas dan tenaga,” sahut Dion merasa senang dan termotivasi.

“Ini Pak Indra, sudah kenal, bukan? Tahun lalu mereka juara kategori korporat,” Kiki menunjuk pria di sampingnya.

Dion tentu saja sudah mengenal Indra yang beberapa kali rapat bersamanya. Indra, pria berusia pertengahan 30-an merupakan wakil Kiki di organisasi profesi itu. Meskipun masih muda, ia sudah menduduki jabatan sebagai salah satu wakil presiden direktur bank pembangunan daerah.

“Halo Dion!” sapa pria berkacamata sambil menyodorkan tangan untuk menyalami Dion. Indra juga mendekat ke arah Meyleen.

Dion tahu, pria itu naksir berat pada Meyleen, Berkali-kali Indra berusaha mendekati Meyleen dan mengajaknya berkencan, tapi selalu mendapat penolakan halus.

“Tahun ini sepertinya Pak Indra dapat saingan. Aku punya feeling Dion akan memberimu perlawanan sengit,” ujar Kiki pada Indra.

“Tentu saja. Dion terlihat bugar dan masih muda lagi. Begini deh, kalau perusahaan Meyleen menang atau Dion finis lebih dulu dariku, aku traktir kongko-kongko menikmati live music malam ini. Sebaliknya, kalau aku yang menang, yah Meyleen yang traktir,” cetusnya pada Meyleen dan Dion sambil melakukan pemanasan.

“Curang. Pak Indra tentu menang, dong! Kan pelari senior,” sahut Dion membuat Indra dan Kiki tertawa.

“Begini deh, Pak! Bagaimana kalau taruhannya diganti kontrak iklan layanan masyarakat setahun penuh?” usul Dion membuat Meyleen terkejut sekaligus terharu karena Dion masih sempat memikirkan kepentingannya yang memang bertugas mendapatkan iklan sebanyak mungkin.

“Iya, Pak! Kalah atau menang, nanti tetap kami traktir, deal?” timpal Meyleen.

“Kontrak iklan setahun versus traktir kongko, deal!” seru Indra setuju lalu menyalami Meyleen sebagai bentuk kesepakatan.

Sementara Kiki yang menyimak pembicaraan itu tertawa. “Hati-hati kau Indra. Si Dion ini punya sesuatu,” katanya mewanti-wanti.

Kiki dan Indra kemudian disibukkan oleh sapaan para peserta lain.

Sementara Dion dan Meyleen menggabungkan diri dengan Amri, Felix dan Wulan, karyawati bagian keuangan yang juga merupakan pelari. Kelimanya adalah tim lari yang mewakili perusahaan surat kabar tempat Dion bekerja.

Tak jauh dari kelimanya, Kiki kian sibuk menyapa orang-orang. Ia tampak senang hari itu karena event berhasil menarik animo besar masyarakat.

Tidak tanggung-tanggung, peserta lomba hari itu hampir menembus lima ribu orang. Bukan hanya masyarakat kota Medan tapi juga dari provinsi tetangga, seperti Aceh, Sumatera Barat dan Riau bahkan beberapa pelari dari Lampung dan DKI Jakarta.

Besarnya animo masyarakat bukan hanya karena jumlah hadiah yang menggiurkan tapi juga promosi besar-besaran yang dimotori perusahaan Dion di bawah koordinasi Meyleen.

Promosi itu menarik minat banyak perusahaan besar untuk menjadi sponsor, seolah tak ingin ketinggalan untuk melibatkan diri.

Tak hanya maraton, pagi itu juga diisi beberapa kegiatan sosial dan senam massal bagi masyarakat yang tidak mengikuti lomba maraton. Dipandu oleh seorang instruktur yang juga seorang selebriti.

Dion kaget ketika secara tak sengaja berpapasan dengan Reinhard dan timnya yang berjalan melewatinya untuk menyapa Kiki. Bukan hanya sebagai peserta, perusahaan Reinhard juga merupakan salah satu sponsor event tersebut.

Reinhard juga kaget karena hampir menabrak Dion yang sedang melakukan pemanasan. Ia menatap Dion dengan tatapan marah dan meludah ke tanah seolah merasa jijik dengan pemuda itu.

Dion sempat hendak melempar senyum tapi membatalkan niat. Ia membiarkan saja paman Wina itu melangkah menjauh bersama rekan-rekannya.

Amri yang menyaksikan hal itu menjadi kesal. Bagaimanapun, tak ada seorang pejabat yang mungkin berani bersikap sekurang ajar itu pada pekerja pers di tempat umum.

“Siapa dia? Kau bermusuhan dengannya?” tanya Amri pada Dion sementara Meylen dan Felix juga penasaran menunggu jawaban Dion.

“Ah bukan musuh, Bang. Dia pamannya Wina,” sahut Dion lirih.

“Oh!” sahut Amri kemudian mengabaikan kejadian itu karena ia menganggap itu adalah urusan keluarga atau pribadi.

Meyleen segera saja menyadari perubahan suasana hati Dion yang tergambar jelas dari wajahnya. Dion yang tadi ceria kini tampak murung dan larut dalam lamunan meskipun terus saja melakukan pemanasan.

“Pasti masalahnya lebih dari sekadar putus cinta,” pikir Meyleen.

Tak lama kemudian terdengar suara panitia penyelenggara yang meminta para peserta mengambil posisi dengan pengeras suara.

Ramainya peserta membuat Dion dan rekannya tidak bisa melihat jelas Walikota melakukan pelepasan dengan bendera. Praktis mereka hanya menunggu pergerakan orang-orang di depannya.

Meyleen yang mendapati nomor peserta di dada Dion tidak melekat dengan sempurna, coba merekatkannya dengan menekan nomor itu. Tapi Meyleen kembali melihat pemandangan serupa, Reinhard yang ternyata berdiri tak jauh dari tempat mereka kembali meludah ketika menyadari Dion berada tak jauh darinya.

Dion tampak mengernyitkan kening dan mengepalkan tangan. Menyadari kalau pemuda itu sedang kesal, Meyleen pun memukul-mukul pundak Dion seolah memintanya untuk bersabar.

Ketika akhirnya kerumunan di depannya bergerak, Dion pun mulai ikut berlari.

Semenit kemudian, kerumunan itu mulai terurai dan Dion yang melihat celah membesar mulai mempercepat larinya.

Tiba-tiba, Felix berlari cepat dan dengan sengaja menabrak lengan Reinhard yang sudah berada di depan Dion sehingga paman Wina itu terhuyung. Felix tak menghiraukan tindakannya terus saja berlari meninggalkan Reinhard.

Dion yang ingin meninggalkan kerumunan kemudian menatap ke arah Meyleen di sampingnya. Meyleen yang paham maksud Dion menganggukkan kepala memperbolehkan Dion meninggalkannya.

Dion pun memacu larinya hingga hampir saja menabrak Reinhard di depannya. Sejenak ia menoleh ke arah pria paruh baya itu. Reinhard membalas tatapan Dion dengan tatapan penuh benci. Dion tak bereaksi terhadap tatapan itu dan memilih mempercepat larinya.

Meskipun berusaha fokus untuk berlari, tapi pikiran Dion terus mengingat tatapan Reinhard itu. Tatapan yang sama pernah ia lihat dua tahun lalu. Dion lalu teringat bagaimana paman Dion itu hampir membunuhnya demi memisahkannya dari Wina.

Pikiran Dion kemudian dipenuhi oleh ingatan-ingatan masa lalu yang menyakitkan. “Si kurang ajar itu tetap saja menggangguku. Aku tak boleh membiarkannya finis lebih baik dariku,” gumam Dion sambil berlari.

Tak sampai lima menit, Dion sudah meninggalkan kerumunan besar di belakangnya. Ia kini berlomba dengan beberapa pelari saja. Di kanan kiri jalan tampak para petugas kepolisian dan TNI menjaga ketertiban dan masyarakat yang memberikan semangat pada para pelari.

Lomba seperempat maraton itu ternyata tidak sesulit dugaan Dion semula. Ia yang secara rutin lari pagi ditambah fitness dan latihan tinju dengan disiplin tinggi membuatnya memiliki stamina prima.

Di menit kesepuluh, ia sudah meninggalkan kerumunan kedua dan kini sudah mendekati kelompok kecil di depannya. Tergoda untuk mendekati kelompok di depannya, Dion memacu larinya.

Di menit keempatbelas, Dion berhasil melewati kelompok itu. Indra yang ternyata berlari bersama kelompok itu kaget dan coba mengejar Dion. Tapi setelah beberapa menit, Dion tetap konsisten pada kecepatannya membuat Indra khawatir akan staminanya sendiri. Ia pun merelakan Dion meninggalkannya semakin jauh.

Mendekati menit keduapuluh, Dion sudah tak melihat pelari lain di depannya. “Wah mustahil aku memang. Mereka pasti sudah jauh di depan,” pikir Dion.

Tapi berlari seorang diri membuatnya kembali teringat pada Reinhard yang otomatis membuatnya teringat pada masa lalunya bersama Wina. Ingatan itu membuat hatinya seperti tersayat tapi di saat bersamaan juga merindukan perempuan yang sangat ia kasihi itu.

“Sekali saja, aku ingin melihat Wina yang tersenyum,” pikir Dion sambil terus memacu larinya.

Lamunan Dion terhenti ketika ia kembali melihat kelompok kecil di depannya. Empat pelari tampak berusaha saling menyusul. Merasa masih punya banyak stamina, Dion mempercepat larinya menyusul keempatnya.

Beberapa saat kemudian ia pun berhasil melewati pelari-pelari itu. Dua pelari yang kaget dengan kehadiran pelari lain, coba menyusul Dion bahkan sempat berhasil menyejajarkan diri dengannya.

Dion yang sadar bahwa mereka sudah mendekati garis finis semakin bersemangat dan tidak menurunkan kecepatan larinya. Secara perlahan dua pelari yang berusaha menyusulnya pun ia tinggalkan.

Melewati menit ketiga puluh, Dion yang mengetahui bahwa garis finis hanya beberapa ratus meter saja di depannya mulai melakukan sprint dan mengerahkan segenap tenaganya. Usahanya itu berhasil membuatnya kembali melewati seorang pelari.

Pelari itu tentu saja tak senang karena dirinya didahului seorang pelari pemula yang tak ia kenal. Pria kurus dan berbadan kecil itu coba menyusul Dion.

Sebenarnya Dion tak terlalu memedulikan pria itu. Ia malah sibuk melamun dan berangan-angan.

“Andai Wina ada di garis finis, ia pasti akan senang kalau aku menyelesaikan lomba dengan baik,” pikirnya. Angan-angan yang dipicu oleh kerinduan itu membuatnya mempercepat sprint. Ia sendiri kaget ketika akhirnya melewati tikungan terakhir dan hanya menyisakan track lurus sepanjang dua ratus meter.

Bukannya mengendurkan usahanya, Dion terus saja melakukan sprint. Teriakan dan tepuk tangan terdengar menggemuruh ketika Dion yang berlari sekuat tenaga berhasil melewati seorang pelari lagi, tepat beberapa meter sebelum melewati garis finis.

Kehadiran seorang pria tampan jangkung tentu saja membuat penonton wanita histeris gembira. Sementara para penggiat olahraga lari merasa heran karena tak mengenali Dion dan tidak pernah melihat pemuda itu pada komunitas lari.

Tapi melihat nomor peserta di dada Dion yang dicetak dengan warna biru membuat mereka tahu kalau ia adalah peserta korporat. Belum pernah seorang peserta korporat berhasil menembus 10 besar.

“Hei! Itu si Dion. Keponakanku finis sepuluh besar!” seru Sutan, paman Kiki yang berdiri bersama istrinya beserta beberapa tokoh Kota Medan. Sutan tampak senang sementara istrinya bertepuk tangan.

Kata-kata Sutan membuat heran para tokoh-tokoh di sekelilingnya, karena merasa tak pernah melihat pemuda yang Sutan sebut sebagai keponakan.

Yang paling histeris di antara mereka adalah Astrid yang berdiri di samping kiri Sutan. Ia segera saja melompat dan mendekati Dion dengan sikap ceria. Tindakannya membuat beberapa wanita berasumsi bahwa keduanya adalah kekasih.

Di garis finis, Dion berusaha keras untuk mendapatkan oksigen dari udara. Dia menumpukan kedua tangan ke lutut dan menunduk untuk mengambil udara sebanyak mungkin.

Mendadak Dion merasa kepalanya pusing dan matanya berkunang-kunang. Bagaimana pun juga, ia harus mengakui bahwa ia telah menyentuh batas akhir kemampuannya.

Dion sempat membalas senyuman Astrid yang mendekat dan memegangi lengannya. Tapi karena tak kuat, Dion melepaskan tangan Astrid dan menjatuhkan diri ke tanah dengan tangan terlentang.

Astrid sempat khawatir karena Dion menjatuhkan diri tapi perempuan itu merasa senang ketika Dion dengan mata terpejam mengeluarkan kata-kata untuk berbicara padanya.

“Aku finis keberapa, Kak?”

“Keenam. Hebat kau Dion!”

Dion hampir tak percaya dengan jawaban Astrid. Ia menjulurkan tangannya, meminta agar Astrid membantunya bangkit berdiri. Dion belum berdiri sempurna ketika tiba-tiba merasa mual. Dengan gontai ia mendekati sebuah tong sampah dan memuntahkan air yang ia minum sewaktu berlari tadi.

Astrid menepuk-nepuk pundak Dion. “Kau tidak apa-apa Dion?” tanyanya khawatir.

“Tidak apa-apa, Kak,” sahut Dion sambil menegakkan tubuhnya. Ia lalu menerima sodoran tisu dari Astrid dan menyeka mulut dan air mata yang keluar ketika muntah tadi.

Seorang wanita berseragam putih kemudian mendekati Dion. Ia adalah dokter yang disiagakan oleh panitia lomba. Wanita itu kemudian melakukan beberapa pemeriksaan.

“Abang baik-baik saja. Tapi sebaiknya jangan rebahan lagi. Tetap lah berdiri dan berjalan-jalan agar memberi waktu otot untuk mengendur secara bertahap. Jangan langsung berdiam diri. Setelah 15 menit, minum air gula atau asupan karbohidrat untuk mengganti energi,” saran dokter muda itu.

Mendengar kata-kata itu, Dion lalu melangkah untuk mendekati para pelari lain yang melakukan recovery atau pemulihan dengan tetap berjalan dan berlari kecil di lapangan kecil di depan tribun.

Dion sempat heran dan kaget ketika para penonton menyambutnya dengan tepuk tangan. Para wanita tampak histeris menyodorkan tangannya. Dion lalu mendekati tribun ketika matanya melihat Sutan dan istrinya melambaikan tangan padanya. Dion menyalami suami istri itu sambil tersenyum.

“Selamat Dion! Kau pelari korporat pertama yang finis,” Istri Sutan menyelamatinya. Dion menganggukkan kepala sambil tersenyum gembira lalu kembali menggabungkan dirinya bersama pelari lain yang melakukan recovery.

Hanya dalam beberapa menit, area itu ramai oleh para pelari yang sudah menyelesaikan lomba. Para peserta tampak sangat bersemangat karena panitia menyediakan hadiah bagi peserta yang berhasil menyelesaikan lomba di bawah 60 menit, selain goodie bag yang diberikan untuk semua peserta.

Rekan-rekan sekantor menjadi heboh mengetahui Dion finish di posisi keenam. Amri, Felix, Wulan dan Meyleen berulang kali melihat papan klasemen yang mengumumkan 10 pelari terbaik hari itu.

Di posisi keenam, terdapat nama Gideon Manasseh dengan catatan waktu 33 menit 17 detik, atau hanya kurang satu menit dari pemenang lomba yang merupakan atlet PON DKI dan berhasil mencatat waktu 32 menit 19 detik.

Amri sendiri menyelesaikan lomba di posisi ke-83, Felix 62. Di kategori wanita, Meyleen hanya mampu menduduki posisi 53 tapi Wulan yang masih berusia 21 tahun berhasil finis pada posisi 26. Amri kemudian merasa yakin bahwa perusahaannya akan mendapat poin banyak secara akumulasi karena Dion dan Wulan.

“Setidaknya kita akan ada di posisi tiga besar,” ujar Amri merasa bahagia sambil menepuk pundak Dion.

“Bukan cuma itu, Bang. Meyleen juga mendapatkan kontrak iklan besar, setahun penuh,” ujar Dion.

Meyleen yang berdiri di samping Dion ikut kaget dan gembira teringat pada perjanjian yang ia buat bersama Indra sebelum lomba tadi.

“Yes! Kita dapat iklannya, Dion!” seru Meyleen melompat dan memeluk Dion karena tak kuasa menahan kegembiraannya. Amri, Felix dan Wulan sempat kaget dengan kemesraan keduanya kemudian ikut tertawa gembira mendengar kabar itu.

Dion kemudian juga mendapat ucapan selamat dari rekan-rekan di klub kebugaran dan atlet tinju yang hari itu juga berpartisipasi.

“Selamat! Abang masuk sepuluh besar! Abang tampaknya harus memilih mau jadi petinju atau pelari?” Haris menyelamati Dion.

Amri dan Felix tampak heran ketika belasan pria tegap menyelamati Dion. Tapi ia hanya membiarkan pemuda itu menghabiskan waktu beberapa menit bersama mereka.

Ketika akhirnya belasan pria itu meninggalkan Dion, Amri tak kuasa menahan rasa penasarannya.

“Siapa mereka Dion? Kenapa kau disuruh pilih jadi petinju atau pelari?”

Dion lalu menjelaskan bahwa para pria itu adalah atlet tinju yang berlatih di sasana yang sama dengan Dion. Keterangan itu tentu saja membuat Amri dan Felix heran karena baru tahu kalau Dion juga berlatih tinju.

“Kang Dion!” seru seorang remaja putri sambil berlari mendekati Dion yang sedang berbicara dengan rekan-rekannya.

Dion yang menoleh ke arah seruan itu melihat Tria mendekatinya disusul Surya tepat di belakangnya.

“Dik Tria, mung sampeyan loro? Andi ngendi?” tanya Dion sambil menyodorkan tangannya untuk disalami Tria dan Surya.

“Kang Andi ngewangi bapak ing toko” jawab Surya.

“Lho, kok Dik Tri ora nganggo sepatu putih sing daktuku?” tanya Dion yang melihat Tria mengenakan sepatu berwarna biru.

“Bakal isin yen mengko rusak,” sahut Tria sambil tersenyum.

“Gimana? Opo sampeyan iso ngrampungake lomba ing sangisore 60 menit?” tanya Dion lagi.

“Mboten Kang. Mung Mas Surya. Aku ora,” jawabnya cemberut manja pada Dion.

“Oalah. Ngenteni sedhelo, oke?” Dion lalu mendekati meja panitia dan mengambil sebuah tas tenteng yang merupakan hadiah bagi peserta yang berhasil finis di bawah 60 menit.

Tas itu berisi alat tulis kantor seperti pulpen, pemberat kertas, buku agenda atau organizer, stiker, mug, polo t-shirt serta topi.

Dion membawa tas itu dan memberikannya pada Tria. Tentu saja pemberian itu membuat hatinya gembira.

“Wis, ojo susah susah maneh. Dik Tria uga entuk medali amarga meh kasil,” hibur Dion sambil mengalungkan medali peserta yang berhasil finis di bawah 60 menit sambil mengusap rambut remaja putri itu.

Tria yang merasa senang meledek Surya karena merasa berhasil mendapatkan hadiah yang sama dengan kakak nya itu.

“Sawise iki, arep menyang ngendi?” tanya Dion pada Surya.

“Langsung mulih, Kang,” jawab Surya.

“Opo sampeyan pengin ngenteni nganti nedha awan, karo aku?”

“Ojo Kang, Ibu wis ngenteni ing omah,” jawab Tria.

“Sak durunge mulih, salaman karo kanca kantorku. Iki bosku, jeneng e Pak Amri, iki Cece Meyleen, Bang Felix lan Cece Wulan,” Dion meminta Tria dan Surya menyalami rekan sekantornya.

Mereka tampak senang dengan sikap kedua remaja itu, apalagi Tria menunjukkan rasa hormatnya dengan melakukan salim, mencium punggung tangan rekan-rekan kerja Dion.

“Yo wes, ati-ati neng dalan,” pesan Dion setelah keduanya menyelami rekan-rekan Dion.

“Nggih Kang,” sahut Tria dan Surya bersamaan lalu membalikkan badan. Tria yang gembira tampak berjalan sambil sedikit melompat, membuat Dion tersenyum bahagia.

Pertemuan dan pembicaraan Dion dan kedua adik Andi itu mendapat perhatian dari rekan sekantor Dion. Mereka tak henti-hentinya heran dan kagum pada Dion yang terus saja memberi mereka kejutan.

Terlebih pada Amri yang merupakan ‘pujakesuma’, alias Putra Jawa Kelahiran Sumatera. Menyaksikan Dion berbahasa Jawa menambah rasa sukanya pada pemuda itu.

“Kau ini orang apa? Jawa apa Batak?” tanya Felix.

“Yang pasti orang Indonesia, Bang,” jawab Dion sambil tersenyum.

“Siapa mereka Dion?” tanya Amri.

“Oh adik teman sekolahku. Seperti para petinju tadi, aku juga meminta mereka ikut lomba, supaya ramai,” jelas Dion.

“Kelihatannya dekat banget,” timpal Wulan.

“Iya, Ce. Soalnya kenal dengan keluarganya sudah lama sekali. Malah sudah kuanggap seperti adik sendiri,” jawab Dion membuat mereka memahami keakraban Dion dengan Tria dan Surya tadi.

Seperti Amri, Meyleen juga semakin kagum dengan Dion. Tapi semakin mengenal Dion, ia merasa Dion semakin misterius, dan membuatnya merasa tak tahu apa-apa mengenai Dion. Tapi ia sangat menyukai saat Dion berusaha menghibur remaja putri. Dion tampak seperti seorang kakak penyayang.

Sebenarnya bukan hal yang tidak lazim ketika seseorang mampu berbicara menggunakan bahasa suku lain dengan fasih karena asimilasi antar suku dan tradisi yang sudah terjadi di Sumatera Utara selama ratusan tahun. Tapi hal itu kebanyakan terjadi di pedesaan, terutama pesisir timur.

Setelah penampilan bintang tamu acara hari itu, grup band pop-rock alternative asal ibukota yang sedang digandrungi kaum muda, panitia kemudian mengumumkan akan melakukan pembagian hadiah bagi para pemenang lomba Maraton.

Amri sangat antusias karena merasa yakin perusahaannya akan meraih trofi hari itu. Sebelum pemberian hadiah pada juara utama pada dua kategori; pria dan wanita, panitia ternyata juga memberikan hadiah pada pelari yang finis pada posisi 10 besar, juga pada kedua kategori.

Hari itu Dion mendapatkan medali dan tabungan 5 juta rupiah dari salah satu bank plat merah, alias BUMN. Dion merupakan satu-satunya pemenang yang berasal dari kalangan korporat dan non-atlet profesional mendapat apresiasi khusus dari panitia.

Seperti diduga sebelumnya, sambutan meriah diberikan para wanita ketika Dion menaiki podium untuk menerima hadiah. Dion sempat merasa malu dengan teriakan para wanita, tapi melihat Reinhard yang duduk di baris kedua menatapnya dengan aneh membuat Dion merasa puas sudah mencundangi paman Wina itu.

Usai seremoni pemberian hadiah pada pemenang perseorangan, Amri bersorak gembira mendengar pengumuman bahwa perusahaannya meraih poin tertinggi untuk kategori korporat. Artinya, perusahaan Dion menjuarai maraton tahun itu.

Belakangan hari, Amri menyadari bahwa menjadi juara adalah prestise besar dan mendapat perhatian serius dari perusahaan-perusahaan besar dan institusi di Sumatera Utara yang jauh-jauh hari melakukan persiapan khusus.

Dion yang finis di posisi keenam memberikan kontribusi poin yang terlalu besar untuk dapat dikejar oleh perusahaan yang berada pada posisi kedua, yakni bank pembangunan daerah. Indra yang menjadi andalan perusahaan itu hanya mampu menyelesaikan lomba di posisi ke 35.

Dion yang untuk kedua kalinya menaiki podium kembali mendapat sorakan meriah. Kali ini sorakan bukan hanya dari kelompok wanita tapi juga para pria karena Meyleen dan Wulan yang cantik juga merupakan anggota tim lari, ikut naik podium.

Pada sesi foto, Amri meminta Sutan dan keluarganya, termasuk Kiki dan Astrid, untuk ikut berfoto bersama. Sutan yang mengenal baik Amri dan Dion tentu saja dengan bergembira menyetujuinya.

Keakraban mereka sempat memunculkan bisik-bisik di antara tamu. Apalagi tadi Sutan sempat menyebut Dion sebagai keponakannya, sementara Kiki yang merupakan ketua asosiasi penyelenggaraan lomba hari itu adalah juga keponakan Sutan.

“Wah jangan-jangan ini sudah diskenariokan. Mereka itu semuanya keluarga Sutan,” ujar seorang pria pada temannya yang duduk di barisan kedua di samping Reinhard.

“Tapi skenario bagaimana? Ini kan lomba maraton. Kecuali pemuda itu melakukan doping, mustahil ada skenario,” sahut temannya.

Setelah pemberian hadiah, acara kemudian dilanjutkan dengan acara sosial berupa pemberian santunan dan bantuan kepada beberapa yayasan yatim piatu, dan sekolah di daerah tertinggal.

Acara diselingi dengan penampilan tarian tradisional dan paduan suara anak-anak cacat dan yatim piatu yang menggugah hati para undangan, peserta dan perusahaan.

Acara sosial yang diprakarsai oleh Meyleen itu berhasil mengumpulkan dana besar yang merupakan bantuan spontan pribadi maupun perusahaan.

Walikota dalam sambutannya memuji kegiatan yang diselenggarakan oleh asosiasi pimpinan Kiki. Tak segan-segan ia memberikan pujian secara pribadi pada Kiki yang merupakan keponakan dari tokoh politik senior dan pengusaha besar. Dia berharap kegiatan itu menjadi event tahunan dan akan mendapat dukungan penuh dari pemerintah kota.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!