Niat hati hanya ingin menolong seorang pria yang baru saja mengalami kecelakaan motor tunggal di jalanan, namun keadaan itu malah dimanfaatkan oleh seorang wanita yang tidak bertanggung jawab.
Alana dipaksa menikah hari itu juga oleh segerombolan orang-orang yang menangkap basah dirinya bersama seorang pria di sebuah kontrakan. Alana tidak dapat membela diri karena seorang wanita berhasil memprovokasi massa yang sudah berdatangan.
Bagaimanakah cara Alana menghadapi situasi ini?
Bisakah dia mengelak atau malah terpaksa menikah dengan pria itu? Pria yang tidak dia kenal sama sekali.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kopii Hitam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25.
Sore hari Azzam dan Alana sudah tiba di apartemen. Dokter mengizinkan Azzam pulang setelah memastikan keadaannya yang sudah jauh lebih baik.
Tidak ada luka serius yang dia alami, Azzam hanya butuh istirahat yang cukup untuk mengembalikan staminanya.
"Mau mandi apa makan dulu?" tanya Alana setelah keduanya tiba di kamar. Alana memapah Azzam dan membantunya duduk di sisi ranjang.
"Mandi dulu saja, tapi aku tidak bisa melakukannya sendiri." jawab Azzam dengan wajah memelas, dia berharap Alana mau menawarkan bantuan padanya.
Alana hanya diam, lalu meninggalkan Azzam barang sejenak. Gadis itu memasuki kamar mandi dan mengisi bathtub dengan air hangat.
Setelah air di bathtub itu penuh, Alana dengan cepat menyiapkan sabun, shampoo dan handuk, lalu kembali ke luar.
"Ayo!" ajak Alana, dia mengangkat ketiak Azzam hingga keduanya berdiri sejajar.
Azzam mematut Alana dengan intim, apa gadis itu benar-benar yakin ingin memandikannya? Azzam bertanya dalam hati, dia tidak berani bertanya langsung.
Alana melingkarkan sebelah tangan di pinggang Azzam dan memapahnya memasuki kamar mandi.
Sesampainya di dalam, Alana membantu Azzam membuka baju.
Seketika mata Alana melotot tanpa kedip, dia gugup melihat penampakan dada dan perut Azzam yang berotot, bulu-bulu halus yang merambat dari perut hingga dada membuat Alana hilang akal, dia rasanya ingin lari dari sana, ini sangat memalukan baginya.
"Kenapa melihatku seperti itu? Kamu suka?" seloroh Azzam tersenyum nakal, dia sangat gemas menyaksikan pipi Alana yang tiba-tiba memerah seperti tomat.
"Ti-tidak, biasa saja." sanggah Alana sedikit salah tingkah dan lekas membuang muka.
Azzam mengulum senyum melihat raut malu-malu istrinya, lalu menyuruh Alana melepaskan celananya. Sontak mata Alana terbuka lebar dengan mulut sedikit menganga.
Celana?
Jangankan membuka bungkusan itu, membayangkannya saja Alana tidak ingin.
Ah, ingin sekali Alana menjerit sekuatnya. Dia menyesal berbaik hati membantu Azzam mandi, harusnya dia tidak boleh melakukannya.
Sekarang apa yang harus dia lakukan? Dia sudah terlanjur menawarkan diri.
"Kenapa diam saja? Niat bantu tidak?" tanya Azzam membuyarkan lamunan Alana.
Alana mengerjap dan mengangguk lemah sembari memutar leher, dia terpaksa menggerakkan tangannya dan meraih kancing celana Azzam.
"Ya Tuhan, tolong bantu aku!" batin Alana memejamkan mata dan menggigit bibir bawahnya, jantungnya berdegup kencang saat melucuti resleting celana suaminya itu.
"Aaaah..." pekik Alana, dia merasa geli dan lekas berbalik badan, detak jantungnya semakin cepat tak beraturan.
Melihat kelakuan lucu istrinya, Azzam sontak tertawa terbahak-bahak lalu melingkarkan sebelah tangannya di perut Alana.
Azzam mencengkeram pelan perut datar istrinya itu dan menariknya ke belakang. Alana terkesiap saat punggungnya membentur tubuh sang suami.
"A-azzam, apa yang kamu lakukan? Cepat lepaskan aku!"
Alana menelan ludah dengan susah payah. Bolehkah dia menangis dan menjerit agar Azzam melepaskannya?
Ah, Alana semakin ketakutan saat sesuatu yang keras menekan bokongnya, bahkan bibir Azzam sudah merayap di tengkuknya.
Alana mulai gemetaran, kakinya benar-benar lemah, dia ingin pingsan saja agar Azzam menghentikan kegilaannya.
"Jangan takut, sayang. Ingat, aku ini suamimu, bukan orang lain." desis Azzam di telinga Alana, hembusan nafasnya yang hangat membuat sekujur tubuh Alana merinding, rasa geli dan ngilu membaur jadi satu.
"Jangan sekarang ya, aku belum siap!" gumam Alana dengan suara tercekat di tenggorokan, kantong kemihnya mendadak penuh, dia rasanya ingin kencing di celana.
Sayangnya Azzam tidak menggubris perkataan Alana, Azzam sudah terlanjur terlena menikmati aroma tubuh istrinya yang menggoda. Azzam bahkan tak segan memberikan kecupan kecupan kecil di telinga, tengkuk dan leher istrinya itu.
"A-azzam..." pekik Alana menahan rasa ngilu yang menjalar di tubuhnya, seketika Alana mengompol hingga rembesan air turun di kakinya.
"Huuu... Jahat kamu!"
Alana menitikkan air mata. Tidak hanya takut, dia bahkan sangat malu melihat kakinya yang sudah basah.
"Loh, kenapa menangis? Tidak perlu malu sama suami sendiri!" Azzam melingkarkan kedua tangannya di perut Alana dan mengecup pundak istrinya itu.
"Bagaimana tidak malu? Kamu tidak lihat kakiku sudah basah begini, jorok tau." ketus Alana mengerucutkan bibir.
Azzam mengulas senyum dan mengacak rambut Alana gemas. "Jorok apanya? Biasa saja kali, namanya juga manusia."
Azzam menggenggam tangan Alana dan membawanya masuk ke dalam bathtub, lalu menyiram kencing Alana yang menggenang di lantai hingga bersih.
"Mau apa lagi?" sinis Alana dengan tatapan kesal saat Azzam mendudukkannya di bathtub.
"Mandi dong, sayang. Memangnya kamu mau apa?" Azzam mengerutkan kening sembari membuang air yang menggenang di dalam bathtub dan mengisinya dengan yang baru.
Alana menaikkan sebelah alis melihat Azzam yang tidak jijik terkena kencing yang menyebar di bathtub itu.
"Kamu tidak jijik?" tanya Alana mengernyit.
"Kenapa harus jijik?" jawab Azzam dengan pertanyaan pula.
Alana sontak terdiam menatap wajah Azzam. Saat dia ingin membelakangi suaminya itu, Azzam dengan sigap meraih tengkuknya.
Azzam semakin mendekat hingga mengikis jarak diantara mereka, empat jarinya menyentuh sisi leher Alana sedangkan jempolnya mengelus lembut pipi istrinya.
Alana tiba-tiba mematung dengan dada kembang kempis menahan sesak. Tatapan mata Azzam membuat jantungnya berdetak tak karuan. Perlahan matanya terpejam seakan sudah pasrah pada keadaan.
"Boleh aku menciummu?" desis Azzam meminta izin.
Azzam yang sudah terbawa suasana, tidak tahan melihat bibir Alana yang sangat menggoda, apalagi dalam keadaan setengah basah seperti ini.
Alana tidak menjawab, dia hanya menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak mengizinkan Azzam menciumnya.
Azzam yang melihat itu langsung menarik tangannya dari leher Alana. Bodohnya dia terlalu kepedean dan berharap bisa menyentuh istrinya itu.
Lalu Azzam memilih keluar dari bathtub dan menyambar handuk. Dia melingkarkan handuk itu di pinggang dan melucuti boxer yang tersisa di tubuhnya.
"Azzam..." panggil Alana lirih.
Azzam enggan menyahut seakan telinganya tidak mendengar apa-apa, dia kecewa pada dirinya sendiri yang lagi-lagi tidak bisa mengontrol hasratnya.
Dada Azzam rasanya sangat ngilu bak teriris belati tajam, lalu ditetesi air cuka. Tidak terbayang betapa perihnya hati Azzam mendapat penolakan yang entah ke berapa kali dari istrinya itu.
Tiba-tiba kejadian waktu itu kembali muncul di benak Azzam, dia pikir Alana menolaknya karena masih mengharapkan pria itu.
Craang...
Baru saja tiba di dapur, sebuah gelas tiba-tiba retak dan hancur berkeping-keping di dalam genggaman Azzam. Dia ingin marah tapi tidak bisa meluapkannya pada Alana.
Seketika serpihan beling itu mencabik telapak tangannya, darah segar menetes di lantai, namun Azzam malah tersenyum. Agaknya menyakiti diri sendiri sudah menjadi kebiasaan baginya.
Pertama jatuh dari motor, kedua kecelakaan mobil, dan kini tangannya terluka karena tidak tau harus kemana melampiaskan amarahnya. Dia bahkan membiarkan tangannya mengeluarkan darah tanpa berusaha mengobatinya.