Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. Jodoh pilihan
Sendok dan garpu berdenting pada gelas dan piring, suasana meja makan menjadi sangat bising ditambah hentakan tangan di atas meja.
Siapa lagi pelakunya kalau bukan bocah lima tahun yang sedang berimajinasi menjadi pemain drum terkenal. Makan malam di rumah itu akan tampak begitu ramai.
“Bryan stop! Kamu membuat kepala kami sakit! Cepat habiskan makanmu itu!” tegur Gisella dengan sedikit menaikkan intonasinya.
Matanya melotot dan memerah menandakan kalau dirinya sedang marah. Jelita mengernyitkan dahinya dengan kebisingan yang membuatnya tak nyaman.
Bocah itu hanya diam tak menghiraukan ucapan ibunya. Ia tetap pada apa yang ia kerjakan, tipikal bocah pemberontak, nakal dan keras kepala.
Jelita menatap menantunya dengan kesal, memerintah dengan matanya agar menantunya itu membawa cucunya untuk beranjak dari meja makan itu.
Jelita menutup kupingnya dengan kedua tangan, sedangkan Imanuel mencoba untuk mengabaikan dengan tetap melanjutkan makan malamnya tersebut.
Ia mulai terbiasa dengan kegaduhan yang terjadi di rumah itu semenjak cucunya itu lahir. Bryan tak sama seperti anak lain yang anteng. Bocah itu terlalu hiperaktif. Tiada hari tanpa diam selain saat bocah itu sedang sakit saja.
Belum lagi tantrum yang membuat satu rumah geger dengan kebiasaan buruknya yang suka membanting barang-barang saat merajuk.
Setiap menangis dituruti, itu sebabnya saat ia menginginkan sesuatu ia pasti akan menjadikan tangis sebagai senjata andalannya. Terkadang Imanuel sempat berpikir anak siapalah yang dilahirkan menantunya itu, dua putranya tak memiliki sifat yang membuatnya malu seperti itu.
Gisella tak dapat protes, ia menuruti perintah Ibu mertuanya itu dengan hati yang dongkol. Pasalnya ia belum sempat menyantap makanannya karena riweh dengan putranya yang hiperaktif.
“Sepertinya kamu sudah kenyang, ayo ikut Mami ke kamarmu!”
Bryan menolak, ia menepis tangan sang Mami dengan kasar, bocah itu tak akan pernah mau menuruti ucapan orang lain dengan mudah, tak terkecuali ibunya sendiri. Semua orang kewalahan menghadap bocah nakal dan usil tersebut.
Bara yang mulai terganggu akhirnya mulai bereaksi, ia melayangkan tatapan tajam pada keponakannya. Nyali bocah berambut keriting itu seketika menciut.
Diantara semua orang yang ada di rumah itu, hanya Bara yang ia takuti. Saat marah, Bara seakan mengeluarkan aura yang tak tak biasa. Menakutkan.
“Aku tak suka Om Bara, Om bara jahat!” teriak Bryan. Ia mulai menangis, memulai drama bocah tengil yang mencuri perhatian.
"Malah nangiskan! Dasar bikin repot saja, pantesan sampai detik ini nggak juga menikah. Nggak ada perasaan kebapaan dengan anak kecil," batin Gisella mengomel.
Gisella menyeret putranya kembali ke kamar, sepanjang perjalanan menuju kamar terdengar ocehannya yang terus menerus mengomel pada anaknya.
Jelita meletakkan kembali sendok yang ia genggam, berdenting di atas piring. Selera makannya menguar begitu saja.
“Mama heran, kok bisa anak Gavin senakal itu. Ampun banget rasanya!” gerutu Jelita.
Imanuel melirik istrinya, mulut masih mengunyah sisa-sisa makanan dengan sangat santainya. Seakan tiada masalah rumit yang tak berarti.
“Sabar, kan Mama yang begitu menginginkan kehadiran seorang cucu. Sekarang anak itu lahir kenapa Mama mengomel. Nikmati sajalah!” cibir Imanuel, sukses membuat Jelita mendengkus tak suka.
“Tapi nggak senakal itu juga, Pa. Mama kadang malu membawa Bryan di depan teman-temannya Mama. Apa Papa tahu, terakhir Mama bawa ia ke rumah Jenk Sinta, Bryan memecahkan Vas Bunga kesayangan Jenk Sinta. Ia juga membuat keributan dengan merampas barang milik anak-anak yang lain seakan ia tak pernah dibelikan mainan bagus saja. Pokoknya nggak tahu lagi di mana Mama harus letak muka itu.”
Bara sudah selesai menyantap makanannya. Ia malas ikut campur dengan ocehan sepasang suami-istri paruh baya itu.
“Mau ke mana kamu? Mama belum selesai bicara!” Jelita langsung menghentikan gerak Bara yang ingin beranjak dari kursinya. Alis pemuda itu terangkat sebelah.
“Mau bicara apa, Ma?”
“Tentu saja hal yang sangat penting Bara!” tegas Jelita. Bara tersenyum tipis di sudut bibirnya.
Melihat ekspresi Jelita sudah membuatnya begitu yakin, hal apa yang mau di bahas oleh wanita berjilbab yang sudah melahirkannya itu.
“Kapan kamu akan memperkenalkan calonmu itu pada Mama, Bara? Kapan kamu akan menikah?”
“Bukankah Mama memberiku waktu beberapa bulan. Kenapa baru setengah bulan, Mama sudah sibuk menginterogasiku kembali!”
“Waktu 5 bulan itu cepat sekali bergulir. Dan lihat dirimu, hingga detik ini kamu tak juga mendapatkan kekasih. Mama tak yakin jika waktu 5 bulan itu dapat kamu penuhi. Jadi sudahlah, kamu pilih saja salah satu jodoh yang sudah Mama pilihkan untukmu!” Jelita membujuk putranya yang sudah tak pantas lagi untuk dibujuk rayu.
“Mama tak perlu khawatir, aku sudah mendapatkan calon yang aku inginkan. Dan aku pasti sebelum janji 5 bulan berakhir, aku sudah dapat menyeretnya ke pelaminan!” balas Bara begitu yakin. Entah ia mendapat keyakinan itu dari mana.
“Tapi … Mama janjikan kalau Mama akan menerima siapa pun wanita yang aku suka?”
Jelita mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan dari putra sulungnya. Ia menoleh pada suaminya yang bersamaan juga menatapnya. Mereka berdua saling bertukar pandangan.
“Jangan bilang kamu terpikat dengan istri orang, Bara!” tuduh Imanuel cepat. Pandangan matanya kini menatap Bara tajam. Walaupun ia masih berdarah bule campuran yang masih menganut paham kebebasan, tetapi Imanuel tetap tidak suka jika putranya menjadi perusak rumah tangga orang lain.
Masih banyak wanita singgle di dunia ini yang bisa putranya pilih sebagai kekasih; cantik, seksi, kaya, pengertian dan pintar dalam segala hal. Semuanya masih banyak terdapat pada diri wanita-wanita singgle di luaran sana. Pikir pria tua yang sebagian rambutnya telah memutih.
“Janda, tetapi tubuhnya gendut.”
Jelita dan Imanuel kembali melempar pandangan sebelum akhirnya kembali menatap putra mereka dengan tatapan heran.
Hening. Mata Jelita memindai wajah putranya yang tampan, sebelum akhirnya memberikan pendapatnya.
“Mama nggak keberatan dengan status jandanya itu. Setidaknya ia wanita yang jelas asal-usul dan statusnya. Hanya saja, gendut? Mama tidak menyangka jika selera kamu seperti itu. Jika adikmu saja menyukai wanita cantik dan seksi, kamu justru tertarik dengan wanita gendut.”
Jelita menggerakkan tangan kanannya saat berbicara dengan mimik wajah yang tak mampu mengungkapkan ketidakpercayaannya akan apa yang ia dengar.
“Aku hanya ingin menikahi perempuan gendut itu, apa Mama setuju?”
“Kalau Papa tak masalah, setiap orang memiliki selera yang berbeda-beda. Jika Gavin suka ayam goreng, maka Bara menyukai terong bulat. Jadi apa boleh buat, tak ada masalah.” Jelas Imanuel yang masuk ke dalam hati dan pikiran istrinya.
“Baiklah, Mama juga tidak akan mempermasalahkan akan statusnya yang janda. asal wanita itu bisa membuat putra Mama bahagia dan memberikanmu seorang anak, Mama tak masalah,” kata Jelita pasrah. Ia masih menginginkan cucu lagi yang lucu-lucu nantinya.
“Benarkah?” Bara memastikan sekali lagi ucapan Mamanya yang terkadang plin-plan.
Pasangan suami-istri itu pun mengangguk mantap secara bersamaan. Bara tersenyum puas, sudut bibirnya tertarik membentuk sebuah seringai.
"Sekarang tinggal menangkap pengantinnya!" ujarnya di dalam hati.